Ini adalah tentang pilihan, bahwa dalam setiap detik kehidupan kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus kita putuskan apa yang menjadi pilihan kita.
Saya teringat akan sebuah nasihat dari seorang guru, saat saya dulu sempat belajar sedikit tentang teknik silat kepadanya. Beliau mengatakan bahwa seterampil apa pun penguasaan silat saya, kalau nantinya berhadapan sesungguhnya dengan – katakanlah seorang penjahat yang berdarah dingin, maka bisa jadi teknik silat saya tidak akan bisa keluar utuh dan belum tentu saya akan memenangkan pertarungan dengan penjahat itu. Kenapa ?
Sebab,
saya pasti masih mempunyai rasa takut atau khawatir yang besar, masih ingat anak, masih ingat keluarga, masih ingat pekerjaan dan lain-lain yang memberatkan hati. Sedangkan bagi penjahat itu, dia tidak akan berpikir macam-macam, dia menyederhanakan pilihan hidupnya menjadi hanya dua : harus menang [mendapat apa yang dia ambil paksa] atau paling-paling masuk penjara, paling parah ya mati. Sudah itu
saja.
Tetapi kalau
direnungkan, nasihat itu bermakna sangat luas dan juga aplikatif dalam segala bidang kehidupan dan saya rasa kita
bisa mencontoh dari sikap penjahat itu, meskipun pada jalan yang “tidak benar” tetapi sangat mengandung nilai ke”benar”an.
Kira-kira seperti ini :
Penjahat itu sangat tahu resiko dari pilihan yang dijalaninya dan dia berani memutuskan untuk mengambil pilihan itu.
Saat beraksi pun dia akan
melakukannya dengan sebaik-baiknya, dia berorientasi pada proses bukan pada hasil. Suupeerrrr sekali itu
!!!
Sayangnya mungkin dia lupa, bahwa apa yang dilakukannya saat ini pasti akan menjadi kenangan yang buruk saat dia sudah berada di masa depan yang mungkin saja di masa depan dia menjadi seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan. Bisa jadi,
masa lalunya yang kurang baik itu dijadikan senjata bagi mereka yang tidak senang kepadanya untuk menjatuhkan dirinya. Tetapi sebenarnya bukan masalah juga, sebab lebih baik menjadi mantan “penjahat” daripada mantan “ustadz”. Tapi pada jaman ini, susah juga lho mengetahui seseorang itu “penjahat” atau “ustadz”, sebab dalam era yang serba industri ini, uang berperan sangat besar dalam hal penokohan seseorang melalui media. Dengan kekuatan media dan uang, seseorang bisa ditokohkan menjadi “A” atau orang yang lain bisa menjadi “B” asal mereka layak jual, rating acaranya tinggi, prime time dan
tentu saja meraup banyak iklan dengan nilai rupiah yang mencengangkan
untuk setiap detiknya.
Maaf… jadi ngelantur
ke mana-mana.
Kembali lagi ke penjahat itu. Itulah cermin kehidupan, semestinya kita ini harus berani memutuskan mau jadi BAIK atau JELEK. Kalau BAIK mestinya harus konsekuen yaitu harus BAIK SEKALI, pun demikian
sebaliknya, kalau JELEK yang
harus konsisten, harus JELEK SEKALI dengan
SADAR.
Seandainya bila kebaikan, kebenaran dan semua nilai-nilai yang positif itu disimbolkan sebagai tokoh PANDAWA dan yang sebaliknya disimbolkan dengan tokoh KURAWA, maka saat kita ditanya tentang siapakan diri kita, PANDAWA atau KURAWA, beranikah kita dengan lantang menjawab di antara dua tokoh itu ?
Kalau saya
pasti bingung menjawabnya, bukan karena bingung tidak tahu jawabnya, tetapi bingung bagaimana cara menjawabnya secara diplomatis. Mau saya jawab Pandawa tidak berani, tetapi kalau saya jawab Kurawa, saya pun tidak berani mengakui secara terbuka.
Lain halnya dengan penjahat yang menjadi tokoh saya pada tulisan ini, dia pasti dengan tegas menjawab bahwa dia Kurawa. Jawaban yang
berani dan sadar. Meskipun
hasil rampokannya kecil, dia konsekuen. Lain halnya
dengan para
oknum [oknum kok banyak ???] tokoh di atas sana, di organisasi masyarakat, di organisasi profesi, di organisasi politik, di lembaga Negara, di berbagai wilayah pemerintahan Negara dan di berbagai yang lain yang di dalamnya ada perputaran uang dan kekuasaan. Mereka selalu berpoligami, dalam arti mereka selalu berorientasi pada hasil [karena nilainya pasti bikin ngiler] dan sekaligus berorientasi pada proses [bermain cantik, hati-hati, sering memakai bahasa simbol hewan atau buah-buahan ha… ha… ha…]. Saat
terperangkap dan terpaksa duduk di hadapan mereka yang “berperan” sabagai “penegak keadilan”, biasanya mereka tidak pernah mengatakan dengan lantang, “Ya,, saya aku bahwa saya adalah KURAWA !” melainkan mengatakan, “Saya lupa… saya tidak mengenalnya…”. Ada juga
yang tanpa berkata-kata,
tetapi MENDADAK sakit atau MENDADAK minggat.
Oops… maaf jadi ngelantur lagi, saya belum kebagian soalnya ha… ha… ha…
Silahkan didalami sendiri saja ilmu tentang penjahat ini. Di segala sesuatu pasti ada ilmunya, buka hijabnya dan reguklah hikmahnya. Monggo… BISMILLAH.