Kalau membahas tentang benar dan salah
saya kira tak ada ada kebenaran yang betul-betul kebenaran dan sebaliknya tak
ada pula kesalahan yang betul-betul kesalahan, bila dilihat dari situasi dan
kondisi yang melingkupi sesuatu sehingga dikatakan salah atau benar.
Bisa jadi yang disebut salah itu adalah
sesuatu yang benar namun tidak diletakkan pada situasi, kondisi, waktu dan ruang
yang tepat. Karena itu, orang jawa mengatakan ora mung bener, nanging kudu pener,
tidak hanya benar tapi juga harus pas. Selembar kertas kosong bisa jadi
menjadi suatu hal yang salah manakala selembar kertas kosong itu hanya dibuang
begitu saja di lantai, sebab itu sama artinya
menjadikan kertas kosong itu menjadi sampah yang dibuang tidak atau bukan pada
tempatnya.
Lebih jauh dari itu, benar atau salah tidak bisa hanya dihukumi
dengan parameter nilai yang baku saja, katakanlah dalil
tentang boleh atau tidak, halal atau haram dan sebagainya. Misalnya, menghadapi
seorang pengemis, tak ada satu dalil pun yang akan mengatakan diri kita salah,
neraka tempatnya, manakala kita tidak mau memberi sesuatu kepada pengemis itu,
namun saat takaran nilai yang dipakai adalah akhlaq ~ akhlaq hamba di hadapan
Tuhannya, maka hal yang demikian itu adalah sesuatu yang kurang pantas untuk
dilakukan.
Maka akhlaq letaknya di atas hukum, sebab akhlaq melampaui
masalah benar salah, boleh tidak dan seterusnya, Akhlaqlah yang dapat menuntun
seseorang yang sudah menjalankan kebaikan sesuai hukum yang ada menjadi lebih
dan semakin baik lagi, kebaikannya bertambah dan itu membutuhkan kepekaan dari
masing-masing orang.
Tidak sekedar benar atau
salah, namun yang diperlukan adalah kepekaan akhlaq, hingga yang sudah baik
akan bertambah kebaikannya.
:: Meresap [mencoba memahami & menginterpretasikan secara
umum] dawuh hikmah #3, KH. Imron Djamil, PP. Kyai Mojo,
Jombang.