Bolong kuwi penak | lubang itu
enak.
Ibarat gelas, dinding silindernya tetap ada namun dasarnya berlubang, lalu apa jadinya, tentunya tidak dapat menampung air. Pada sisi fungsi gelas sebagai tempat untuk menampung minuman, memang terlihat bahwa gelas akan kehilangan fungsinya. Namun jika dilihat pada sisi luabangnya itu, maka bisa jadi daya tampung gelas terhadapa air malah menjadi tidak terbatas.
Apakah malah tidak sia-sia menampung air dalam gelas berlubang ? Sepertinya memang begitu, tapi akan lain kenyataannya saat di bawah gelas berlubang itu sudah disiapkan sebuab bak besar, bukankan daya tampungnya semakin besar juga. Apalagi saat di bawah gelas itu terletak sebuah tandon air besar atau danau atau bahkan samudera.
----------
Gelas berlubang bagai manusia dengan keluasan jiwa. He... he... he... maksa ya ? Ya terserah saya to lha wong yang nulis saya, kalau misalnya Panjenengan tidak setuju ya nulis saja sendiri...
Gelas berlubang bagai manusia dengan keluasan jiwa, perasaannya akan sangat sulit disakiti, sebab hal-hal yang tak mengenakkan tak pernah berdiam lama dalam dirinya, melainkan diteruskan, direlakan dan dikembalikan semua pada DIA yang menciptakannya. Dia tak pernah terluka tak juga pernah melukai, seperti udara yang tak tertebas oleh pedang yang seberapa pun tajamnya.
Gelas berlubang bagai manusia yang telah menyatu dan berselaras dalam kehendak DIA yang menciptakannya. Baginya, terhadap siapa pun selalu dalam kesadaran aku ya kamu - kamu ya aku, maka dia akan terus bertepa slira, memuliakan siapa pun atau apa pun, sebab semua sejatinya sama, makhluk dari DIA yang menciptakannya. Ini yang ngeri. Saat ada yang menyakiti manusia model ini, dimana kesadarannya aku ya kamu - kamu ya aku yang dia rela menerima apa pun tanpa kontra, maka yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa seseorang yang menyakitinya berarti juga menyakiti dirinya sendiri, sehingga niatan buruk apa pun atau perbuatan buruk apa pun yang ditujukan kepada manusia bolong ini akan mengenai dirinya sendiri, cepat atau lambat namun pasti.
Dan begitulah dalam hal yang lain.
----------
Ini hal lain, namun juga masih berkaitan dengan bolong.
Saat usia beranjak tua [koyok aku], biasanya mereka yang kukenal mulai berpantang makanan tertentu, bukan hanya mengurangi tetapi malah sama sekali tidak memakannya.
Sebenarnya, jareku [jangan percaya jareku], hal tersebut tidak perlu dilakukan. Memang secara ilmu kesehatan ada jenis-jenis makanan tertentu walau enak tapi merugikan kesehatan, tetapi sekali lagi ini menurut saya, asalkan dalam takaran cukup atau tidak berlebihan, tidak akan merugikan kesehatan walau usia sudah beranjak tua.
Caranya adalah dengan mengakses frekuensi bolong itu sendiri, bahwa saya sebenarnya tidak ada / bolong, begitu pun makanan apa pun itu juga sebenarnya tidak ada / bolong, maka tentunya yang tidak ada tidak akan bisa mempengaruhi yang tidak ada pula. Prakteknya bagaimana ? Bukankah saat makan ada doa makan ? Ya waktu doa itu atau minimal saat basmalah itulah frekuensi kita harus meningkat bersama frekuensi makanan atau minuman itu sendiri sehingga frekuensinya sama.
BISMILLAH, maka diri sendiri jangan dihiraukan, makanan atau minuman jangan dihiraukan, rasakan saja Gusti Allah yang mengadakan adanya kita. Lebih mudahnya saat membaca basmalah atau doa makan atau doa yang lainnya, alihkan saja perhatian kita dengan merasakan daerah ubun-ubun (mbun-mbunan) di kepala. Sedetik atau dua detik sudah cukup untuk menyamakan frekuensi bolong, asal ya itu tadi BOLONG seakan tidak ada apa-apa. Kalau sudah seperti itu apa sudah "aman" ? Ya belum tentu, siapa yang bilang he... he... he... Itu kan jareku, embuh jaremu.
Maka di segala sesuatu, yang namanya makhluk, pasti tak ada keadaan yang mutlak, semua memiliki anomalinya masing-masing. Banyak yang mengatakan bahwa rokok itu merugikan kesehatan, kopi itu tak baik, ini itu begini, itu ini begitu dan saya katakan bahwa belum tentu seperti itu sebagaimana diasumsikan secara umum.
Setiap manusia memiliki tingkat resistensi yang berlainan terhadap segala sesuatu dan itu saya kira masing-masing manusia itu sendirilah yang bisa niteni dirinya sendiri, tentu saja kalau mau mencari dan mengenali, tidak sekedar tembung jare, jarene alias katanya.
Kira-kira begicu. Salam bolongers.
Ibarat gelas, dinding silindernya tetap ada namun dasarnya berlubang, lalu apa jadinya, tentunya tidak dapat menampung air. Pada sisi fungsi gelas sebagai tempat untuk menampung minuman, memang terlihat bahwa gelas akan kehilangan fungsinya. Namun jika dilihat pada sisi luabangnya itu, maka bisa jadi daya tampung gelas terhadapa air malah menjadi tidak terbatas.
Apakah malah tidak sia-sia menampung air dalam gelas berlubang ? Sepertinya memang begitu, tapi akan lain kenyataannya saat di bawah gelas berlubang itu sudah disiapkan sebuab bak besar, bukankan daya tampungnya semakin besar juga. Apalagi saat di bawah gelas itu terletak sebuah tandon air besar atau danau atau bahkan samudera.
----------
Gelas berlubang bagai manusia dengan keluasan jiwa. He... he... he... maksa ya ? Ya terserah saya to lha wong yang nulis saya, kalau misalnya Panjenengan tidak setuju ya nulis saja sendiri...
Gelas berlubang bagai manusia dengan keluasan jiwa, perasaannya akan sangat sulit disakiti, sebab hal-hal yang tak mengenakkan tak pernah berdiam lama dalam dirinya, melainkan diteruskan, direlakan dan dikembalikan semua pada DIA yang menciptakannya. Dia tak pernah terluka tak juga pernah melukai, seperti udara yang tak tertebas oleh pedang yang seberapa pun tajamnya.
Gelas berlubang bagai manusia yang telah menyatu dan berselaras dalam kehendak DIA yang menciptakannya. Baginya, terhadap siapa pun selalu dalam kesadaran aku ya kamu - kamu ya aku, maka dia akan terus bertepa slira, memuliakan siapa pun atau apa pun, sebab semua sejatinya sama, makhluk dari DIA yang menciptakannya. Ini yang ngeri. Saat ada yang menyakiti manusia model ini, dimana kesadarannya aku ya kamu - kamu ya aku yang dia rela menerima apa pun tanpa kontra, maka yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa seseorang yang menyakitinya berarti juga menyakiti dirinya sendiri, sehingga niatan buruk apa pun atau perbuatan buruk apa pun yang ditujukan kepada manusia bolong ini akan mengenai dirinya sendiri, cepat atau lambat namun pasti.
Dan begitulah dalam hal yang lain.
----------
Ini hal lain, namun juga masih berkaitan dengan bolong.
Saat usia beranjak tua [koyok aku], biasanya mereka yang kukenal mulai berpantang makanan tertentu, bukan hanya mengurangi tetapi malah sama sekali tidak memakannya.
Sebenarnya, jareku [jangan percaya jareku], hal tersebut tidak perlu dilakukan. Memang secara ilmu kesehatan ada jenis-jenis makanan tertentu walau enak tapi merugikan kesehatan, tetapi sekali lagi ini menurut saya, asalkan dalam takaran cukup atau tidak berlebihan, tidak akan merugikan kesehatan walau usia sudah beranjak tua.
Caranya adalah dengan mengakses frekuensi bolong itu sendiri, bahwa saya sebenarnya tidak ada / bolong, begitu pun makanan apa pun itu juga sebenarnya tidak ada / bolong, maka tentunya yang tidak ada tidak akan bisa mempengaruhi yang tidak ada pula. Prakteknya bagaimana ? Bukankah saat makan ada doa makan ? Ya waktu doa itu atau minimal saat basmalah itulah frekuensi kita harus meningkat bersama frekuensi makanan atau minuman itu sendiri sehingga frekuensinya sama.
BISMILLAH, maka diri sendiri jangan dihiraukan, makanan atau minuman jangan dihiraukan, rasakan saja Gusti Allah yang mengadakan adanya kita. Lebih mudahnya saat membaca basmalah atau doa makan atau doa yang lainnya, alihkan saja perhatian kita dengan merasakan daerah ubun-ubun (mbun-mbunan) di kepala. Sedetik atau dua detik sudah cukup untuk menyamakan frekuensi bolong, asal ya itu tadi BOLONG seakan tidak ada apa-apa. Kalau sudah seperti itu apa sudah "aman" ? Ya belum tentu, siapa yang bilang he... he... he... Itu kan jareku, embuh jaremu.
Maka di segala sesuatu, yang namanya makhluk, pasti tak ada keadaan yang mutlak, semua memiliki anomalinya masing-masing. Banyak yang mengatakan bahwa rokok itu merugikan kesehatan, kopi itu tak baik, ini itu begini, itu ini begitu dan saya katakan bahwa belum tentu seperti itu sebagaimana diasumsikan secara umum.
Setiap manusia memiliki tingkat resistensi yang berlainan terhadap segala sesuatu dan itu saya kira masing-masing manusia itu sendirilah yang bisa niteni dirinya sendiri, tentu saja kalau mau mencari dan mengenali, tidak sekedar tembung jare, jarene alias katanya.
Kira-kira begicu. Salam bolongers.