Jalanan macet bagiku
merupakan sebuah siksaan jika saat itu
pikiranku mengangankan lancar. Inilah awal konflik di dalam diri, kenyataan yang
harus dihadapi berkebalikan dengan gambaran pikiran sesuai yang diinginkan dan
memang itulah tabiat pikiranku yang tak terkendali.
Pikiran adalah hasil
dari proses berpikir dan hanya manusia saja yang mampu berpikir, sebab manusia
dilengkapi dengan akal. Jadi kira-kira, akal ini adalah softwarenya, otak adalah
hardwarenya, inputnya adalah segala 'gerak' dan outputnya adalah pikiran. Namun
kira-kira juga, bahwa output yang berupa pikiran ini pun dipengaruhi oleh
pertama yaitu 'jiwa yang tenang' yang
nantinya akan menghasilkan pikiran obyektif (apa adanya tanpa unsur suka atau
tidak suka) dan yang kedua dipengaruhi oleh 'jiwa yang gelisah' yang nantinya
akan menghasilkan pikiran subyektif (maunya sendiri, lekat dengan unsur suka
atau tidak suka).
Selama rasa suka atau
tidak suka masih melekat dalam diri, maka selama itu pula manusia akan selalu
mengalami konflik, baik di dalam dirinya maupun di luar
dirinya.
Lho kok bisa ? Ya
bisa. Mau tahu ? Wani piro ?
Sangkan paraning
dumadi. Sebuah kalimat Jawa
yang sarat makna, yang secara singkat berarti asal muasal dan tempat kembalinya
semua makhluk. Dumadi itu bisa diartikan makhluk atau semua yang diwujudkan oleh
Gusti Allah. Dumadi itu sebenarnya tidak ada, karena adanya karena diadakan oleh
Yang Maha. Wujud.
Maka tidak sekalipun
pikiran manusia memiliki kesanggupan untuk mengenal Yang Maha Wujud, sebab yang
namanya Tuhan pasti berbeda dengan ciptaanNya, tak terjangkau oleh kata dan tak
pula tergenggam oleh makna. Tan kena kinaya ngapa dalm bahasa
Jawa.
Pikiran manusia hanya
bisa mencoba memahaminya melalaui makhluk ciptaanNya / dumadi. Maka lahirlah
berbagai macam ilmu yang bersifat parsial yang itu tidak pernah selesai sebab
selalu ada penemuan-penemuan baru baik yang menyanggah penemuan sebelumnya atau
pun yang memperkuat dan mempertajam penemuan sebelumnya.
Di samping yang
bersifat parsial, tentunya juga lahir ilmu yang bersifat universal, dalam arti
berlaku secara keseluruhan bagi semua dumadi/makhluk ciptaanNya, seperti
misalnya bahwa semua dumadi/makhluk memerlukan atau berada di dalam ruang, bahwa
semua dumadi/makhluk yang 'hidup' geraknya memerlukan waktu, dan yang lainnya,
yang tentu saja pembahasannya bisa sangat luas.
Secara umum, dalam
membaca keadaan pikiran akan melakukan identifikasi yang berujung pada adanya
dualitas antara laki-perempuan, panas-dingin, kaya-miskin, sehat-sakit,
sesat-tidak sesat, surga-neraka, benar-salah, positif-negatif, baik-buruk,
lapang-sempit dan seterusnya dan sebagainya.
Dualitas adalah
pilihan, dan pikiran berlandas rasa suka dan tidak suka akan memilih salah
satunya. Yang dipilih biasanya yang disukai meski berlainan dengan realita yang
sedang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya kedamaian di dalam
diri dan kalau yang di dalam tidak ada kedamaian, maka yang diluar pun apalagi,
pasti lebih kacau.
Hari ini hari Jum'at dan siang ini waktunya
sholat Jum'at, lha kok khotibya suka mengutuk, teriak-teriak dan ngamuk-ngamuk
dan aku tidak menyukai itu. Sementara saat itu pikiranku memilih khotib yang
khotbahnya membuatku mengantuk biar bisa khusyu' [tidurku], maka hasilnya ada
konflik di dalam diri yang membuat perasaan tersiksa, jadinya sepanjang khotbah
bukan malah eling sama Gusti Allah tapi malah ingin misuhi khotibnya. [Duh Gusti nyuwun ngapuro.] Lha kalau
misalnya benar-benar aku mengumpat sang khotib, pasti jadi ribut, konflik
terbuka di luar diri.
Sama halnya ilmu yang
dianggap benar [subyektif] oleh seseorang, maka ia akan menyalahkan ilmu orang
lain yang tidak sama dengan ilmunya dengan menyesatkannya. Itulah konflik di
luar diri, apalagi kalau fentung atau bom yang bicara, rusaklah tatanan
kehidupan bebrayan
agung.
Kedamaian diri atau
berhentinya konflik diri akan berakhir ternyata kalau aku mengakhirinya sendiri,
yaitu dengan tidak memilih dualitas sebagai hasil identifikasi pikiran, dalam
arti menghadapi dualitas itu apa adanya.
Saat sakit tidak
memilih sehat [meski tetap mengupayakan sehat], saat hujan tak memilih kemarau,
saat sempit tak memilih lapang, saat pahit tak memilih manis dan begitu
seterusnya. Pikiran menerima apa adanya | saat ini, di sini, seperti ini, aku
menerima | saiki, kéné, ngéné, aku
gêlêm.
Suatu hal yang sulit
pada prakteknya, namun harus tetap dilatih terus dengan mengilmui pola dasar
pikiran kita masing-masing.
Untuk tidak memilih,
pikiran memang harus hening namun tidak bisa dipaksa hening, sebab pikiran itu
liar - locat ke sana ke sini - semakin dipaksa hening akan semakin
liar.
Hanya ada dua cara
[katanya sih...] untuk mengheningkan pikiran, yaitu mengamatinya dan atau
mengalihkan perhatiannya.
Mengamati keliaran
pikiran berarti menerimanya dengan melihat gerak-geriknya dan terutama
merasakannya. - Ouw ternyata aku lagi mikir si dia, lho lha terus jadi ingat
kejadian tadi pagi, bagaimana ya kabarnya si fulan sekarang, paling engga senang
lihat gambar caleg di pinggir jalan dan seterusnya diamati terus pikiran kita
sedang apa dan dirasakan juga perasaan yang muncul silih berganti. - Terus
begitu, nanti perlahan-lahan pikiran akan hening dengan sendirinya. Jadi ingat
dawuhnya, bahwa kalau sholat engga usah dikhusyu'-khusyu'kan kalau memang belum
khusyu', melainkan dengan berpikir bahwa mungkin memang Gusti Allah masih
mentakdirkan kita belum khusyu' [kuartikan menerima]. Bila demikian bisa jadi
kita malah khusyu'.
Nah kalau mengalihkan
perhatian itu adalah dengan memperhatikan sesuatu secara khusus agar rasa lebih
mendominanasi. Bisa dengan mengulang-ngulang suatu kata atau kalimat yang
bermakna atau menyentuh rasa / dzikir, bisa juga dengan merasakan detak jantung,
denyut nadi atau pun keluar masuknya nafas.
Saat pikiran hening,
biasanya seseorang tidak akan reaktif, sebab rangsang inderawi diterima apa
adanya. Lihat perempuan cantik atau tidak, tiadak akan berbeda bagi pikiran yang
hening [kalau aku ya tetap milih yang
ayu, wong jelas beda, he... he... he...].
Mudah-mudahan ada
manfaatnya.
Semoga Panjenengan
dan saya dikaruniai keheningan pikiran yang menentramkan
jiwa.
Hanya dari jiwa yang
tentramlah keindahan cintah dapat hadir. Cinta yang di dalamnya meleburkan
segala perbedaan, cinta yang di dalamnya menyatukan semua keterpisahan dan cinta
yang di dalamnya membahagiakan semua kedukaan.