Bagi Panjenengan penggemar grup musik DEWA
pasti kenal dengan salah satu lagunya yang berjudul LARASATI. Cukup enak didengar walau bukan merupakan lagu favorit saya.
Namun demikian, tokoh Larasati ini sedikit mengguratkan kesan di hati saya walau
selama hidup saya sampai dengan saat ini, tak sekalipun saya mempunyai seorang
teman atau seorang kekasih yang bernama Larasati tetapi kalau saudaranya yaitu
yang bernama LARAHATI alias lārā ati alias sakit hati
sudah kenal lama, bahkan sering singgah di hati saya.
Ya… dia itu lara hati alias sakit hati.
Saat mendengar kata itu, yang ada dalam lintasan pikiran saya adalah kondisi
perasaan yang sedang diliputi amarah dan amarah ini setelah saya interogasi
berulang kali setelah dia berkelit pula dengan seribu alibinya, ternyata
berujung pada satu hal yaitu karena AKUku tak diutamakan oleh dia, siapa pun
itu.
Kebenaran yang KUyakini dilanggarnya.
OmonganKU tak didengarnya. MilikKU
diambilnya. KenyamananKU diusik olehnya. BagianKU tak diberikannya. HakKU tak
diperhatikannya. TradisiKU disesatkannya. DiriKU dilecehkannya. CustomerKU di-by pass
olehnya. KeinginanKU tak dipenuhinya. AjakanKU tak digubrisnya. CintaKU
ditolaknya. JasaKU tak dihargainya. KepemimpinanKU diremehkannya. Kelakuannya
tak KUsuka. Demikian sebagainya dan demikian pula
seterusnya.
Semestinya saat KU-KU seperti itu muncul,
harus kita kejar dengan berbagai pertanyaan tentang dasar dari munculnya amarah
yang menyebabkan sakit hati itu, sampai benar-benar amarah yang muncul itu
adalah marah yang benar bukan sekedar amarah. Namun ini
perlu kejujuran dan keberanian untuk mengakui kata hati terdalam kita
sendiri. Kalau tak demikian ya percuma, sebab yang keluar lagi-lagi
adalah alibi bahkan atas nama Tuhan sekali pun.
Sebuah contoh sederhana adalah misalnya saya
mempunyai seorang sahabat yang pernah suatu saat memberikan sebuah atau suatu
benda sebagai tanda cinta seorang sahabat. Saya pun
mempersepsikan bahwa benda tersebut sebagai merupakan simbol persahabatan saya
dengannya dan saya pajang di tempat yang mudah terlihat. Suatu saat, karena keteledoran, ada seseorang [bisa siapa pun] yang
menyenggolnya hingga benda tersebut terjatuh dan pecah atau rusak. Saya pun marah BESAR. Permintaan maafnya
saya tolak tanpa dimasak alias saya tolak mentah-mentah. Caci maki, sumpah serapah, mungkin katanya orang Jawa entek amek kurang golek kemarahan saya,
bisa jadi berujung pada penganiayaan. Saya beralasan
bahwa bagaimana pertanggungjawaban saya kepada sahabat yang telah memberi benda
tersebut, barangKU yang merupakan simbol persahabatanKU engkau rusakkan.
Nah mestinya dalam kondisi marah dan sakit hati seperti itu,
saya harus mempunyai keberanian dan kejujuran untuk menginterogasi diri saya
sendiri dan jawabnya pun sebenarnya sederhana, hanya YA dan TIDAK. Kalau
kesengajaan merusak adalah sebuah kesalahan, lalu apakah ketidaksengajaan juga
merupakan suatu kesalahan ? Kalau kemarahan sudah
dilampiaskan, apakah keadaan bisa kembali seperti semula
? Kalau benda yang merupakan symbol persahabatan itu rusak, apakah
berarti makna persahabatan itu pun ikut rusak juga ?
Kalau toh benda itu tetap utuh, apakah diriku yang saat ini memilikinya juga
akan bisa tetap memilikinya, ataukah diriku yang lebih dulu rusak dimangsa waktu ?
Maka akhirnya, diri saya sendirilah yang bisa
menyimpulkan apakah sakit hati saya itu perlu atau kemarahan saya harus
dipuaskan atau apakah dicukupkan dengan menyikapinya dengan perasaan dan
penalaran yang bijak.
Belajar, kenal dan paham
tentang sebenar-benarnya Getaran RASA "ya" dan "tidak" di dalam diri sendiri,
merupakan proses untuk menjadi dan tetap menjadi MANUSIA.
IYA ya
IYA, TIDAK ya TIDAK.
Sesederhana itu namun menjadi tak sederhana saat kita tak mau mengenalinya,
hingga "salah" bisa jadi di"benar"kan demikian sebaliknya, hingga berdoa bisa
bermakna memaksa, hingga ibadah menjadi nafsu, hingga putus asa dimaknai pasrah,
demikian seterusnya dan demikian sebaginya.
Sungguh, saya sangat bebas untuk marah
semarah-marahnya, namun tak pernah bebas untuk menghindari akibat dari kemarahan
saya.
Kadang, marah itu memang harus karena marah
itu merupakan salah satu satu metode komunikasi, namun semestinya harus tanpa
amarah yang menyakiti hati dan juga berpotensi menjadi sakit hati. Itulah yang masih sulit.
Saya masih sering kalah oleh amarah saya
sendiri dan masih sering sakit hati, semoga tidak demikian dengan
Panjenengan.