Yen tak pikir-pikir,
ternyata diriku tak jua berorientasi proses dalam segala hal yang kulakukan,
namun masih begitu sering berorientasi pada hasil. Sebab itulah maka galaunya
hati masih sering bertamu di beranda hatiku [shadr]. Belum bisa full energi atau khusyu' atau hadir dalam setiap
proses yang kujalani. Pikiran masih penuh negatifitas pada hasil.
Tahu kalau yang
namanya makhluk tak bisa dijadikan sandaran, namun tak juga kunjung sadar. Tahu
kalau kekuatan diri ini berasal dari Gusti Allah, namun tak juga segera
berserah kepadaNYA. Tahu kalau DIA itu pengatur segala urusan, tetapi tak juga
mau mewakilkannya padaNYA untuk mengurusnya.
Ndak usah ndakik-ndakik [tinggi-tinggi], contoh
sederhana saja, misalkan saya buka warung bakso maka ada dua hal yang harus
saya lakukan. Pertama, di awal hari saya harus
mempersiapkan segala ubo rampe
tentang bakso itu sendiri mulai belanja bahan, proses masak, dan kelengkapan
penyajiannya. Kedua, setelah tahap pertama selesai maka tinggal proses
menjualnya, menunggu pelanggan datang.
Durasi tahap pertama
yaitu persiapan/ikhtiar [urusannya manusia] bila dibandingkan dengan durasi
tahap kedua yaitu penjualan/hasil tentunya lebih lama pada tahap keduanya. Di
tahap penjualan itulah, saya kira, saya tidak akan pernah bisa menggerakkan
"krenteg" hatinya seseorang
untuk berniat kemudian memutuskan membeli bakso di warung saya karena saya kira
penggerak "krenteg"nya hati
seseorang hanyalah DIA, Gusti Allah. Maka seharusnyalah saya wakilkan hasil
penjualan ini padaNya, sebab inilah yang menjadi urusan Tuhan. Yang penting
seluruh proses sudah saya jalankan, hasil dari proses itu wakilkan padaNya.
Kalau saya
pikir-pikir lagi, saya rasakan, maka mestinya urusan mewakilkan pada Gusti
Allah ini memang harus saya lakukan, sepanjang itu memang berada wilayah Tuhan,
yang mungkin saat ini saya belum mengetahuinya, asal saya sudah menjalani
prosesnya saat ini dengan sebaik-baik ikhtiar yang bisa saya lakukan. Yang
utama adalah prosesnya, bukan hasil dari proses.
Yo wislah kalau
begicu, berarti saat yang dua puluh langkah belum mampu memikirkan atau memang
belum punya bayangan sama sekali tentang itu, lebih baik mikir yang satu
langkah ke depan saja. Yang sembilan belas langkah biarlah saya wakilkan
padaNya untuk DIurusI agar pada saatnya yang nanti itu menjadi saat
ini untuk saya jalani, semoga saya sudah diberi ilmu, kemampuan dan
kesanggupan untuk mengkholifahinya.
Benar begitu bagi
saya, dari pada saya wakilkan pada wakil rakyat ? Welehhhhh malah gak jelas
bluazzzzz... he...he...he...