Tiba-tiba teringat ucapan
seorang teman beberapa tahun yang lampau, "Jan-jane menungso iku elek, cobak ae nek
mudo nang ngarepe koco." [Sebenarnya manusia itu jelek, coba saja telanjang
di depan cermin].
Benar bagi saya, saat
saya melihat ketelanjangan diri saya sendiri [bukan orang lain lho ya...] dan dulu
saya pernah mencobanya, telanjang di depan cermin.
Jelek memang, nggilani dan aneh. Mungkin kalau ada
monyet yang melihat, maka ia akan tertawa terbahak-bahak, bahkan mungkin akan
koprol sambil bilang WOW gitu, dipikirnya aneh sebab ekor kok di depan, pendek
pula tak sepanjang ekornya yang di belakang [he... he... he... engga usah
dibayangkan].
Saya rasakan
kebenaran dari apa yang diucapkan teman saya. Ketika saya mencoba merasakan
hanya jazad saya saja tanpa ruh maka tak lebih dari seonggok daging yang
sebentar saja akan membusuk, berbau, dikerumuni lalat dan dimakan
ulat.
Saat saya rasakan
jazad berruh saya saja tanpa akal maka tak lebih dari seekor
binatang.
Akal dengan
pikirannya pun nantinya hanya akan lebur di ruang dan waktu. Sedangkan jazad
akan kembali lebur dengan tanah.
Manusia hanya
menyisakan ruh yang sepanjang hidupnya berjalan menyusuri hatinya sendiri,
mencari ketenangan, ketentraman, kedamaian dan juga
Tuhannya.
Hati selalu bertanya
pada Tuhan, akal dengan pikirannyalah yang membantu menepatkannya, asal akal
dengan pikirannya bekerja dengan hukum pada dimensi hati, yaitu memproses segala
informasi apa pun untuk mengarahkan kepada kedekatan pada Tuhan. Karena jika
tidak, jika hanya menawarkan benda-benda pada hati maka tak ada yang diperoleh
kecuali kegelapan yang hanya akan memperlebar jarak dengan
Tuhannya.
Hanya hatilah yang
nanti akan melebur ke dalam Tuhan.
Maka bertelanjang
diri mengingatkan kembali akan kehinaan manusia di hadapan Tuhannya saat yang
digagas, yang diburu, yang dituju dan diseriusi hanyalah daging atau jazad saja.
Dia hanya akan kembali ke tanah dan itulah sejatinya kuburan. Maka sebenarnya
manusia selalu membawa kuburannya sendiri kemana-mana, bahkan menyembah-nyembah
dengan mengabdi kepada keterpenuhan kepuasannya yang sejatinya tak pernah
puas.
Maka bertelanjang
diri akan mengingatkan betapa kalau hati hanya mengurusi jazad, ia akan terdegradasi dengan selalu resah akan
kesakitan, kemelaratan dan kematian. Pun demikian dengan pikiran, jika hanya
mengurusi jazad, ia akan muncul dengan segala keangkuhan dan kerakusannya yang
pada akhirnya akan berbuah penyesalan terhadap segala yang
dihasilkannya.
Maka bertelanjang
diri mengingatkan pula bahwa semua yang bersifat jazad pada akhirnya hanya
menjadi residu dari sebuah proses kehidupan yang mau tidak mau akan terbakar
bukan dengan api cinta kasih Tuhan, melainkan oleh api
keadilanNya.
Kira-kira
begicu.
Semoga ada
manfaatnya.