Jati
diri, bagai logam mulia
atau intan berlian, dia tak ditemukan begitu saja, baru terkuak saat kita
bersedia menggali jiwa kita lebih dalam. Beruntunglah bahwa kita ditakdirkan
terlahir di Timur, sebuah wilayah yang penuh dengan kearifan yang bermula dari
keberanian untuk menanyakan tentang asal muasal diri. Apakah aku ada, aku ini
siapa, dari mana diri ini berasal, untuk apa hidup dan hendak ke mana setelah
kematianku. Berasal dari ketiadaan, menemukan kesejatian dan berkembanglah
pengetahuan tentangnya. Sesuatu yang tidak bisa ditemui di Barat. Di Barat
pengenalan diri dimulai dari eksistensi diri, bukan dari ketiadaan yang adanya
diadakan oleh Tuhan, sehingga saat Timur ribuan tahun yang lalu sudah mengenal
jati diri, Barat baru saja memulai dan berkutat pasa seputar gelombang otak,
sesuatu yang meski sangat luar biasa namun hanya satu bagian kecil dari
keseluruhan manusia.
Warisan pengetahuan
dan pemahaman itulah yang kemudian diwariskan oleh para leluhur nuswantara dalam
koridoe agama dengan ungkapan éling lan
waspädhä. Dua kata yang tak terpisahkan, ringan untuk diucapkan namun berat
untuk dilakukan dan biasanya memang begitu, warisan penempaan jiwa itu
diekspresikan dalam kalimat sederhana namun mengena, singkat tetapi padat dan
tentunya memiliki kedalaman makna. Hanya mereka yang telah tercerahkan hidupnya
yang biasanya dimampukan menularkan lakunya dalam ungkapan kata sederhana, namun
berrasa dan menggores jiwa.
Tak hendak menafsiri
apa itu éling lan waspädhä, namun
hanya sekedar mencoba memahami dengan cara merasakan dan mengalami tentang éling lan waspädhä itu yang tentu saja
sebagaimana biasa, ala kadarnya dan atas dasar kira-kira he… he…
he…
Éling itu bukan sekedar
ingat tetapi lebih kepada menyadari atau merasakan tentang suatu kondisi,
menyadari atau merasakan keterhubungan dengan seluruh kehidupan dan tentu saja
yang pertama dan utama adalah menyadari keterhubungan dengan Gusti Allah sebagai
pencipta, hingga jiwa kita merdeka, terbebas dari belenggu kepalsuan diri dan
mencapai diri yang sejati sebagai hamba yang lebur di hadapanNya. Pada kondisi
inilah, éling dimaksudkan sebagai
kesadaran atau pun ketaqwaan.
Sedangkan waspädhä itu bisa diartikan sebagai
kehati-hatian atau berja-jaga dengan memberi perhatian khusus terhadap suatu hal
atau kondisi tertentu, agar kondisi éling bisa tetap
terjaga.
He… he… he… kira-kira
begicu.
Asal
Mula
Manusia terwujud pada
alam dunia tidak serta merta dalam bentuk materi sebagaimana kita saat ini,
namun sebelumnya telah terwujud dalam bentuk ruhani yang merupakan bagian dari
ruhNya. Dalam wujud ruhani, manusia mencapai kesadaran atau ketaqwaan
tertingginya yaitu dengan mencapai derajad hamba. Hamba yang sadar akan
kehambaanya di hadapan Tuhannya. Itulah kemuliaan yang disematkan Gusti Allah
kepada ruh manusia dan Gusti Allah lebih memuliakannya lagi dengan memberi jalan
pergi untuk pulang kembali kepadaNya dengan dikenali, dibebaskan dan dilalui
saat ruh itu dipersenyawakan dengan wujud materi di alam dunia sebagai sosok
manusia.
Saat itulah kesadaran
tertinggi sebagai hamba itu seakan lenyap atau terlupakan atau nge-blank, tertutup oleh lapisan-lapisan
imajiner yang palsu membelenggu. Itulah jalan kemulian yang harus ditempuh,
dengan melepas lapisan-lapisan tersebut satu demi satu, hingga ruh kembali
menemukan jati dirinya sebagai abdinya Gusti Allah dan itulah awal mula
ketundukpatuhan kepada kehendak Gusti Allah, awal mula
kesadaran.
Ruh manusia
terpenjara dalam wujud materinya, itulah jiwa yang tak ada habisnya untuk
dikenali, bahkan ilmu modern pun tak mampu mengungkap apa itu jiwa melainkan
hanya sebatas mengenali gejala-gejala dari jiwa.
PEMETAAN
Jazad, itulah raga,
merupakan lapisan terluar dari wujud materi manusia, penuh keajaiban dan tak ada
habisnya saat dikoyak oleh ilmu pengetahuan, selalu ada hal baru yang
tertemukan.
Hayat, merupakan energi
hidup sebagai generator yang membentuk, mengaliri dan melapisi jazad agar tetap
berfungsi dengan baik untuk mewadahi ruh.
Ruh, merupakan
rahasiaNya, bagian dari RUHNYA, yang merupakan esensi kehambaan dan inilah yang
sejatinya akan kembali kepadaNya. Ruh merupakan isi dari wadah jazad dan hayat.
Ruh tidak mengenal dualitas apa pun, ia hanya berkesadaran bahwa dia hamba dan
Gusti Allah adalah Tuhannya. Inilah rahsa
sejatinya manusia.
Hawa
nafsu, merupakan sesuatu
yang tak bereksistensi yang menyertai ruh saat ditiupkan ke dalam jazad, dapat
dirasakan keberadaannya yaitu berupa kecenderungan-kecenderungan yang apabila
dalam kadar cukup berfungsi untuk mempertahankan hidup dan menjaga
keberlangsungan kehidupan. Namun berbeda ceritanya kalau hawa nafsu dalam kadar
yang belebihan. Hawa nafsu sering memperalat akal untuk mendukung semua
alibinya, agar selalu dipenuhi tuntutannya yang tak pernah cukup itu. Inilah karêpnya / keinginan
manusia.
Qalbu, merupakan sebuah software, operating system bagi hardware ~ jantung [bagian dari jazad],
yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, kapasitasnya tak terbatas, mampu
memahami tanpa mengetahui, tanpa dalil, mempunyai kemampuan sebagai pembeda
yaitu dengan memilah dan memilih antara yang memuliakan dan yang sekedar
menyenangkan, merupakan area pertama yang menerima sinyal dari Tuhan. Outputnya berupa akhlaq yang
terekspresikan dalam perasaan.
Akal, merupakan sebuah software, operating system bagi hardware ~ otak [bagian dari jazad],
yang menghubungkan manusia dengan sesama makhluk cipataanNya dalam hubungannya
dengan ruang dan waktu. Salah satu fungsinya adalah memberikan masukan kepada
qalbu. Output dari akal adalah
pikiran yang terekspresikan dalam tindakan (ucapan dan perbuatan). Akal,
kapasitasnya terbatas, sebatas yang terindera dan terdata saja, selalu berdalil
dan memahami sesuatu dalam bentuk dualitas.
LETAK éling lan
waspädhä
Keseluruhan itu
saling terkait-paut satu sama lain, tak terpisahkan, namun kembali lagi pada
ilmu titén tentang diri kita sendiri,
bahwa dari semua itu yang harus diutamakan adalah bagian yang hakikinya akan
menempuh jalan pulang kembali kepada yang sejati, yaitu Ruh kita. Sehingga
seluruh lakon kehidupan, sebisa
mungkin diarahkan untuk membebaskan jiwa dari keterpenjaraan materi agar merdeka
dan tetap menjadi “jabang bayi”.
Bila disederhanakan,
hanya ada dua aliran atau dua arah yaitu vertikal dan
horisontal.
Arah
vertikal, terdiri dari 3
area, atas yaitu ruh ~ mulia,
dimuliakan dan memuliakan Tuhan, tengah yaitu qalbu dan bawah yaitu hawa nafsu ~ senang,
bersenang-senang dan menyenangkan diri. Qalbu menjadi ajang pertarungan atau
perebutan pengaruh antara ruh dan hawa nafsu, tinggal ke arah mana energi
dialirkan.
Arah
horizontal, ada area qalbu dan
area akal yang saling mempengaruhi satu sama lain, namun yang sebenarnya lebih
bisa mengkondisikan adalah area qalbu. Namun bila akal dibiarkan dominan, maka
qalbu pun akan terdegradasi, sebab akal sering ditarik oleh hawa nafsu untuk
membenarkan tuntutannya. Ekspresi qalbu yang berupa perasaan sangat mempengaruhi
bekerjanya akal dengan outputnya berupa pikiran yang nantinya akan
terekspresikan dalam tindakan, baik berupa sikap, perbuatan, ucapan atau pun
tulisan.
Sebagaimana pernah
tersampaikan pada tulisan terdahulu, bahwa dalam diri kita selalu terjadi
dialog-dialog sebagai awal mula munculnya karêp atau keinginan atau kehendak.
Maka melatih “rasa” itu penting agar
“peka” melihar diri sendiri. Inilah yang harus disadari dan diwaspadai dari mana
karêp itu berawal, apakah merupakan
karêping rahsa [hasrat ruh, harus
selalu disadari / êling] ataukah rahsaning karêp [hasrat nafsu, harus
selalau diwaspadai / waspädhä].
Qalbulah yang bisa
membedakan di antara keduanya, maka dari itu harus selalu ling /
menyadari qalbu, yang pertama kali muncul di qalbu itulah hasrat ruh dan inilah
yang harus segera ditindaklanjuti, jangan samapai ada jeda sedetikpun. Sebab
ketika ada jeda, maka sangat termungkinkan dominasi qalbu akan diambil alih oleh
akal~pikiran dengan petimbangan untung ruginya atau bisa juga diambil alih oleh
nafsu dengan kepentingan senangnya sendiri dan mungkin juga bisa disusupi oleh
bisikan-bisikan dari makhluk anti cahaya yang berada di luar diri kita
.
:: Selalu /sadar untuk
mengutamakan karêping rahsa/hasrat
ruh yang biasanya berupa dorongan untuk mendekat, mengutamakan dan mengabdi
dengan tulus pada Gusti Allah.
:: Selalu /sadar untuk
menggerakkan qalbu dengan dzikir kepada Gusti Allah, mengiringi setiap detik
kehidupan yang telah digariskan untuk diri kita masing-masing agar segala ilmu
kebaikan dapat menjadi akhlaq mulia, minimal dimampukan olehNya untuk merespon
setiap detik takdirNya dengan sabar, syukur dan ridho.
:: Selalu waspädhä/waspada terhadap rahsaning karêp/hasrat nafsu yang
cenderung melampiaskan unsur-unsur kehewanan, kebuasan dan pemanjaan
diri.
:: Selalu waspädhä/waspada terhadap perasaan
yang tidak bahagia, yang kasar penuh amarah, sedih yang mendalam, malu yang
berlebihan, kecewa berkepanjangan, takut, cemas ragu dan bimbang, serta galau
seperti katanya anak jaman sekarang.
:: Selalu waspädhä/waspada terhadap bekerjanya
akal apabila tidak mendukung terangnya qalbu apalagi jika pikiran sudah mulai
menciptakan berbagai bayangan semu untuk mendukung nafsu menagmbil alih komando
atas qalbu.
:: Selalu waspädhä/waspada terhadap tidakan
yang diperintahkan pikiran agar tak ada penyesalan dari setiap tindakan baik
ucapan, tulisan, sikap dan perbuatan yang kita lakukan.
Beberapa…
Tetap
lan waspädhä,
untuk tetap menjaga momen-momen hidayah yang menyebabkan bisa berbuat baik,
dengan tidak mengaburkannya dengan merasa memiliki kebaikan itu, membanggakan
dan menganggap rendah mereka yang belum melakukan kebaikan
itu.
Tetap
lan waspädhä,
untuk selalu menimbang kadar kesadaran dengan membandingkannya dengan kadar
nafsu. Tahu diri, dengan tidak "menantang" sebuah pengabdian atau pun "memaksa"
sebuah anugerah bila itu hanya dilandasi oleh hasrat nafsu, bukan oleh terbitnya
kesadaran.
Tetap
lan waspädhä,
tak ada perubahan besar tanpa dimulai dari perubahan kecil. Tak ada perbaikan di
luar sebelum yang di dalam membaik.
Tetap
lan waspädhä, untuk
selalu mengacuhkan segala pujian, apalagi bila datangnya berulang dan
berlebihan, agar tak ada kesempatan untuk kehilangan diri sendiri dengan
bertindak, berlaku dan bersikap hanya demi pencitraan diri sebagaimana yang
dipujikan orang. Berlaku juga untuk celaan, hinaan dan makian kalau itu hanya
akan mengkerdilkan diri sendiri, kecuali untuk berkaca diri sehingga lebih
melejitkan potensi diri.
Tetap
lan waspädhä, untuk
selalu mentransformasikan rahmat menjadi berkat, dengan membaikkan proses
menyerapnya dan mengabdikannya dengan memperluas manfaat, hingga menemukan titik
bahagia di dalamnya.
Tetap
lan waspädhä, untuk
selalu berusaha sederhana dalam melihat ke"indah"an bahwa segala sesuatu
sejatinya adalah "indah". Karena saat "indah" itu terlihat kalau ada "sebab",
maka pasti kita akan kehilangan "indah" itu saat "sebab"nya
tiada.
Tetap
lan waspädhä,
agar bombardir informasi tak menyebabkan diri kehilangan kendali, tersihir
secara masal ~ ikut-ikutan ~ hingga terpesona oleh yang ditampakkan namun
sejatinya telah jauh dari esensi yang sengaja dikabur-kuburkan. Hanya sekedar
menerima syariatnya informasi tanpa mau mentarekati informasi hingga benar-benar
paham dan merasakan hakekatnya informasi yang terpapar.
Tetap
lan waspädhä, kalau
"di" dan / atau "ke" mana-mana tercium "bau", jangan-jangan diri kita sendiri
yang ber"bau" atau mungkin juga diri kita yang malah menularkan
"bau".
Tetap
lan waspädhä, segala
sesuatu yang terpaparkan di hadapan kita adalah cermin yang mungkin memantulkan
bayangan diri kita sendiri.
Tetap
lan waspädhä, untuk
segera berkaca diri ~ saat "harap" tak kunjung mendarat, saat "ingin" tak juga
beriring dan saat "target" masih enggan dijangkau ~ bisa jadi kita telah menjadi
hambanya harap, ingin dan target itu dengan menggebu dan mengingatnya selalu
hingga lalai - melalaikan - dilalaikan dari mengabdi kepada yang menjawab harap,
yang memenuhi ingin dan yang mewujudkan target.
Tetap
lan waspädhä, banyak
yang telah terjadi, tentunya mungkin sangat mewarnai situasi emosi. Mari
bersegera menghalau segala perasaan galau juga pikirang yang kacau, bersegera
memasuki rumah jiwa kita sendiri ~ hati ~ menemui Gusti yang sejatinya selalu
menemani.
Tetap
lan waspädhä, untuk
tidak menyakiti diri sendiri dengan memelihara kekecewaan, kemarahan, kebencian
dan dendam pada siapa pun yang telah menyalahi, menyakiti, mengingkari dan
seterusnya, sebab sejatinya mereka sedang dipinjam oleh Tuhan untuk menempa
kedewasan dan mematangkan jiwa kita agar lebih siap menerima anugerahNya di
depan sana.
Tetap lan waspädhä, untuk selalu mendoakan orang tua, orang tuanya orang tua, orang tua orang tuanya orang tua dan seterusnya ke atas, sebab bisa jadi karena laku dan doa mereka semuanyalah saat ini hidup kita tercahayai, serta untuk selalu juga mendoakan anak, cucu, anaknya cucu dan seterusnya ke bawah, sebab doa kita saat ini untuk mereka bisa menjadi sebab tercahayainya kehidupan mereka.
Tetap lan waspädhä, untuk selalu merawat cinta, kasih dan sayang pada keluarga ~ pasangan, anak, orang tua, saudara ~ yang menjadi salah satu pilar penyangga baiknya negeri ini. Baik keluarganya, baik pula negerinya.
Tetap lan waspädhä, pada saat sekarang, untuk selalu mengusahakan dan memilih sebab yang baik agar nanti semoga berakibat yang baik pula, karena kemanusiaan kita tidak terlepas dari sebab-akibat.
Kira-kira begitu, mungkin masih berlanjut.