Rejeki itu
jatah, bukan karena usaha
kita terus rejeki kita banyak dan sebaliknya juga bukan karena kurang usaha
rejeki kita sedikit, sebab bila demikian berarti Gusti Allah itu belum tahu
seberapa besar jatah rejeki kita dan itu berarti pula tergantung pada kita,
Gusti Allah tidak menjadi penyebab tetapi sebagai akibat.
Maka rejeki itu jatah bukanlah menjadi
konsumsi pikiran melainkan harus menjadi keyakinan hati, agar
bisa berserah dan tidak lelah dalam menjemputnya.
Namun karena pikiran
kita tidak mengetahu seberapa besar jatah rejeki kita masing-masing, maka kita
diwajibkan ikhtiar dengan sebaik-baiknya ikhtiar untuk menjemput jatah rejeki
kita dengan beriring hati yang pasrah kepada Gusti Allah.
Seberapa besar jatah
rejeki kita itu adalah urusannya Gusti Allah, sedangkan urusan kita sebagai
manusia adalah berikhtiar dengan sebaik-baiknya ikhtiar, jadi ya seharusnya
mengurusi yang jadi urusannya manusia saja dan tidak usah ikut-ikut mengurusi
urusannya Gusti Allah. Semestinya begitu, namun biasanya kalau saya sendiri
masih sering terbalik-balik, hati saya inginnya rejeki banyak namun pikiran dan
fisik saya inginnya diam saja he… he… he… koplak. Sekali lagi itu saya, kalau
Panjenengan saya yakin TIDAK.
Menjalani kehidupan
itu tidak sendiri dan tidak bisa sendirian, selalu ada interaksi dengan manusia
lain, maka manusia harus bekerja dalam arti mempunyai sarana penghidupan untuk
menjemput jatah rejekinya dan manusia harus pula bermasyarakat. Hewan juga tidak
hidup sendiri tetapi dia tidak berkewajiban bermasyarakat, kalau toh ada
interaksi di antaranya itu adalah semata-mata faktor instink yang telah ada
dalam otaknya. Manusia tidak demikian, bagi manusia bermasyarakat berarti melakukan suatu
interaksi dengan tata nilai tertentu, ada kewajiban-kewajiban yang melekat
padanya dan tentunya ada pula hak di dalamnya. Bermasyarakat tidak hanya dalam
lingkup yang luas melainkan tentunya selalu bermula dari lingkup yang paling
kecil yaitu keluarga, sebab tak mungkin manusia macam kita ini tiba-tiba muncul
begitu saja tanpa melalaui proses kelahiran.
Tampaknya kedua hal
tersebut di atas yaitu bekerja dan bermasyarakat memang tak terpisahkan
sebagaimana dua sisi koin mata uang. Mengapa demikian ? Jawabannya adalah
karena, he… he… he…
Ngrejekeni
Ngrejekeni merupakan sebuah
istilah Jawa, berasal dari kata rejeki, sehingga kata ngrejekeni itu sendiri mungkin bisa
diartikan sebagai pembawa rejeki atau ada yang menyebutnya sebagai hoki.
Ada orang yang hokinya membaca, ada yang olah raga, ada
yang mendaki gunung dan lain-lain. Oops… maaf itu hobi ya … ? Tapi bukankah hobi itu
penunggang kuda ya ? Oh iya itu kan joki…. Jangan diteruskan yang kerjaannya
memasak itu lho ya, itu koki namanya. Sudah ah.. kembali ke
laptop…
Karena hasil ikhtiar
menjemput rejeki itu tidak mungkin dipakai sendiri melainkan tentu saja berputar
saat seseorang itu bermasyarakat yaitu
dalam interaksi sosial ekonominya, maka ada istilah yang namanya ngrejekeni.
Kalau boleh saya
artikan, kira-kira ngrejekeni itu
faktor yang berada di luar diri seseorang yang secara akal menyebabkan rejekinya
seakan-akan lebih banyak dari yang seharusnya. Mengapa bisa demikian ?
Jawabannya lagi-lagi adalah karena, he… he.. he…
Begini Saudara, saya
ambil contoh dalam lingkup masyarakat terkecil yaitu keluarga. Sudah menjadi
kewajiban orang tua untuk menafkahi anak-anaknya, tentunya masing-masing anak
sudah membawa jatah rejekinya masing-masing dan karena anak-anak masih belum
bisa mengikhtiari rejekinya masing-masing maka rejekinya itu pasti melalaui
orang tuanya. Orang tua menjadi saluran penyampai rejeki bagi anak-anaknya.
Berarti sang anak bisa jadi ngrejekeni bagi orang tuanya. Maka
semangatlah para orang tua yang kebetulan merasa berat dalam menafkahi keluarga,
katakan pada diri sendiri : Rejekiku mungkin sedang-sedang saja, tetapi
jatah rejekinya Gusti Allah untuk anak-anakkulah yang banyak. Begitu,
biar tetap optimis dan semangat menyongsong masa depan.
Ada lho seseorang
yang dalam karirnya cukup bagus, jenjang karir dilaluinya dengan baik dan tentu
saja rejekinya secara kasat mata juga meningkat, ternyata di balik itu seseorang
ini selalu saja mempunyai tanggungan keluarga yang sakit yang harus diikhtiari
kesembuhannya. Mulai dari orang tuanya yang sakit sampai dengan meninggalnya,
kemudian mertuanya juga demikian dan ternyata anaknya juga dianugerahi sakit
yang perlu waktu yang panjang untuk kesembuhannya. Namun kemudian jangan
mengartikan bahwa rejekinya tidak barokah, saya kira tidak demikian sepanjang
dalam ikhtiar menjemput rejeki telah dilakukan dengan cara yang baik, menurut
saya kira-kira bahwa memang dia sedang ditugasi Gusti Allah untuk menjadi
saluran rejeki bagi keluarganya dalam mengikhtiari kesembuhan
mereka.
Contoh lain, para
bos, para juragan, para pimpinan, jangan juga sombong dengan pencapaian yang
diraih selama ini, bisa jadi hal itu karena faktor ngrejekeni yang ada pada diri karyawan,
anak buah dan pegawai Sampeyan yang mungkin sering Sampeyan rendahkan dan tidak
pernah Sampeyan anggap jasanya dalam hidup Sampeyan.
Jadi intinya saya
kira bahwa dalam jatah rejeki yang telah ditetapkan oleh Gusti Allah pasti
terkandung bagian rejeki orang lain yang harus kita sampaikan, entah itu untuk
suami, isteri, anak, saudara, anak buah, tetangga, teman atau bahkan orang lain
yang tidak pernah kita kenal sekali pun, pengemis, musafir dan sebagainya. Maka
kalau ada kelebihan yang mungkin dianugerahkan Gusti Allah kepada masing-masing
orang, saya kira karena selalu ada orang lain yang ngrejekeni
baginya.
Maka yang belum
lapang janganlah berkecil hati ~ merasalah lapang, sebaliknya yang sudah
luuaaapanggg jangan lupa selalu berbagi. Itu.