Pak
Pardi, demikian aku
memanggilnya, seorang anggota perkumpulan Wayang Orang Sriwandowo yang dulu
secara rutin manggung di THR Surabaya.
Pak pardi inilah yang
menjadi guru joged/tariku saat aku masih di kisaran usia sekolah dasar.
Seingatku bukan hanya aku saja, tetapi juga adikku dan kedua mbakyuku. Dulu aku
berlatih njoged/ menari sehabis ashar, di rumah Tante Sampan di daerah Alun-alun
Rangkah Surabaya.
Karena pemula,
gerakan joged/tari yang kupelajari saat itu tidaklah terlalu sulit, masih
gerakan-gerakan dasar tarian Jawa. Berbeda dengan kedua mbakyuku yang tentunya
lebih rumit dan halus lagi gerakannya.
Seingatku pula, dulu
aku pernah mementaskan jogedan/tarianku itu di panggung tujuh belas agustusan.
Sebuah tari keperwiraan, dengan properti sebuah gada kecil, yang diberi nama
tari Bondoboyo. Berbeda dengan kedua mbakyuku, mereka menampilkan tari Menak
Jinggo - Dayun. Seingatku mereka pernah juga menampilkan tari Gatut Kaca.
Mbakyuku mbarep, saat SMA malah beberapa kali tampil dalam pergelaran sendratari
di Taman Candra Wilwatikta Pandaan.
----------
Tata tentrem, kerta
raharja. Gemah ripah, loh jinawi. Subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa
tinuku.
Demikian pribahasa
menggambarkan keberkahan negeri nusantara ini dalam arti luas dan tentu saja
sesuai bahasanya lebih menyiratkan tanah Jawa. Tentu saja tanah Jawa pada waktu
itu, sebab bisa jadi tanah Jawa pada saat ini bukan keseluruhan tanah Jawa pada
waktu itu. Masih banyak area tersembunyai yang belum
terungkap.
Maka pada waktu yang
lampau manusia Jawa tidak dirisaukan masalah pemenuhan pangan, sandang dan
papan. Semua serba tersedia dan mereka pun mempunyai banyak waktu untuk
merenungkan diri mereka sendiri, tentang siapa sebenarnya diri sejati manusia
itu, dari mana berasal dan hendak kemana pula pada akhirnya. Juga dalam hubungan
interaksinya dengan sesama manusia, sesama makhluk dan tentu saja kepada
Penciptanya.
Dalam tahap itulah
terdapat pencapaian spiritual, mengenal spirit/jiwanya sendiri dan tentu saja
bersama dengan pengenalan terhadap penciptanya.
Rasa terasah menjadi
sedemikian halusnya dan dari titik itulah tercipta seni serta budaya secara
keseluruhan yang indah dan mengindahkan jiwa manusia.
Pengajarannya
dilakukan melalui simbol-simbol budaya sehingga tidak membatasi dengan monopoli
penafsiran tentang hakikat kebenaran. Semua manusia mendapat jatah ruang yang
luas untuk dapat berusaha mengilmui dan memahami sesuai kapasitas gerak rasanya
masing-masing.
Di dalam budaya itu
juga tercipta sebuah kreativitas seni yang indah dan mengindahkan jiwa manusia,
dengan tanpa deklarasi, diam-diam melatih untuk sabar dalam proses berkesenian
dan melatih kesadaran dalam menghayati keseniannya.
Ritual budaya selalu
mengandung unsur ketertundukan kepada sang pencipta dengan tidak sekalipun
memperkosa alam ciptaanNya. Persiapan ritual tersebut biasanya melalui sebuah
proses panjang, yang diam-diam melatih pelakunya untuk berjuang dan dalam
kondisi kesabaran dan penuh cinta.
Satu hal yang
kuamati, dalam setiap ritual budaya ataupun dalam sebuah kreativitas seni yang
indah dan mengindahkan jiwa manusia, selalu ada proses melambatkan waktu. Bukan
berarti waktu secara riil bisa diperlambat, melainkan persepsi waktu bagi
pelakunya akan berjalan lebih lambat karena ada proses perjuangan dalam
mewujudkannya yang tentunya dibutuhkan sebuah kesabaran. Karena hanya dengan
melambatkan waktu itulah, jiwa manusia akan lebih cepat
mencahaya.
Tengoklah pusat-pusat
kebudayaan di masa lalu, pasti selalu ada proses itu. Tradisi minum teh di
Jepang, sedemikian rumit persiapan hingga penyajiannya. Seni kaligrafi di china
demikian juga. Di Jawa sendiri banyak kita temui hal yang sama, lebih rumit
bahkan. Seni batik tulis, seni ukir, tradisi bersih desa, ruwatan, berbagai
jenis tari apalagi tari kraton seperti bedhaya ketawang - yang bukan hanya
pelaku tari saja yang harus sabar bahkan pemirsanya pun juga harus sabar sebab
geraknya yang nyaris diam.
----------
Rupanya di jaman ini
banyak sekali manusia yang bernafsu jadi Tuhan dengan mudah sekali menyesatkan
serta mengkafirkan saudaranya sendiri.
Terkait dengan
budaya, seni dan tradisi, saat ini pun banyak yang menyesatkannya meski itu
peninggalan para auliya sekalipun. Rupanya mereka tidak memahami perbedaan
antara agama dan budaya.
Ritual agama ya
memang seperti itu, harus sesuai pakem. Tetapi kalau ritual budaya, bukankah itu
bukan ritual agama ? Kenapa harus disesatkan ? Para auliya dulu memperkenalkan
Gusti Allah dengan menyentuh rasanya manusia, yaitu melalui proses budaya, dalam
arti bagaimana yang di bumi bisa dilangitkan atau bagaimana jiwa manusia
dipersiapkan menghadap Gusti Allah dengan penuh kesadaran bukan dengan
keterpaksaan. Hal itu yang mereka tidak mau menggali semua makna simbolisnya
serta semua laku perwujudannya. Jadinya dangkal dan maunya serba instan. Hanya
mengedepankan syariat tanpa mendalami hakikatnya, jadinya kering dan biasanya
gagal mengenal Tuhan. Tuhan bagi mereka hanya diposisikan seperti security
dengan peluitnya, semprit sana semprit sini saat dianggap
sesat.
Baca juga : Lebar
Lebur Luber - Kreativitas
Super
----------
Rasanya sulit untuk
saat ini andaikata anak-anakku menyeriusi belajar berkesenian. Waktu yang ada
terasa tak mencukupi.
Mungkin ini merupakan
imbas dari situasi jaman ini yang tingkat persaingannya begitu tinggi, sehingga
manusia-manusia kemrungsung (termasuk aku dewe) mengejar uang demi mengatasi
kegelisahannya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Berangkat pagi pulang malam,
begitu seterusnya.
Semua serba instan,
teknologi pun seolah meniadakan jarak ruang dan waktu, maka waktu akan berjalan
demikian cepatnya. Kalau tak ada imbangan kesadaran menyelipkan waktu khusus
(khususiyah) untuk berdiam diri (melambatkan waktu) mengambil jeda dari segala
keterikatan dan kemelekatan dunia, niscaya manusia akan terdegradasi
spiritualnya. Jiwanya semakin redup, gersang dan kerontang. Untuk mengenal
getaran rasa YA dan TIDAK dalam dirinya pun tak mampu.
PRIHATIN kalau demi
uang masyarakat luas yang harus dikorbankan. Mengejar tingginya rating siaran
dengan suguhan yang sama sekali tak mengindahkan jiwa manusia dan tak pula
memperhalus rasa.
Manusia dicekoki
kegembiraan instan dan sesaat. Manusia disihir kekonyolan yang dipertontonkan serta dip[erlombakan.
Manusia diam-diam dipaksa mengalirkan energinya ke bawah pusar. Waktu yang panjang pun tak terasa lamanya,
bahkan terasa begitu cepat. Joged/tari yang semestinya bermakna dengan
menyatunya rasa si penari dan tariannya, saat ini, dimentahkan dengan asal joged
dan pokok'e joged, tanpa nilai-nilai. Melalaikan.
Kalau rasa malu sudah
nomer kesekian, lalu di mana letak martabat manusia ?
… dan diam-diam aku
pun menikmati …