“Assalamu’alaikum….
“, begitu suara perempuan tua dengan cengkok yang khas yang
sekali waktu mampir ke toko. Begitu juga pagi
itu.
Ya… dia adalah seorang peminta-minta yang
kerap datang ke toko dan biasanya teman-teman memberi sekaligus tukar uang
recehnya. Begitu juga pagi itu.
“Bu tukar koin ada Bu ?, tanyaku.
“Iya Nak ada, tapi masih sedikit, masih pagi soalnya”,
jawabnya sambil terus langsung mengeluarkan semua uang yang ada di
tasnya.
Ada tiga lembar uang dua puluh ribuan, beberapa lembar uang dua
ribuan dan seribuan dan sejumlah koin pecahan lima ratus, dua ratus dan seratus
rupiah.
“Saya duduk dulu ya Nak, capek”,
katanya sambil terus ke sofa untuk beristirahat setelah berkeliling. “Iya Bu,
saya hitungnya dulu uangnya”, jawabku.
Uang dua puluh ribuan yang tiga lembar itu aku kembalikan dan
sisanya terkumpul empat puluh lima ribu, terdiri dari
lembaran dua ribu dan seribu sejumlah dua puluh ribu rupiah dan yang dua puluh
lima ribu rupiah campuran recehan lima ratus, dua ratus dan seratus. Masih ada sisa sekitar seribu tujuh ratus rupah aku kembalikan ke
ibu itu.
Kalau jadi soal matematika, mungkin pertanyaannya adalah : berapa jumlah uang yang dibawa ibu itu pagi itu
?
He… he.. he…
tapi sungguh, Panjenengan tidak usah menghitung totalnya, kalau dihitung pasti
pikiran mengejar, sehari masih pagi saja segitu, sebulan dapatnya berapa ? Lha
kalau sudah tahu penghasilannya sekian dalam sebulan, pertanyaannya adalah : Apa mau mengikuti jejaknya ? Saya tak yakin Panjenengan kuat melakoninya, meski itu misalnya bukan sebuah keterpaksaan sekalipun, meski itu sebuah profesi sekalipun.
Yang penting jangan pernah menghitung rejekinya orang
lain, sebab rejeki itu jatah.