Namanya
manusia [alibi], saya masih sangat
sering berkhayal bisa bebas dari segala masalah, hiduk enak tanpa susah payah
dan tenteram tanpa gelisah.
Tapi khayalan tetaplah khayalan, tak demikian dengan
kenyataannya. Tiap hari selalau saja ada masalah. Setiap fase atau jenjang
kehidupan selalu pula bertambah masalah. Tak pernah susut selalu bertambah.
Mungkin memang seperti itulah kehidupan. Saya berpikir bahwa betapa enaknya
orang mati, sudah tak terbebani dunia, tetapi apakah memang demikian, mungkin
juga tidak karena mereka yang sudah mati pasti terbebani dengan apa yang telah
ditanamnya semasa masih menikmati kehidupan. Mau tenang tanpa masalah ? Mati
saja… he… he… he…
Satu contoh sederhana, pernah sekali waktu mulai pagi sampai
hampir menjelang sore dapat customer
hampir sembilan puluh persen koplak
semua hingga menguras emosi jiwa he… he… he… lha kok ternyata setelah saya amati,
saya sendiri yang sedang koplak
sehingga dapat customer pun juga yang
koplak.
Bagai ruang pada badan
gitar yang beRESONANSI saat dawai digetarkan, begitu juga seseorang, situasi,
kondisi dan sesuatu yang melingkupi keseharian kita. Saat terdengar suara
sumbang, bisa jadi itu hanya meresonansi suara sumbang kita sendiri. Saat bau
tahi, jangan-jangan itu hasil meresonansi bau kita sendiri.
Sekali lagi, dunia memang tempatnya masalah, tempat bergumulnya
berbagai ketidakpastian, namun tak lebih dari empat kondisi saja yang
melingkupinya, yaitu enak, tak enak, benar dan salah. Itu saja.
Jadi…
DI berbagai SAAT, TEMPAT,
SITUASI dan KONDISI yang "tidak sesuai" dengan hati kita dan tentunya yang
"tidak dapat" kita kendalikan, yang bisa kita lakukan hanyalah "menemani"
berbagai saat, tempat, situasi dan kondisi itu DAN tentunya yang utama adalah
sambil dan sekalian terus memPERBAIKi DIRI : hati, pikiran, perasaan, ucapan dan
tindakan terutama agar "tidak terpengaruh" oleh "berbagai" itu, memohon
dimampukan untuk bisa pasrah dan selalu memastikan diri untuk tetap
sebaik-baiknya bekerja, sesungguh-sungguhnya berdoa, semampu-mampunya beribadah,
sebanyak-banyaknya bersyukur, sekuat-kuatnya bersabar, serela-relanya menerima,
sehebat-hebatnya berikhtiar dan setenang-tenangnya melalui jalan
kehidupan.
BELAJAR memelihara
keSADARan untuk tidak memperMASALAHkan segala hal yang tak mengenakkan,
menyakitkan, bahkan yang meyulitkan sekalipun. SEBAB semua itu berfungsi
menumbuk energi kita agar bisa lepas keluar dan melampaui semua itu. TANPA
demikian, tak pernah tahu kita akan cadangan energi yang tersimpan dalam diri.
MAKA, gitu aja repot ?!
Nyatanya banyak juga manusia yang telah bisa melampaui atau
mengatasi dirinya sendiri, sehingga bukannya kemudian tak ada masalah, tidak,
namun segala masalah yang ada tidak lagi menjadi masalah baginya dan itu
terletak pada kerelaannya menerima segala masalahnya sehingga dia tidak
pernah memikirkan yang menjadi urusan Tuhannya.
Memegang sehelai daun
yang "ringan" dengan tangan terangkat setinggi bahu secara terus menerus akan
menjadikannya "berat". BERATnya bukan pada daun, namun karena mem(P)EGANGnya
terlalu LAMA tanpa ada JEDA untuk sejenak meLEPASnya. Begitulah segala hal dalam
keHIDUPan ini, harus ada JEDA untuk sejenak meLEPASkan agar tidak terasa BERAT,
yaitu dengan sikap HATI yang PASRAH, berSERAH dan RELA pada
pengATURanNYA.
Saya mencoba bercermin yang mungkin bisa disimbolkan atau
sebagai prototipe hubungan hamba dan Tuhannya. Cermin itu terlihat di kraton,
baik Solo maupun Yogaya. Di sana menjadi abdi dalem kraton adalah sebuah kesadaran, meski gajinya sangat
minim sekali tak lebih dari dua ratus ribu sebulan, namun kerelaan mengabdi pada
Raja yang dianggap wakil Tuhan itulah yang membuahkan kebahagian dan keberkahan
dalam hidup yang mereka lalui. Kata kuncinya adalah pada keRELAan mengABDIkan
diri. Mungkin seperti itulah, saat seorang manusia telah DImampuKAN oleh Gusti
Allah mengABDI dengan keRELAan menjadi ABDI dengan segala ketentuan TAKDIR-Nya,
insya Allah di situlah akan terasa SURGA. Surga dunia, itulah keRELAan yang hanya bisa ditempuh
melaui jalan sabar dan syukur.
Ajar lêgäwä sênajan nêlängsä, sinau lilä
masiyä rêkäsä, njêmbaraké dädä nalikané gêlä.
Rela itu solusi, bukan janji.
Bagi penggemarnya, SAMBAL
meski PEDAS selalu terasa NIKMAT. Letak NIKMATnya adalah di keRELAan menerima
PEDAS itu.
Tak ada energi
penyembuhan yang daya sembuhnya melebihi keRELAan menerima penyakit. Tak ada
energi doa yang daya wujudnya melebihi keRELAan menerima pantulan doa. Tak ada
energi pembebas yang daya dobraknya melebihi keRELAan memaafkan. Tak ada energi
sabda yang daya shaktinya melebihi keRELAan mengendalikan
nafsu.
Tak ada kebahagiaan yang
melebihi keRELAan menerima takdir TUHAN. Tak ada kedamaian yang melebihi
keRELAan merasakan kehadiran TUHAN. Tak ada pengetahuan dan pemahaman yang
melebihi keRELAan mengenal TUHAN.
Semoga DIrelaKAN.