Bagi saya BISMILLAH itu sebuah kalimat yang menguatkan. Saya tidak memahami
hakikinya BISMILLAH itu apa, tetapi bagi saya BISMILLAH itu sebuah kalimat
singkat, sederhana namun powerfull.
BISMILLAH merupakan awal kebaikan,
awal ketakberdayaan, awal keberserahan dan sekaligus awal keberdayaan
diri.
Mereka yang memahami cara kerja
pikiran, mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan pikiran dan terbiasa
mengeksplorasinya, biasanya mempunyai metode untuk menguatkan diri sendiri
dengan sugesti yang merujuk pada situasi tertentu yang telah diseting
sebelumnya. Jadi untuk menuju ke situasi yang menguatkan itu, seperti menekan
tombol ON untuk mengaktifkannya, baik dengan suatu kalimat atau suatu sikap
tertentu. Bagus memang, bisa memberdayakan diri sendiri, namun bisa jadi hal itu
akan semakin menguatkan ego, kira-kira begitu, mohon maaf kalau tidak
tepat.
Bagi saya, awal pemberdayaan diri
adalah pada saat mengenal kekurangan diri serta mengetahui kelemahan diri. Sebab
karena tahu kekurangan dan kelemahan dirinya sendiri itulah, seseorang akan
berusaha mengupgrade dirinya agar
yang kurang bisa bertambah baik dan yang lemah bisa bertambah kuat. Manusia itu
ciptaannya Gusti Allah yang terbaik, untuk menjalani takdir kehidupannya sudah
dibekali dengan segala perangkat yang ada dalam diri manusia, baik perangkat
keras maupun perangkat lunak. Tinggal bagaimana manusia itu sendiri yang mau
atau tidak untuk mengeksplorasinya. Kalau mau, niscaya manusia akan serba bisa
karena potensinya memang sangat luar biasa. Namun sehebat-hebatnya potensi
manusia yang bisa dieksplor, manusia tetaplah lemah tak berdaya, sebab segala
yang ada dalam dirinya – adanya bukan karena diadakan oleh dirinya sendiri –
namun adanya karena diadakan oleh Gusti Allah. Itu yang harus disadari dan
itulah mulanya.
Saya sendiri, sebagaimana
kenyataan yang ada, tak lebih dari kebanyakan orang pada umumnya. Bukan termasuk
orang yang hidup dalam kelimpahan materi, bukan pula termasuk orang yang hidup
dalam gelimang kekuasaan dan tak juga termasuk orang yang memiliki banyak
kelebihan dalam hal-hal tertentu dibanding orang lain. Alhamdulillah, di usia
yang sudah kesekian ini, semua ternyata bisa saya lampaui. Orang Surabaya bilang
BoNEK. Bonek itu modal saya. Bondho nekad, bondho itu modal, nekad itu kata kerja dari tekad.
Tekadnya ya itu, BISMILLAH.
Lagi susah ya bismillah, lagi ndak punya uang ya bismillah, lagi sakit
ya bismillah, lagi ada halangan ya bismillah, belum bisa bayar hutang ya
bismillah [he… he… he… yang terakhir ini jangan ditiru], wis pokok’e BISMILLAH. BISMILLAH itu
membesarkan hati saya, meluaskan jiwa saya, menenteramkan perasaan saya,
membeningkan pikiran saya dan tentunya semua itu akan berdampak melipatgandakan
kekuatan saya.
BISMILLAH merupakan awal kebaikan. Katanya orang Jawa, urip mung gawé
bêcik, hidup itu
untuk berbuat kebaikan, maka tak ada kebaikan tanpa diawali dengan ucapan
“bismillah”. Dengan membiasakan menyadarkan diri mengucapkan “bismillah” untuk
mengawali kebaikan, berarti menautkan diri kepada Sumber Kebaikan yang sejati
yaitu Gusti Allah dan semoga dengan itu pula Gusti Allah mengarahkan hati kita
agar dimampukan mempersembahkan perbuatan baik itu kepada Gusti Allah, bukan
atas dasar yang lain. Semoga dipahamkan pula kesadaran kita, bahwa atas
anugerahNYAlah kita tergerak untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena
inisiatif kita sendiri. Itulah awalnya, sehingga…
BISMILLAH merupakan awal ketakberdayaan. Sebab apa pun kebaikan yang akan kita lakukan tak
mungkin terlontar pada gerak hati kita tanpa ada hidayahNYA yang mengawali, apa
pun kebaikan yang kita lakukan – modal awalnya semua dari Gusti Allah baik yang
ada di dalam diri kita maupun yang ada di luar diri kita. Maka dengan
“bismillah” semoga disadarkan untuk mengNOLkan diri agar jauh dari bangga dan
takabur, semoga pula disadarkan bahwa karena semua modal dari Gusti Allah maka
motivasi kita adalah untuk mempersembahkan dan melayani Gusti Allah, sehingga
pula…
BISMILLAH merupakan awal keberserahan. Sebab saat “bismillah” dan termotivasi mempersembahkan
dan melayani Gusti Allah, berarti orientasinya adalah pada proses bukan pada
hasil, berarti pula berserah terhadap hasilnya apa pun itu. Tidak takut gagal,
tidak takut ditolak, tidak takut tidak mendapatkan laba dan sebagainya. Yang
utama adalah mengerjakan setiap detail proses dengan sebaik-baiknya secara
optimal sesuai kemampuan diri kita masing-masing dan itu bermakna juga sebagai
bentuk syukur kita, maka…
BISMILLAH merupakan awal keberdayaan
diri. Sebab dengan berorientasi pada
proses, biasanya seseorang akan tergerak untuk lebih cepat, tepat dan hemat. Itu
berarti seseorang akan tergerak pula untuk lebih melejitkan batas maksimal
kemampuan dirinya dengan membuka pikirannya terhadap hal-hal baru yang belum
diketahuinya, memperluas wawasan keilmuannya dan tentunya memperdalam
keterampilan yang sudah dikuasainya. Dengan “bismillah” seseorang bisa menjadi
yakin, tidak semata bahwa yakin bahwa dirinya mampu, melainkan yakin bahwa Gusti
Allah pasti memberikan kemampuan lebih, sehingga sesulit, seberat dan serumit
apapun akan menjadi mudah, ringan dan sederhana.
----------------
Ini mungkin soal lain. Jalan itu
tak semuanya dan tak selamanya mulus. Kadang rata dan halus, tetapi tak jarang
pula berlubang-lubang tak karuan. Kadang datar, tetapi sering pula menanjak
tajam atau bahkam menurun curam. Kadang lurus, tetapi banyak pula yang menikung
tajam dan berkelok-kelok. Untuk itulah, kendaran bermotor selalu dilengkapi
dengan shockbreaker atau peredam
kejut atau pegas atau singkatnya per, agar hentakan-hentakan kala menanjak,
menurun, berbelok dan begeronjal tak begitu terasa.
Demikian pula seharusnya dengan
diri kita. Kita harus mempunyai “suatu pegas/per” yang bersifat internal dalam
diri kita untuk meredam kejutan-kejutan yang harus kita lalui sepanjang jalan
kehidupan. Itu bisa berupa apa saja, bisa berupa humor atau gurauan hikmah yang
menyegarkan jiwa ataupun bisa berupa kata/ungkapan/falsafah ringan namun
bermakna mendalam yang bersumber pada ajaran agama yang mengakar sehingga
menguatkan jiwa kita. Humor yang menertawakan diri kita sendiri itu sungguh obat
yang mujarab mengatasi kesedihan. Kalimat-kalimat singkat seperti ungkapan
“Gusti Allah ora sare” atau “urip mung mampir ngombe” atau yang lainnya yang
kita pahami dan sadari merupkan vitamin yang sangat menguatkan jiwa. Jadi
motivasi itu sebenarnya harus dari dalam diri kita sendiri, tidak perlu
motivator. Apa iya, untuk berbuat baik saja perlu dimotivasi oleh orang lain ?
Bayar lagi. He… he… he…
Jiwa yang rapuh, mudah
dihancurkan. Jiwa yang keras, mudah dipatahkan. Namun jiwa yang lentur, tak
mudah dihancurkan dan tak mudah pula dipatahkan, ia akan menerima segala sesuatu
yang menumbuk dirinya tanpa melukai dirinya sendiri bahkan membalikkannya dengan
kekuatan yang berlipat ganda.
Jadi ingat suatu kejadian dari
banyak peristiwa lain yang telah lampau yang sejenis penuh ketakterdugaan, yang
semoga saja bisa membangkitkan rasa syukur saya kepada Gusti Allah. Ini penting,
jangan mengingat masa lampau kalau hanya untuk disesali dan dikorek lukanya
kembali, tapi ingatlah masa lampau kalau itu menyebabkan bangkitnya rasa syukur
kita kepadaNya.
Kalau tidak salah saat itu tahun
1996, posisi kerja sedang off karena tidak ada kelas, kalau uang ya ada namun
tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Sempat susah juga waktu itu, tapi seperti
biasa, saya sadar-sadarkan untuk tenang, santai, “bismillah – opo jare” / apa
kata nantilah. Dengan itu saya rasanya dimampukan untuk pasrah. Tiba-tiba saja
ada telpon berdering dari seseorang yang menadapatkan nomor saya dari seorang
teman. Dia seorang mahasiswa yang kuliah di Australia, sedang liburan tapi dapat
tugas yang harus dikirimkan via email ke dosennya, minta les privat. Tugas
aplikasi Excel : What-If analysis, scenario manager dan
goal seek; aplikasi Word : membuat template.
Kalau excelnya sih bisa, makanan
sehari-hari soalnya, tapi materi yang diminta itu yang masalah bagi saya, belum
pernah pakai soalnya. Namun saat dia menanyakan kesanggupan saya, saya
sebagaimana biasanya [meskipun belum
punya ilmu tentang itu] selalu menjawab BISA. Jawab bisa dulu, belajarnya
belakangan, yang penting bila saatnya tiba saya sudah siap. Sudah BISMILLAH
saja, berangkat ke Gramedia, cari referensi buku yang sesuai. Ketemu, harganya
lebih dari dua puluh ribu. Ha… ha… ha… kasihan banget, sambil baca buku, tengok
kiri kanan berharap ada seorang kenalan yang ada disitu, kalau boleh mau pinjam
uang buat beli itu buku. Sayangnya gak ada. Terpaksa, 2 jam berdiri baca buku
hingga tuntas, mengerahkan kepekaan pemahaman dan daya ingat. Selesai. Pulang ke
rumah, mencoba menuangkan kembali pemahaman tadi dalam bentuk tutorial singkat
plus contoh kasusnya. Selesai dan siap berangkat sesuai
perjanjian.
Saat bertemu dengan siswa les
privat saya, yang penting penampilan saya harus meyakinkan tidak boleh terlihat
grogi, harus percaya diri. Selesailah sudah dua jam yang menegangkan, semua
permintaan materi saya ajarkan dengan cukup baik hingga dia memahaminya. Tegang
tapi tetap santai. He… he… he… seratus ribu untuk dua jam mengajar kala
itu.
Kisah yang lain masih
banyak.
|
MengUCAP nama TUHAN di perMULAan situasi, kondisi, aktivitas, ruang dan
waktu, merupakan AWAL keBAIKan, AWAL keTAKberDAYAan, AWAL keberSERAHan dan
sekaligus AWAL pemberDAYAan DIRI, sebab memperTAUTkan DIRI pada sumber yang
sejati. | BISMILLAH, besarkan hati lintasi segala
situasi, kuatkan tekad menggapai rahmat, luaskan ilmu kaliskan semua halangan
semu dan sulutlah bahagia untuk wujudnya asa.
|
Kira-kira
begitu.