Pada akhirnya
manusia se… apa pun dia, pasti akan kalah oleh waktu.
Waktu yang tersedia untuknya, waktu yang teramat singkat,
sesingkat tanda “strip” yang tertulis di nisannya. FULAN : [lahir tanggal] – [wafat tanggal].
Untuk kesekian kali pula berita tentang batas
ajal sampai kepadaku, seorang kerabat, bukan saudara namun kedekatannya melebihi
saudara. Seseorang yang begitu besar jasa kebaikannya
untukku sekeluarga, spiritnya telah meneguhkan optimisme kami sekeluarga di masa
yang lalu.
Datang ke rumahnya kemarin malam, mengikuti proses pemandiannya
dan ikut serta mensholatkannya menyisakan secuil rasa hampa di relung dada.
Anganku melangit dan egoku rasanya membumi.
Mati itu pasti. Mereka yang telah tiba saatnya pulang kembali, mati, telah menemukan
kesejatiannya. Kesejatian tentang mati itu sendiri,
kesejatian tentang alam penantian dan kesejatian tentang kebenaran, kesejatian
tentang Tuhannya. Sejati sebab mereka kini telah
merasakannya sendiri, yang semula masih ghoib, sekarang telah mewujud
nyata. Kalau yang masih hidup, kematian masihlah
sebatas anggapan atau angan-angan berdasarkan petunjuk kitab suci atau petuah
guru ruhani, belum menjadi kenyataan yang terjadi.
Yang hidup masih sangat sering bertengkar, berbaku hantam bahkan
berbunuhan satu sama lain karena masing-masing
mempertahankan “kebenaran” simbol-simbol mereka, panji-panji mereka, merek dan
label mereka. Ditinggikan sendiri dengan merendahkan yang lain, dibenarkan
dengan menyalahkan yang lain, dimuliakan dengan menistakan yang lain dan begitu
terus. Namun saat MATI, terkuaklah kebenaran sejati.
Yang mereka anggap tinggi, benar dan mulia belum tentu begitu
kesejatiannya. Pun demikian sebaliknya.
Urip mung mampir
ngombe, begitu kata orang Jawa, benar dan sangat benar, mampir itu sebentar
dan sangat sebentar, itulah hidup, singkat dan teramat singkat, hanya sebatas
tanda “strip” antara lahir dan mati. Hal yang PASTI itulah
yang sering terLUPAkan atau bahkan memang diLUPAkan. Saya sendiri masih selalu melupakan hal yang pasti itu. Saya yakin mati itu pasti, tetapi berkebalikan dengan itu saya masih
selalu memastikan diri memperturutkan segala keinginan saya, apalagi di jaman
yang seperti ini. Atas nama kemakmuran, atas
nama kekayaan dan atas nama kebebasan finasial, semua dijual dengan segala cara,
sihir iklan ditebar di mana-mana bahkan sampai masuk ke ruang pribadi. Sistem
ekonomi terutama, selalu menawarkan metode pemuasan keinginan padahal sejatinya
keinginan tak akan pernah puas dan tuntas. Agama yang mendidik metode pengendalian keinginan, sudah banyak yang
mengacuhkannya, sebatas tulisan di atas kertas. Ekonomi
berkembang pesat, teknologi pun melesat cepat, namun spiritual tak lagi aktual
bahkan ikut dijual jadi barang dagangan, jadilah jiwa-jiwa yang gersang yang
selalu terobsesi oleh keinginan.
Setahu saya kehidupan itu satu paket, tidak ada pembedaan antara
ilmu agama dan yang bukan, antara dunia dan akhirat, atau yang lainnya, tentu
saja bila dipahami dari sudut pandang bahwa kita berasal dari Gusti Allah dan
nantinya akan kembali kepada Gusti Allah. Jadi semua boleh dilakukan dan dicapai
asal dalam melakukan dan mencapai segala sesuatu itu, kita menemukan bahwa
ternyata diri kita bersama Gusti Allah di dalamnya dan apa yang kita lakukan dan capai itu kita persembahkan kepada
Gusti Allah. Gusti Allah selalu kita posisikan sebagi subyek
dalam kehidupan kita. Parameternya adalah dari semua yang dilakukan dan
dicapai itu, apakah semakin mendekatkan dan berkekalan kesadaran dengan Gusti
Allah atau malah semakin menjauhkan ? Begitu yang disampaikan Guru Mulia. Hal
itulah yang sulit bagi saya, di segala aktivitas masih jauh dari menemukan
kesdaran tentang diri sendiri bersama Tuhan, masih jauh untuk menemukan Gusti
Allah di balik segala sesuatu. Kalau lagi kerja,
sebatas hanya mencari materi saja, tanpa kesadaran mempersembahkan kerja terbaik
saya kepada Gusti Allah. Kalau sedang berinteraksi
sosial, yang dipikiran cuma untung-rugi saja, tanpa kesadaran mengabdi kepada
Gusti Allah, melayani sesama dengan kesungguhan hati. Dan begitu pada
hal-hal yang lain.
Tego larane ora tego
patine kata orang Jawa. Saat datang berita kematian
seseorang yang kita kenal cukup dekat, sedikit atau pun banyak ada sesuatu yang
berdesir dalam dada. Kita pasti akan teringat
segala hal tentang dia yang meninggal berkait dengan interaksi kita dengannya,
tentu saja dari sudut pandang kita. Itulah kitab kehidupannya
yang yang telah tertulis untuknya mulai lahir sampai wafatnya, tidak bisa lebih
dan tak bisa pula kurang. Sesungguhnya setiap manusia
hanya sekedar menjalani kitab kehidupannya masing-masing, termasuk kita, hingga
tak usahlah terlalu berlebihan saat memuji atau sebaliknya terlalu berlebihan
saat mencela. Menerima apa adanya dan sekedarnya
saja adalah hal terbaik, agar kita pun diterima apa adanya dan sekedarnya
saja.Tak ada yang lebih baik bagi dia yang telah meninggal dunia selain doa
kebaikan untuknya, memaafkan dan bersaksi atas kebaikannya semasa hidupnya.
Semoga Gusti Allah kelak juga menggerakkan manusia lain
untuk memafkan kita, mendoakan kita dan menyaksikan kebaikan kita.
Pagi tadi jam sembilan Beliau dimakamkan dan saya bersaksi
untuknya bahwa semasa hidupnya beliau tak pernah berhenti berjuang demi
anak-anaknya yang diamanahkan kepadanya dan semasa hidupnya pula Beliau sangat
banyak melayani orang lain dengan anugerah yang dititipkan Gusti Allah
kepadanya.
Sugeng tindak Tante.
.:: ALLAAHUMMAGHFIR LAHAA WARHAMHAA WA 'AAFIHAA WA'FU 'ANHAA WA
AKRIM NUZULAHAA WA WASSF MADKHALAHAA WAGHSILHAABILMAA-I WATS TSALJI WAL BARADI
WANAQQIHAA MINAL KHA-THAAYAA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANASI WA
ABDILHAA DAARAN KAAIRAN MIN DAARIHAA WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHAA WA ZAUJAN
KHAIRAN MIN ZAUJIHAA WAQIHAA FTTNATAL QABRl WA ADZAABAN NAARI. ::.