Kalau ALA CARTE
merupakan salah satu cara penyajian makanan di sebuah restoran, maka judul
tulisan ini adalah ALAKADARnya. Sebagaimana biasa, tidak ada hubungan di antara
keduanya, namun bagi saya kedua kata tersebut saya pertentangkan dengan
memaksakan maknanya menjadi mewah lawan sederhana, suasananya bukan
jenisnya.
------------------
Di sebuah sekolah rakyat pada
tingkat dasar, biasanya banyak sekali penjual atau pedagang kaki lima yang
beraneka ragam. Ada penjual mainan, minuman dengan berbagainya dan tentu saja
makanan dengan berbagainya.
Namun di sekolah rakyat tingkat
dasar yang saya temui ini, ada sesuatu yang mencuri perhatian saya, yaitu
kebersamaan mereka dalam kesederhanaan yang mungkin karena merasa senasib dan
sepenanggungan.
Sekolah rakyat itu terletak
disebuah permukiman penduduk pada umumnya. Di samping kanannya ada bangunan
masjid yang beka yang besar dan luas. Sebelah belakang, kiri dan depan jalan
perumahan yang memisahkan dengan rumah penduduk di
sekitarnya.
Di seberang jalan di depan sekolah
rakyat itu ada sebuah rumah yang agaknya telah lama tak berpenghuni. Tanpa
pagar. Bagian teras dan halaman rumah kosong itu dipergunakan oleh para penjual
tersebut untuk sekedar melepas lelah saat mereka beristirahat ketika para murid
sekolah rakyat sudah harus masuk ke kelasnya
masing-masing.
Di antara mereka, Alhamdulillah,
di tengah kesederhanaannya dan segala keterbatasan yang ada, tetap rutin
mejalankan shalat di masjid sebelah sekolah rakyat itu. Namun ada juga yang
shalatnya kala jum’atan saja. Tetapi bukan hal itu yang menarik perhatian
saya.
Kalau mereka yang berpunya,
memiliki asset, mungkin bukan soal saat mencari modal guna keperluan usahanya.
Aset yang dimiliki bisa diagunkan di bank untuk mendapatkan sejumlah kredit.
Bisa juga dengan memutar kartu kredit yang dipunyai untuk modal usaha, tentu
saja ini berlaku bagi mereka yang menguasai triknya dan mengetahui dengan persis
seluk beluk menggunakan kartu kredit sebagai modal usaha, yang saat ini sudah
banyak diajarkan di berbagai seminar atau pelatihan
kewirausahaan.
Yang jadi masalah adalah mereka
rakyat kecil saat membutuhkan modal. Tidak ada dan tidak punya akses ke
perbankan. Koperasi pun tidak. Salah-salah bisa jatuh ke pelukan modal rentenir
yang mencekik leher.
Tetapi yang satu ini lain dan
inilah yang menarik perhatian saya. Mereka, para penjual atau pedagangyang
berjualan di depan sekolah rakyat yang saya sebutkan itu memiliki kebersamaan
yang erat dan membawa manfaat bagi mereka. Mereka menyiasati kekurangan modal
dengan cara urunan / patungan di
antara mereka. Ada salah satu orang yang diberi tanggung jawab menyimpan uang
hasil urunan tersebut, media penyimpanannya pun begitu sederhana, sebuah omplong / kaleng bekas. Uang yang
terkumpul lebih dari satu juta rupiah. Uang inilah yang diputar di antara
mereka. Saat ada yang persediaan barangnya mulai menipis, uangnya dipinjam untuk
modal kulakan barang, dikembalikan lagi tetapi entah apakah dengan nilai tambah
atau tidak. Terus begitu, bergulir dari satu orang ke orang yang lain lagi.
Pengembaliannya pun disiplin, tidak ada niatan untuk ngemplang. Sederhana tapi mengena,
alakadarnya namun besar artinya.
SEMOGA
perjuangan mereka dalam mengemban amanah diri dan keluarga dimudahkan oleh Gusti
Allah. Aamiin.
.:: KeBERSAMAan dalam keBAIKan,
akan dan selalu membawa keMANFAATan ::.