Têpä
Slirä, sebuah ungkapan
dalam bahasa Jawa yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi tenggang rasa atau mungkin lebih
tepatnya menurut saya adalah empati
Suatu kemampuan untuk merasakan rasanya orang lain dalam diri sendiri atau
memposisikan diri sendiri pada posisi orang lain dan tentu saja ini memerlukan
kepekaan rasa serta kerendahhatian.
Tepa
slira ini, menurut saya
pribadi, merupakan hal yang pada masa sekarang ini sudah sangat-sangat jarang
ditemui.
Kerasnya kehidupan,
tingkat persaingan yang tinggi dan makin asingnya manusia pada dirinya sendiri,
menyebabkan kebanyakan manusia berkecenderungan untuk memikirkan dirinya sendiri
dan memenangkan egonya sendiri tanpa mau
tahu apa yang dialami serta apa yang dirasakan orang lain meskipun sedikit atau
banyak orang lain biasanya dirugikan atas sikap dan
prilakunya.
Manusia tanpa tepa slira, bisa jadi adalah manusia
yang lupa bahwa hidup itu ada pasang surutnya, bahwa hidup itu selalu menuju
titik kesetimbangan dan bahwa hidup itu pasti serta selalu akan ngunduh wohing pakarti [menuai buahnya
prilaku] setara dan bahkan mungkin berlipat dari kadar winihing pakarti [bijinya prilaku] yang
ditanam olehnya.
Sederhana saja
sebenarnya untuk memulai tepa slira dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu
dengan selalu menilai kepatutan segala sikap dan tindakan kita dalam interaksi
keseharian kita dengan orang lain, baik secara langsung atau pun tidak
langsung.
Kalau tidak mau
dicubit, maka jangan dicubit. Kalau saat ini terantuk batu, bisa jadi saat yang
lalu pernah meletakkan sesuatu yang juga menjadi sandungan orang lain. Begitu
seterusnya.
Satu hal yang saya
lihat, termasuk dalam diri saya sendiri, bahwa tepa slira sulit terbit dari
dalam diri yang merasa lebih dari yang lain. Lebih mulia, lebih kaya, lebih
terhormat, lebih kuasa, lebih pandai, lebih taqwa, lebih sholeh dan lebih-lebih
yang lain [termasuk lebih berat badan he... he... he...]
---------
Kalau melihat istri
sibuk dengan urusan rumah tangga, patutkah suami duduk manis, perintah sana sini
apalagi marah-marah dengan alasan itu memang tugasnya istri ? [Memangnya istri
itu pembantu ? Andai pun dengan pembantu yang sebenarnya, bukankan lebih mulia
bertepa slira kepadanya ? Bukan manusia mulia jika tak bisa memuliakan
sesamanya]
Yang ini sering saya
lihat di suatu acara yang melibatkan banyak orang. Tak usah jauh-jauh, di masjid
saja atau di rumah seseorang kalau ada undangan pengajian dan ada konsumsinya,
minimal air dalam kemasan, selesai acara biasanya bekas kemasan tersebut tetap
saja di tempatnya. Apa sih beratnya nyangking bekas kemasan makanan atau
minuman dengan memasukkannya di tempat sampah atau paling tidak membantu
mengumpulkan di satu tempat ? Hal yang mungkin tak akan terjadi kalau kita
memiliki kepekaan rasa dan bertepa
slira seakan tempat itu adalah ruang pribadi kita
sendiri.
Hujan-hujan begini,
mbok yao bertepa slira pada pemakai jalan lain. Yang
bermobil [pastinya tak merasakan basahnya air hujan dan kotornya genangan air di
jalan] alangkah baiknya bila mengurangi kecepatan mobilnya agar genangan air tak
meloncat ke mana-mana.
Yang satu ini juga
sering saya temui. Mereka yang sangat sulit untuk bertepa slira, salah satunya
yang sering lupa pada dirinya sendiri sebab mereka sangat sering bertanya ke
orang lain, "Kamu enggak tahu siapa saya ini ?!"
Menyingkirkan paku di
jalanan, meluruskan pigura yang miring di tembok, ikut menjaga kebersihan di
toilet umum, tidak potong kiri kanan saat di jalanan, meletakkan pada tempatnya
barang yang terjatuh di toko swalayan dan sebagainya merupakan wujud tepa slira yang menandakan
kerendahhatian serta kepekaan rasa pelakunya.
Ya begitulah. Semoga Panjenengan dan saya selalu
dianugerahi kepekaan rasa serta kerendahhatian agar di sepanjang perjalan yang
singkat ini kita tidak sempat untuk "dumeh" serta "adigang, adigung dan
adiguna".
Untuk kata di antara
tanda petik di atas, monggo ditanyakan ke Eyang Google bagi yang belum tahu
he... he... he...
Semoga ada
manfaatnya.