Home » , » JOGED

JOGED

Written By BAGUS herwindro on Feb 27, 2014 | February 27, 2014

Pak Pardi, demikian aku memanggilnya, seorang anggota perkumpulan Wayang Orang Sriwandowo yang dulu secara rutin manggung di THR Surabaya.

Pak pardi inilah yang menjadi guru joged/tariku saat aku masih di kisaran usia sekolah dasar. Seingatku bukan hanya aku saja, tetapi juga adikku dan kedua mbakyuku. Dulu aku berlatih njoged/ menari sehabis ashar, di rumah Tante Sampan di daerah Alun-alun Rangkah Surabaya.

Karena pemula, gerakan joged/tari yang kupelajari saat itu tidaklah terlalu sulit, masih gerakan-gerakan dasar tarian Jawa. Berbeda dengan kedua mbakyuku yang tentunya lebih rumit dan halus lagi gerakannya.

Seingatku pula, dulu aku pernah mementaskan jogedan/tarianku itu di panggung tujuh belas agustusan. Sebuah tari keperwiraan, dengan properti sebuah gada kecil, yang diberi nama tari Bondoboyo. Berbeda dengan kedua mbakyuku, mereka menampilkan tari Menak Jinggo - Dayun. Seingatku mereka pernah juga menampilkan tari Gatut Kaca. Mbakyuku mbarep, saat SMA malah beberapa kali tampil dalam pergelaran sendratari di Taman Candra Wilwatikta Pandaan.

----------

Tata tentrem, kerta raharja. Gemah ripah, loh jinawi. Subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.

Demikian pribahasa menggambarkan keberkahan negeri nusantara ini dalam arti luas dan tentu saja sesuai bahasanya lebih menyiratkan tanah Jawa. Tentu saja tanah Jawa pada waktu itu, sebab bisa jadi tanah Jawa pada saat ini bukan keseluruhan tanah Jawa pada waktu itu. Masih banyak area tersembunyai yang belum terungkap.

Maka pada waktu yang lampau manusia Jawa tidak dirisaukan masalah pemenuhan pangan, sandang dan papan. Semua serba tersedia dan mereka pun mempunyai banyak waktu untuk merenungkan diri mereka sendiri, tentang siapa sebenarnya diri sejati manusia itu, dari mana berasal dan hendak kemana pula pada akhirnya. Juga dalam hubungan interaksinya dengan sesama manusia, sesama makhluk dan tentu saja kepada Penciptanya.

Dalam tahap itulah terdapat pencapaian spiritual, mengenal spirit/jiwanya sendiri dan tentu saja bersama dengan pengenalan terhadap penciptanya.

Rasa terasah menjadi sedemikian halusnya dan dari titik itulah tercipta seni serta budaya secara keseluruhan yang indah dan mengindahkan jiwa manusia.

Pengajarannya dilakukan melalui simbol-simbol budaya sehingga tidak membatasi dengan monopoli penafsiran tentang hakikat kebenaran. Semua manusia mendapat jatah ruang yang luas untuk dapat berusaha mengilmui dan memahami sesuai kapasitas gerak rasanya masing-masing.

Di dalam budaya itu juga tercipta sebuah kreativitas seni yang indah dan mengindahkan jiwa manusia, dengan tanpa deklarasi, diam-diam melatih untuk sabar dalam proses berkesenian dan melatih kesadaran dalam menghayati keseniannya.

Ritual budaya selalu mengandung unsur ketertundukan kepada sang pencipta dengan tidak sekalipun memperkosa alam ciptaanNya. Persiapan ritual tersebut biasanya melalui sebuah proses panjang, yang diam-diam melatih pelakunya untuk berjuang dan dalam kondisi kesabaran dan penuh cinta.

Satu hal yang kuamati, dalam setiap ritual budaya ataupun dalam sebuah kreativitas seni yang indah dan mengindahkan jiwa manusia, selalu ada proses melambatkan waktu. Bukan berarti waktu secara riil bisa diperlambat, melainkan persepsi waktu bagi pelakunya akan berjalan lebih lambat karena ada proses perjuangan dalam mewujudkannya yang tentunya dibutuhkan sebuah kesabaran. Karena hanya dengan melambatkan waktu itulah, jiwa manusia akan lebih cepat mencahaya.

Tengoklah pusat-pusat kebudayaan di masa lalu, pasti selalu ada proses itu. Tradisi minum teh di Jepang, sedemikian rumit persiapan hingga penyajiannya. Seni kaligrafi di china demikian juga. Di Jawa sendiri banyak kita temui hal yang sama, lebih rumit bahkan. Seni batik tulis, seni ukir, tradisi bersih desa, ruwatan, berbagai jenis tari apalagi tari kraton seperti bedhaya ketawang - yang bukan hanya pelaku tari saja yang harus sabar bahkan pemirsanya pun juga harus sabar sebab geraknya yang nyaris diam.

----------

Rupanya di jaman ini banyak sekali manusia yang bernafsu jadi Tuhan dengan mudah sekali menyesatkan serta mengkafirkan saudaranya sendiri.

Terkait dengan budaya, seni dan tradisi, saat ini pun banyak yang menyesatkannya meski itu peninggalan para auliya sekalipun. Rupanya mereka tidak memahami perbedaan antara agama dan budaya.

Ritual agama ya memang seperti itu, harus sesuai pakem. Tetapi kalau ritual budaya, bukankah itu bukan ritual agama ? Kenapa harus disesatkan ? Para auliya dulu memperkenalkan Gusti Allah dengan menyentuh rasanya manusia, yaitu melalui proses budaya, dalam arti bagaimana yang di bumi bisa dilangitkan atau bagaimana jiwa manusia dipersiapkan menghadap Gusti Allah dengan penuh kesadaran bukan dengan keterpaksaan. Hal itu yang mereka tidak mau menggali semua makna simbolisnya serta semua laku perwujudannya. Jadinya dangkal dan maunya serba instan. Hanya mengedepankan syariat tanpa mendalami hakikatnya, jadinya kering dan biasanya gagal mengenal Tuhan. Tuhan bagi mereka hanya diposisikan seperti security dengan peluitnya, semprit sana semprit sini saat dianggap sesat.


----------

Rasanya sulit untuk saat ini andaikata anak-anakku menyeriusi belajar berkesenian. Waktu yang ada terasa tak mencukupi.

Mungkin ini merupakan imbas dari situasi jaman ini yang tingkat persaingannya begitu tinggi, sehingga manusia-manusia kemrungsung (termasuk aku dewe) mengejar uang demi mengatasi kegelisahannya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Berangkat pagi pulang malam, begitu seterusnya.

Semua serba instan, teknologi pun seolah meniadakan jarak ruang dan waktu, maka waktu akan berjalan demikian cepatnya. Kalau tak ada imbangan kesadaran menyelipkan waktu khusus (khususiyah) untuk berdiam diri (melambatkan waktu) mengambil jeda dari segala keterikatan dan kemelekatan dunia, niscaya manusia akan terdegradasi spiritualnya. Jiwanya semakin redup, gersang dan kerontang. Untuk mengenal getaran rasa YA dan TIDAK dalam dirinya pun tak mampu.

PRIHATIN kalau demi uang masyarakat luas yang harus dikorbankan. Mengejar tingginya rating siaran dengan suguhan yang sama sekali tak mengindahkan jiwa manusia dan tak pula memperhalus rasa.

Manusia dicekoki kegembiraan instan dan sesaat. Manusia disihir kekonyolan yang dipertontonkan serta dip[erlombakan. Manusia diam-diam dipaksa mengalirkan energinya ke bawah pusar.  Waktu yang panjang pun tak terasa lamanya, bahkan terasa begitu cepat. Joged/tari yang semestinya bermakna dengan menyatunya rasa si penari dan tariannya, saat ini, dimentahkan dengan asal joged dan pokok'e joged, tanpa nilai-nilai. Melalaikan.

Kalau rasa malu sudah nomer kesekian, lalu di mana letak martabat manusia ?



… dan diam-diam aku pun menikmati …
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger