Sebagaimana yang telah sering
disampaikan bahwa derajad tertinggi manusia adalah bukan menjadi istimewa
melainkan menjadi biasa saja yaitu dengan merelakan dirinya menjadi hambanya
atau abdinya Gusti Allah. Maka sebagai abdi, tugas
utamanya adalah mengabdi kepada Gustinya baik secara khusus melalui ritual
peribadahan mau pun secara umum melalui pengabdian pada perjuanagn hidupnya
menebar kebaikan atau rahmat Gustinya kepada seluruh alam semesta.
Mengabdi, tidak bisa tidak harus dilandasi
oleh akhlaq agar pengabdiannya tidak hanya benar tetapi juga pas, tepat atau
sesuai. Bener lan pener. Akhlaq bukanlah ilmu, meski untuk menjadi akhlaq haruslah belakar
ilmunya. Kalau sekedar ilmu jadinya hanya sebatas
pengetahuan di akal saja dan belum serta tidak sampai terekspresikan secara
otomatis dalam sikap, ucap dan perbuatan.
Ilmu yang telah menyatu tak perlu jeda waktu
saat terungkap dalam prilaku. Itulah laku yang bukan
lagi ilmu. Itulah air dari mata air tenangnya hati
bukan dari riak ombaknya pikiran. Itulah akhlaq,
menurut saya.
Manusia yang berakhlaq biasanya selalu peka
perasaannya dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang melebihi ukuran baik yang
cukup dalam rangka pengabdiannya menebar rahmat bagi semesta alam. Dia
akan selalu melakukan pemetaan akan hal-hal yang
termungkinkan untuk bisa dipenuhi dan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum dibutuhkan dan diminta.. Dia mempunyai kepekaan rasa dan tanggap serta cekatan
dalam menyikapi keadaan, tidak hanya pada hal-hal besar atau bahkan rumit, namun
justru dimulai dari hal-hal kecil yang kelihatannya remeh.
Menata sandal atau sepatu dengan arah ke luar
sehingga memudahkan memakai saat seseorang keluar rumah atau masjid, itu adalah
salah satu contoh. Memberikan nafkah keda keluarga
sebelum diminta, itu juga salah satu contoh. Merapikan penampilan, menata
dan merapikan area kerja supaya pelanggan nyaman berinteraksi, itu contoh lain.
Mematikan lampu apabila tidak dipergunakan, mematikan kran air
setelah cukup memakainya, membuang sampah pada tempatnya, mengisi shof terdepan
dalam sebuah majelis dan seterusnya dan sebagainya. Semua itu adalah kepekaan akhlaq, mengabdi untuk memetakan,
mempersiapkan dan memenuhi atau mengadakan segala sesuatunya sebelum dibutuhkan dan diminta,
itulah mukasyafah dan itulah perjuangan.
Jadi tidak perlu mengartikan mukasyafah dengan kemampuan bisa
melihat alam jin, alam malakut atau mengetahui lapisan-lapisan langit, sebab
andai pun bisa seperti itu, pertanyaannya adalah :
kalau sudah bisa terus mau apa ???
Peka dan sadar akan hal-hal remeh yang tampak mata, sederhana namun tak
mudah, itulah mukasyafah.
:: Meresap [mencoba memahami & menginterpretasikan secara
umum] dawuh hikmah #4, KH. Imron Djamil, PP. Kyai Mojo,
Jombang.