Misal saya masih dalam
usia sekolah dasar atau usia sekolah menengah pertama dan kebetulan pada saat
itu ayah saya sudah habis jatah ruang dan waktunya alias dipanggil menghadapNya,
dapat saya bayangkan bahwa saya akan menangis.
Yang menjadi
pertanyaan adalah untuk siapa sebenarnya tangisan saya itu
?
Apakah tangisan saya
itu untuk ayah saya, dalam arti saya kasihan kepadanya sebab beliau masuk liang
kubur sendirian tidak ada yang menemani, serta teringat pula bagaimana nasibnya
nanti di dalam kubur ?
Ataukah tangisan saya
itu sebenarnya untuk diri saya sendiri, sebab ketergantungan terhadap ayah saya
masih tinggi, saya berpikir siapa nanti yang akan mengantar jemput saya sekolah
atau saya juga berpikir tentang siapa nanti yang akan membiayai kehidupan saya
karena selama ini tulang punggung keluarga adalah ayah
saya.
Dari dua pertanyaan
itu, rasanya saya memilih yang nomor dua. Saya menangis bukan menangisi ayah
saya, melainkan sebenarnya menangisi diri saya sendiri.
Dalam hal lain saya
kira perlu juga hal itu dipertanyakan agar tidak terlarut dalam suatu perasaan
yang seolah-olah benar dan agar jangan sampai hal itu menyebabkan salah langkah
dalam mengambil suatu keputusan untuk suatu masa di depan
sana.
Banyak hal yang
terjadi yang mengatasnamakan "sesuatu" padahal sesungguhnya tidak atas nama
"sesuatu" itu melainkan atas nama diri dan kepentingan
sendiri.
Mudah-mudahan tidak
sampai terlarut dalam situasi yang mengatasnamakan cinta, mengatasnamakan
rakyat, mengatasnamakan kebenaran atau pun yang lainnya, terlebih lagi
mengatasnamakan tuhan.
Semoga Panjenengan dan saya
diberi kemampuan untuk tegas dan berani jujur pada diri
sendiri.
Semoga ada
manfaatnya.