He...he...he... lagi-lagi terbentur
realita tentang diriku sendiri, bahwa ternyata kenyataannya nyata-nyata cinta,
kasih dan sayangku palsu, belum tulus sehingga aku belum lulus karena banyak
modus. Seperti kata pepatah - ada udang di balik rempeyek - atau pribahasa ada
gula ada kopi, he...he...he... tinggal cari air panasnya.
Belajar dan berlatih
lagi menelusuri untuk mengerti dan memahami jiwa yang disematkan di dalam badan
wadag ini. Sebab jiwa tidak kasat mata, maka untuk mengerti dan memahaminya pun
perlu perangkat yang tidak kasat mata pula, yaitu rasa.
Hari ini aku menemui
marah di dalam jiwaku, sebuah perasaan yang sangat tidak nyaman di dada. Detak
jantung bertambah cepat, nafas pun menjadi pendek. Sebuah perasaan yang sangat
menguras energi.
Kutemui pula bahwa di
balik semua perasaan yang silih berganti unjuk gigi (padahal perasaan itu engga
punya gigi) di dalam dada, biasanya dilandasi oleh rasa suka atau rasa tidak
suka. Rasa suka atau tidak suka inilah yang menyebabkan aku tidak pernah bisa
untuk obyektif dan selalu saja subyektif dalam menilai segala sesuatu. Itu aku,
saya yakin kalau Panjenengan tidak. Tidak beda maksud saya, he... he...
he...
Kucari marah yang
terdekat denganku di lingkungan terkecilku, sebab marah yang jauh dan di
lingkungan yang lebih luas pun kalau dicari esensinya pasti
sama.
Ya... marah sama
anakku. Di antaranya karena enggan dalam hal belajar (padahal aku dulu juga
begitu... :D).
Pertama
Aku marah karena aku
tidak suka, di sisi lain anakku enggan belajar karena dia suka. [Perlu
diverifikasi lagi tentang ketidaksukaanku ini, nanti].
Anggapanku, enggan
belajar adalah hal yang tidak baik, maka aku marahi dia, karena aku berpikir
kalau aku marahi dia maka dia akan jadi baik dengan rajin belajar. Namun di
situlah letak kelalaianku. Andai dengan marah-marah sesuatu yang tidak baik akan
menjadi baik, maka rasanya tidak perlu waktu lama untuk mengubah wajah dunia
menjadi lebih baik. Marahi saja orang-orang yang dianggap tidak baik, kalau
perlu sambil bawa pentungan dan memekikkan takbir ! (Mohon maaf bukan maksud
saya untuk tidak menyindir kelompok berfentung)
Di satu sisi aku
tidak suka terhadap keengganannya untuk belajar dan aku merasa bahwa
ketidaksukaanku tersebut adalah suatu hal yang benar. Di sisi yang lain, anakku
merasa tidak suka untuk belajar dan menganggap hal itu bukan sesuatu yang salah,
sebab mungkin menurutnya meski tidak belajar yang penting dia bisa mengerjakan
soal-soal ujian dan bisa naik kelas. Lha kalau seperti itu berarti benar itu
relatif, sebab rasa benarku berbeda dengan rasa benar anakku dan aku tidak bisa
merasakan rasa benarnya anakku. Kalau suka itu benar sebaliknya kalau tidak suka
berarti salah. Berarti pula rasa benarku itu subyektif, benerku
dewe.
Dari sisi anakku
pula, aku jarang -kalau tidak mau dikatan tidak pernah - merasakan rasa tidak
suka anakku dalam hal-hal tertentu terhadap diriku, seakan-akan aku mengatakan
padanya, "Aku berhak tidak menyukai hal-hal yang ada dalam dirimu, namun engkau
tidak sekali pun berhak untuk tidak suka pada hal-hal yang ada dalam
diriku".
BERARTI rasa suka atau tidak
suka telah menghalangiku untuk bersikap obyektif, adil dan apa adanya. Kalau
pada contoh ini pada anakku, maka di luar itu ketidakadilanku pasti lebih luas
dan lebih berat lagi kadarnya.
Kedua
Aku sering mengatakan
kalau marahku itu karena cinta, kasih dan sayangku. Aku sering mengatakan pula
kalau anakku baik tentunya juga untuk dirinya sendiri nantinya. Namun pada
kenyataannya cinta, kasih dan sayangku itu belumlah tulus, sebab diam-diam ada
pamrihku sendiri meski sebenarnya aku juga tidak mau
mengakui.
Kira-kira begini,
kalau anakku rajin belajarnya dan lancar studinya apalagi kalau dapat memenuhi
berbagai harapanku kepadanya, maka setidaknya aku sebagai orang tuanya akan
merasa bangga. Dia tidak menjadi beban pikiranku dan dapat mandiri lepas dari
tanggung kewajibanku. Itulah harapanku tentang "baik" darinya. Maka saat
harapanku itu kelihatannya akan sulit terpenuhi, marahlah aku, atas nama cinta,
kasih dan sayang, bahkan mungkin atas nama Tuhan dengan berlindung di balik
eksistensiku sebagai orang tua.
Apa masih pantas
dikatakan cinta, kasih dan sayang saat semua itu terbatas atau dibatasi oleh :
syarat dan ketentuan berlaku ? Ah...
jadi malu.
Kalau mau menyelami
rasanya anakku, sebenarnya sama dengan rasaku, dia pun berharap banyak kepadaku
sebagai ayahnya, yaitu kebanggaannya dan orang yang diharapkan memenuhi
kebutuhannya. Bukankah sebagai orang tua aku juga tak selalu membanggakan dan
tak selalu pula bisa mencukupi semua kebutuhannya.
BERARTI sebenarnya antara
anak dan orang tua sama rasanya, saling memanfaatkan. Kenyataan ini memerlukan
ketabahan, yaitu kesungguhan dan keberanian melihat segala sesuatu secara apa
adanya terlepas dari rasa suka atau tidak suka.
KIRA-KIRA
Marah harus tanpa
amarah - tidak meledak-ledak apalagi kalau hawanya sudah merusak – dalam arti
sekedarnya saja dengan menelusuri asal muasal perasaan marah itu dan sekaligus
menelusuri perasaan dari dia yang menjadi obyek kemarahan.
Saat hakikat marahku
yang sedang melanda diriku berhasil aku pahami dan juga dengan merasakan rasanya
dia hingga merasakan rasa yang sama, maka marahku itu biasanya akan reda, sirna
dan malah berubah menjadi cinta, kasih dan sayang yang tulus serta menentramkan
jiwa.
----------
Kalau antara orang
tua dan anak saja saling memanfaatkan, maka apalagi kalau hanya dengan orang
lain, meski itu seorang sahabat karib sekalipun.
Meski tak diakui,
setiap saat dalam interaksi selalu terjadi tarik menarik energi, saling
menghisap energi, saling memanfaatkan demi pamrih tersembunyi. Maka, kita akan
merasa tak nyaman dengan mereka yang tak sependapat, tak sepaham, tak sehaluan
dan tak-tak yang lain, sebab kita tak bisa menghisap energi mereka, dalam arti
bahwa tak ada yang diharapkan dari mereka untuk merealisasikan. Mereka yang
menjadi sahabat kita sebenarnya bukan karena selaras, tapi lebih karena kita
menghisap energinya sebab kita masih memerlukan pengakuannya tentang diri kita
sebagai seorang sahabat dan pastinya dia ada manfaatnya bagi diri
kita. Ini harus disadari, sebab mungkin saja suatu saat nanti sahabat kita melakukan hal yang mengecewakan kita.
Dan pada akhirnya kutemukan bahwa hanya Gusti Allah yang tidak mempunyai pamrih. Gusti Allah itu engga butuh aku blas… aku sing butuh.
Dan pada akhirnya kutemukan bahwa hanya Gusti Allah yang tidak mempunyai pamrih. Gusti Allah itu engga butuh aku blas… aku sing butuh.
----------
Semoga ada
manfaatnya.