Barusan tadi ketemu tokoh saya yang satu ini. Dia seorang dari suku bangsa bermata sipit seperti saya. Dia seorang hafidz - penghapal Qur’an. Seingat
saya, entah kenapa sejak pertama kali bertemu dia selalu membicarakan tentang laku hati / ilmu jeroan kepada saya dan saya pun selalu memposisikan diri sebagai pendengar setia tanpa tanya dan tanpa menyanggah, sekedar menanggapi seperlunya saja.
Seperti tadi, baru saja datang, bersalaman dan uluk salam, dia lansung berucap kepadaku, “Nyamar”; entah apa maksudnya, sebab kurang jelas juga pendengaranku, karena baru saja melepas helm setelah menembus panansnya udara Surabaya yang
urakan.
Dan berikutnya langsung meluncur kisah sowannya dia ke salah seorang kiai sepuh di Surabaya. Dia mengatakan bahwa kyai-kyai itu kebanyakan ahli Qur’an tapi selalu ada gandengannya yaitu laku Thoreqoh. Thoreqoh itu lakunya hati tetapi kalau Qur’an ya harus dibaca dan dipelajari terlebih dahulu untuk mengiringi/menaungi lakunya hati, sebab tidak mungkin belajar Al Qur’an itu dibatin saja, tanpa membaca huruf-hurufnya terlebih dahulu. Setelah belajar dan membaca Al qur’an, barulah dionceki ayatnya per kata hingga per huruf yang di dalamnya ada asma,’ sifat dan entah apa lagi tidak begitu jelas bagi saya he… he… he... harap maklum wong bodho.
Tokoh saya yang satu ini, mengatakan laku apa pun yang dijalani manusia, throriqoh apa pun itu, atau laku jeroan apa pun itu akhirnya muaranya satu, hakikatnya akan ketemu dan sama. Yang
membedakan adalah lakunya, tata caranya atau syariatnya. Namun demikian, tetaplah laku hati itu selalu beriring dengan Qur’an.
Disinggungnya juga tentang
kedudukan Sayyidina Khidir dan tentang pertemuannya dengan Nabiyullah Musa.
Menurutnya, buah dari laku hati ini tadi adalah adanya ketenangan yang bersumber dari keyakinan pada Gusti Allah yang menguasai langit dan bumi, Gusti Allah yang tidak tidur.
Tokoh saya yang satu ini, rasanya dari dulu tidak pernah bingung masalah rejeki, rejekinyanlah yang selalu datang ke rumahnya. Rasanya juga, dia tidak pernah bingung memikirkan sekolah anak-anaknya, meskipun anaknya malas sekolah, kelihatannya ya santai saja. Meskipun anaknya tidak/belum bekerja secara formal dan menikah lalu punya anak, ya rasanya santai saja. Kerjanya ya membantu papanya di rumah itu. Bagi saya memang “aneh”, tetapi ya begitulah kenyataannya, pasti ada keyakinan yang kuat di dalam dirinya tentang sesuatu yang saya tidak paham.
Dia mengatakan, kalau saya harus kerja mandiri, tidak boleh ikut orang, entah itu buka warung atau berdagang apa saja. Katanya, biar tawakal lebih teruji dan meyakinkan. Ha… ha… ha…
inggih
insya Allah.
Saat berpamitan pulang dan bersalaman sambil menundukkan badan dia bilang, “Matur nuwun, sepuntene sing katah”.
He… he… he… begitulah, ilmu itu ada di mana-mana, tinggal kita mau memungutnya atau tidak.
brarti, intinya kita harus latihan tawakkal (berusaha dg "santai")?
ReplyDelete@syafiq alan naufaInsya Allah begitu Kang... yang "santai" hanya hatinya.
ReplyDelete