Home » , » WIRID SA78

WIRID SA78

Written By BAGUS herwindro on Aug 2, 2011 | August 02, 2011

Masih tentang gerakan SultanAgung78 yang merupakan anak dari Yayasan PETA, hari Jum’at kemarin tanggal 29 Juli 2011 telah dilaksanakan musyawarah informal mengenai hal itu yang bertempat di Wiyung Surabaya.

Alhamdulillah, kemarin saya bisa menghadirinya, jam 19.00 sampai dengan jam 01.00. Dihadiri oleh ketua kelompok / imam khususiyah / perwakilan kelompok Kedondong, Kedung Rukem, Sepanjang, Sedati, Ketintang dan Wiyung.

Alhamdulillah pula, baru kemarin saya bisa berjumpa sekaligus mendapat banyak wejangan dari salah satu tokoh sepuh Syadziliyah PETA yaitu panjenenganipun Abah Haji Djam’an yang juga merupakan salah satu menantu dari Syaikh Mustaqim bin Husein. Beliau salah satu tokoh sepuh yang mengalami tiga periode kemursyidan Syadziliyah PETA.

Hadir juga pada saat itu Gus Anjrah sebagai sohibul bait, Gus Munib Huda yang juga mewakili keluarga Pondok PETA, Kang Wasi’ yan memoderatori musyawarah tersebut dan tentunya Pak Achmad Anshori selaku pengemban amanat dari Yai tentang gerakan SultanAgung78.

Wejangan Abah H. Djam’an

Beliau selama ini mengalami tiga jaman kemursyidan Syadziliyah, mulai jamannya Syaikh Mustaqim bin Husein, Syaikh Abdul Jalil Mustaqim dan saat ini Syaikhina wa Mursyiduna wa Murrobi Ruhina Charir Muhammad Sholahuddin Al Ayyubi.

Beliau mengamati bahwa jamannya Yai Sepuh, murid-muridnya banyak yang mempunyai keistimewaan. Beliau menyebut banyak nama tokoh-tokoh sepuh yang salah satunya yang saya tahu dan pernah juga sowan ke sana adalah almarhum mBah Sukri. Tetapi saat ini kenapa kok jarang sekali yang seperti demikian.

Menurut Beliau hal itu salah satunya adalah karena ketawadhu’an dan adab / etika murid kepada Mursyid saat ini itu tidak seperti pada masa-masa sebelumnya. Beliau mencontohkan bahwa dulu itu, jamannya Syaikh Mustaqim, murid senantiasa menjaga ketawadu’an dan adab kepada Mursyid dengan sungguh-sungguh, salah satunya adalah ketika seorang murid sowan ke Pondok, maka murid tersebut tidak pernah mencari tahu Mursyidnya ada atau tidak, sebab sama saja artinya, yang terpenting bagi mereka sudah niat sowan ke Mursyid. Hal itu lain dengan saat ini, sebab kalau murid sowan ke pondok, begitu masuk ke pondok selalu menengok ke nDalem sambil bertanya-tanya Yainya ada atau tidak ?

Seandanyai dipanggil Yai pun, tidak akan berani memandang wajah Yai. Bisanya hanya menunduk. Kalau ada yang didawuhkan, jawabnya cuma inggih-inggih saja. Setelah selesai menghadap pun, meninggalkan tempat menghadap Yai pun berjalan jongkok sambil mundur [seperti di keraton saat menghadap raja].

Beliau juga mengatakan tentang ketua kelompok, bahwa semestinya ketua kelompok itu harus mengetahui masing-masing jamaahnya, bagaimana kondisinya, keluarganya dan sebagainya. Andai sedang sakit pun, semestinya ketua kelompok tahu sehingga bias menengok atau pun membantu apabila perlu. Termasuk juga bila ada kesulitan-kesulitan lainnya. Thoriqoh itu bukan masalah banyak-abanyak jamaah, maka salah bila kita mengajak seseorang untuk baiat, tetapi yang berbaiat itu sendiri belum memahami apa itu thoriqoh terutama tentang komitmen kepada Mursyid. Jadi yang seharusnya adalah bahwa biarkan seseorang mengikuti baiat tetapi harus dengan kesadaran sendiri.

Beliau mengatakan pernah menanyakan/protes pada Mursyid tenatang santri yang tidak jujur, seperti misalnya saat Yai menyuruh si santri memberikan amplop uang kepada salah seorang tamu yang membutuhkannya, sedangkan santri yang ditugasi tersebut ternyata mengambil sebagian dari isi amplop tersebut. Yai pun mengatakan bahwa sebenarnya beliau tahu semua tentang semua itu, hanya jika bukan Yai yang mau mengurusi lantas siapa lagi ? Makanya tetap diurusi, tetap dibina agar berubah menjadi lebih baik.

Hal lain yang disampaikan oleh Beliau adalah tentang alamat/isyaroh. Intinya apabila seorang murid mendapatkan alamat-alamat/isyaroh, sesuai pesan Mursyid, sebaiknya ditelan saja atau dengan kata lain tidak usah dihiraukan dan tidak perlu pula dikatakan kepada yang lain, sebab yang sering adalah bahwa isyaroh tersebut untuk diri kita sendiri dan yang paling tahu maknanya tentu saja adalah Mursyid.

Hal terakhir yang disampaikan Beliau, masih berkaitan dengan keistimewaan-keistimewaan yang dipunyai para murid Syadziliyah. Beliau sendiri merasa tidak memiliki keistimewaan apapun, tidak seperti yang lain dan hal tersebut pernah disampaikan ke Syaikh Mustaqim. Maka dijelaskan oleh Syaikh Mustaqim bahwa berthoriqoh itu ibarat sekolah, ada jenjang pendidikannya, mulai TK, SD, SMP dan seterusnya. Setiap jenjang pasti ada ujiannya dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah hakikinya merupakan sebuah ujian, apakah seorang hamba akan menapak ke jenjang yang lebih tinggi, tetap atau bahkan mungkin malah menurun. Jadi bersyukurlah kalau tidak diberikan keistimewaan apa-apa, pokoknya yang penting naik kelas terus tanpa terasa, tahu-tahu sampai. Demikian ibaratnya.

Paparan Gus Munib Huda

Gus Munib lebih banyak memaparkan tentang upaya pembenahan ke dalam diri jamaah PETA. Sebab selama ini, kenapa sih orang islam itu, dalam hal ini juga khususnya jamaah PETA belum bisa rukun, belum bisa guyub padahal semestinya itu adalah tradisi kita. Kenapa saat ini malah semakin individualis sebagaimana yang dianut oleh orang Barat, yang mereka pun saat ini sudah mulai jenuh sendiri. Diibaratkan oleh Yai seperti benang ruwet.

Maka saat ini Mursyid mulai menata, melalui Gerakan Sultan Agung 78, kelihatannya ribet, tapi itulah Dawuh Mursyid mutlak dilaksanakan. Penataan yang merupakan sesuatu yang luar biasa, manakala seluruh jamaah telah terdata dengan segala potensi yang dimilikinya dan kemudian seluruh potensi itu dapat dikelola dengan baik. Maka Gerakan Sultan Agung 78 ini tidak bisa dilihat dalam dua atau lima tahun ke depan, tetapi jangkauannya jauh ke depan bahkan mungkin sampai ratusan tahun ke depan.

Bisa dibayangkan jika jamaah di pelosok desa, jauh-jauh datang ke kota ke Bank, kemudian menyetor yang mungkin jumlahnya hanya sepuluh ribu rupiah. Itulah nilai perjuangannya dalam mengikuti dawuhnya Guru. Maka kiranya yang untuk orang kota, mestinya tidak boleh ada alas an repot.

[paparan yang Beliau sampaikan pada intinya seperti yang beliau tuliskan dalam Opini di website SULTANAGUNG78.COM]

Arahan dari Pak Achmad Anshori

Pak Achmad Anshori lebih fokus pada ketaatan murid terhadap perintah/instruksi/dawuh dari Guru Mursyidnya, dalam hal ini adalah Syaikhina wa Mursyiduna wa Murrobi Ruhina Charir Muhammad Sholahuddin Al Ayyubi.
Kita ini seharusnya banyak bersyukur disebakan banyaknya petunjuk, anugrah dan keberkahan dari Allah dengan memiliki Guru Mursyid. Kita bersyukur sebab sudah diberi wirid oleh Guru Mursyid, baik itu berupa Istighfar, berupa Shalawat atau pun kalimat Thoyibah, yang semua itu wajib dilaksanakan. Termasuk di dalam wirid yang diberikan Mursyid itu adalah Gerakan Sultan Agung 78 ini. Jadi wirid SultanAgung78 ini pun harus dilaksanakan.

Mengapa demikian ? Sebab dengan melaksanakan wirid yang diberikan Mursyid itulah, nantinya kita akan menerima warid [anugerah agung dari Allah] yang menjadi sebab tetapnya iman, terangnya hati dan keselamatan dunia akhirat.

Kalau sudah diberi Allah sedemikian banyak anugerah, sekian banyak petunjuk dan barokah, lalu kita tidak mau mesyukurinya, maka sungguh disayangkan. Maka dengan melaksanakan segala apa yang diinstruksikan oleh Guru itulah, mudah-mudahan kita semua diangkat derajadnya oleh Allah dari abid menjadi murid. Dan mudah-mudahan pula kelak dari murid bisa menjadi arif.

Beliau mengatakan bahwa instruksi dari Yai selalu diiyakan, termasuk mengurusi pendataan anggota Sultan Agung 78 tersebut. Termasuk melaksanakan perintah Yai yang berkaitan dengan hal tersebut adalah membeli BB dan juga laptop, meskipun menurut Beliau, Beliau belum bisa cara memakainya, sampai sewaktu di Jakarta kemarin, Yai sendiri yang mengajari cara memakai BB.

Beberapa hal diceritakan oleh Beliau tentang apa yang dialami jamaah berkaitan dengan instruksi tentang SultanAgung78 ini. Di antaranya tentang khouf dan roja’ dalam diri para jamaah, juga tentang husnudzon kepada Allah, kepada Mursyid. [banyak sebenarnya yang dikisahkan oleh Beliau dan Beliau sering mengambil rujukan dari kitab Al Hikam.]
Secara ringkas, dawuhnya Yai mengenai SultanAgung78, di antaranya adalah :
  • Masanya Syaikh Mustaqim bin Husein adalah masa babad alas atau merintis. Masanya Syaik Abdul Jalil Mustaqim adalah masa pengumpulan dan masa sekarang ini, masanya Syaikhina wa Mursyiduna wa Murrobi Ruhina Charir Muhammad Sholahuddin Al Ayyubi adalah masa pendataan sekaligus penataan.
  • Harganya murid itu terletak pada komitmennya.
  • Donasi SultanAgung78 itu kurang tepat kalau disebut sebagai infaq atau pun shodaqoh, sebab itu lebih bersifat seperti darma bhakti murid kepada Mursyid, komitmen murid kepada Mursyid.
  • Donasi murid, yang dikehendaki oleh Mursyid adalah kontinuitas dan keistiqomahan per bulannya, jadi tidak boleh meropel/menggabung donasi untuk sekian bulan sekaligus.

Selanjutnya acara dilanjutkan degan dialog yang lebih banyak membahas tentang teknik pelaksanaan pendaftaran keanggotaan dan yang berkaitan dengan hal itu, hingga pukul 01.00 WIB.


Semoga ada manfaatnya.
Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger