Selasa pagi
kemarin, ada telpon masuk dari seorang sahabat, mengabarkan seorang kawan lama
telah tiba saatnya memenuhi panggilan Gusti Allah menghadap kembali padanya. Ah…
berita kematian selalu saja mengejutkan, baru sekitar empat bulan yang lalu
bersua dengannya di sebuah kantin di belakang tenpatnya berdinas. Kawan tersebut
meninggal karena sakit yang menjadi jalarannya. Jam sepuluh malam berangkat
ke rumah sakit, jam dua dini hari meninggal. Sebuah masa yang
singkat.
Berapa banyak berita kematian yang
sudah saya dengar, baik keluarga maupun kawan dan di antaranya ada satu kawan
yang saya menunggui secara langsung saat sakaratul maut. Dari situlah saya baru
mengetahui tanda-tanda seseorang saat menghadapi sakaratul maut, karena ada
pengalaman dari kawan yang lain yang juga pernah menunggui saat-saat seperti
itu.
Itu semua, diam-diam menyisakan
sebuah kengerian bagi saya pribadi. Betapa waktu yang dianugerahkan Gusti Allah
rasanya dan memang kenyataannya banyak terbuang sia-sia tanpa terisi hal-hal
yang berarti pengabdian padaNya. Ngeri. Dari kengerian yang membayang itulah
saya bias menakar diri saya sendiri, bahwa saya masih sangat jauh sekali dari
apa yang namanya CINTA pada SANG MAHA CINTA yaitu Gusti Allah. Sebab mereka yang
Cinta ALLAH tak pernah galau dalam menghadapi sebuah kematian, bahkan sangat
merindukan kematian, sebab kematian merupakan gerbang nyata sebuah pertemuan
agung dengan yang DICINTA. Kematian merupakan gerbang kebebasan dari penjara
duniawi. Mereka yang meniatkan hidupnya untuk mengabdi pada Gusti Allah tak
pernah menganggap bahwa ibadah itu cuma shalat atau dzikir atau puasa saja,
sebab keseluruhan hidupnya adalah ibadah, sehingga andai ada kabar tentang batas
umurnya niscaya dia tidak akan menghentikan kegiatan yang sedang dilakukannya
dan beralih melakukan shalat misalnya. Apa pun yang dilakukan adalah ibadahnya.
Mereka yang Cinta ALLAH pastinya akan haqqul yaqin pada jaminan Allah, tak akan
cemas apa dan bagaimananya setelah ajal menjemput. Sekali lagi masih sangat jauh
bagi saya. Saya masih sangat sering lupa untuk meniatkan bahwa hidup ini ibadah
dan pastinya masih belum yaqin sama Gusti Allah, pasti masih mikir bagaimana
dengan keluarga saya saat mungkin tiba-tiba ajal menjelang, sedangkan saya single fighter – tulang punggung
keluarga dengan anak-anak yang masih kecil.
Tetapi Alhamdulillah, ternyata
benar bahwa kita harus banyak-banyak mengingat mati agar hati kita tidak keras,
agar paling tidak ada perubahan kesadaran ke arah yang lebih
baik.
Gara-gara itu juga kemarin saya
langsung menuliskan segala sesuatu yang berkaitan dengan data saya yang di
dalamnya ada password / pin-nya, memberitahukan kepada istri
tentang apa dan bagaimananya hinga sebisa mungkin tidak ada rahasia, siapa tahu
usia saya tidak lama lagi. Saya tuliskan nomor rekening saya meski tak ada
isinya, 142-00-0458409-9 dan 3890454088, berikut PIN, user ID internent banking dan passswordnya serta PIN tokennya. Alamat
e-Mail dan passwordnya, facebook dan hal-hal penting lainnya
yang bisa diteruskannya sendiri nanti. Agar tak ada rahasia, silahkan dibuka
kalau mau he… he… he…
Dari salah seorang Guru Mulia pula
dalam kisaran waktu itu mendapat sebuah pemahaman baru yang bagi saya prinsip
tapi sederhana dalam penyampaiannya sebagai tolak ukur untuk menakar diri saya
sendiri.
Tuhan semesta alam itu ya hanya
Gusti Allah, semua makhluk adalah hambanya, pun demikian dengan kita manusia.
Manusia adalah abdinya Gusti Allah. Sebagi abdi, adabnya adalah melayani
tuannya. Maka orientasi utama dalam hidup adalah melayani Gusti Allah, bukan
yang lain. Itulah parameternya.
Segala aktivitas keseharian,
semestinya dengan koridor niat pelayanan kepada Gusti Allah, mempersembahkan apa
pun yang kita lakukan untuk Gusti Allah. Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat, menurut saya yang paling bermanfaat adalah mereka yang dapat paling
banyak melayani manusia lain, melayani makhluk lain apa pun itu serta siapa pun
itu. Pelayanan kepada manusia lain dalam rangka melaksanakan kehendaknya Gusti
Allah, melayani gusti Allah dengan sebesar-besarnya bermanfaat dan membawa
rahmat bagi seluruh alam.
Melayani Gusti Allah itu bisa
mengejawantah dalam pelayanan sepenuh kita kepada istri/suami, anak dan keluarga
karena itu yang diamanahkan kepada kita. Bisa juga mengejawantah dalam pelayanan
dengan kesungguhan kepada para pelanggan kita atau bisa jadi dalam pelayanan
kita kepada mereka yang datang meminta bantuan kita papaun itu bentuknya. Dan
seterusnya dan sebagainya.
Jadi andai seorang manusia
kemudian banyak beribadah ini itu tetapi dengan ibadahnya itu dia ingin agar
proyeknya lancar, agar sakitnya sembuh, agar dapat kenikmatan surga dan
sebagainya, berarti dia, meski kelihatannya beribadah, ibadahnya bukan karena
melayani Gusti Allah tapi hakikinya ibadahnya adalah untuk melayani dirinya
sendiri. Nah… berarti tidak mengidentikkan diri sebagai hambanya Gusti Allah,
tapi hambanya diri sendiri. Itulah nafsu, selalu minta dilayani, selalu melayani
dirinya sendiri.
Masya Allah, kalau direnungkan
sungguh implikasi dalam kehidupan ini sungguh luas. Kembali lagi kata kuncinya
ada di niat, di kesadaran dan di orientasi pelayanan.
Semoga saya dan Panjenengan semua diteguhkan untuk
menyongsong kematian dengan serius dan sungguh-sungguh dalam arti dengan penuh
kerelaan dan suka cita, bukan dengan terpaksa atau pun nelangsa. SEMOGA.