Beberapa tahun terakhir ini di mana-mana begitu marak diselenggarakan training-training pengembangan diri dengan berbagai peralatan/metode yang terdapat di dalamnya (hypnosis, emotional freedom technique, neuro linguistic programming, de-el-el)yang obyeknya tidak lagi hanya intelligence quotient (IQ) tetapi juga berkembang menjadi emotional quotient (EQ), spiritual quotient (SQ), financial quotient (FQ) dan sebagainya, pokoknya yang pakai “qiu-qiu” gitu. Ditunjang dengan penemuan di bidang neuro-science yang sudah mulai membuka sebagian tabir misteri dan kedahsyatan otak manusia. Apalagi sejak booming “The Secret” atau pun “The Law of Attraction” di mana semua jadi latah ikut-ikutan dan akhirnya banyak ditulis buku-buku semacam “Quranic Law of Attraction”, “Al Qur’an The Ultimate Secret”, “The Spiritual Law of Attraction” dan sebagainya yang rasanya bahasannya mentah dan tidak membumi hanya mengikuti selera pasar. Kenapa sih kok selalu mengekor bukannya menjadi pionir, apakah memang niatnya cuma mengeruk rupiah dari buku yang ditulis itu. Bukan hanya training yang marak tetapi juga berlanjut menjadi mentoring, psychotherapy, counseling dan coaching. Harga pelatihan-pelatihan semacam itu memang relatif murah jika dibandingkan dengan manfaat (secara akal) yang diperoleh pesertanya, tetapi sayangnya harga tersebut relatif mahal atau tidak terjangkau bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan atau sedang.
Tetapi jangan khawatir, kalau kita ingin mendapatkan semua manfaat dari pelatihan-pelatihan seperti yang tersebut diatas sebenarnya di dalam dunia sufi semuanya ada bahkan lebih dahsyat, serta lebih selamat dari itu semua, tentu saja bila kita menjalani laku lampah sufi dengan menyeluruh dan istiqomah, yang pertama karena dunia sufi selalu memfokuskan tujuan pada Allah – lillahi ta’ala bukan yang lain, sehingga kalau Allah di depan kita maka insya Allah dunia pun akan mengikuti di belakang kita dan bukankah masa depan kita yang sejati adalah Allah itu sendiri, coba mau kemana kita setelah mati walaupun prestasi keduniaan kita selangit jika tidak kembali kepada Allah; kemudian yang kedua adalah bahwa yang menjadi fokus perhatian adalah hati yaitu bagaimana caranya agar hati ini benar-benar full Allah, sehinga dengan demikian seluruh sifat yang tercela akan tereliminasi dan akan digantikan dengan sifat-sifat yang terpuji yang dilandasi dengan keyakinan kepada Allah bukan kepada diri sendiri, keyakinan yang benar-benar yakin tidak hanya dalam level akal saja melainkan keyakinan yang menghunjam kuat di hati (nantinya menuju ke haqqul yaqin) yang pada akhirnya di mana pun kita berada dan pada posisi apa pun juga akan membuahkan hasil yang optimal. Dari hati yang yakin, ilmu yang diperoleh lebih jernih karena tidak saja dalam tataran akal rasional tetapi sudah menyentuh hakikat dibalik ilmu itu sendiri yaitu Allah itu sendiri. Tentu saja hal itu semua tidak terlepas dari bimbingan seorang mursyid yang kamil mukammil yang memandu kita hingga sampai di hadapan Allah dengan selamat. MEMANDU, bukan hanya sekedar memberikan peta. Kalau sekedar diberikan peta, maka belum tentu yang diberi peta bisa sampai di tujuan karena harus sering berhenti, menanyakan, mencocokkan dengan peta yang dibawa, apalagi kalau jalan yang dilalui berliku-liku penuh rintangan, walapun toh sekarang juga sudah ada peta digital via GPS. Bisa-bisa pemegang peta hanya muter-muter terus, gak sampai-sampai ke tujuan, yang parah bisa jadi karena tujuannya pun tidak jelas. Beda dengan dipandu, kalau dipandu, sambil merem aja ya pasti sampai dengan selamat di tujuan, yaitu Allah, asalkan memang yang memandu berkualifikasi kamil mukammil, itu saja.
Bagiku seorang mursyid kamil mukammil adalah sebenar-benarnya pewaris para nabi dan rasul. Apa pun yang Beliau ucapkan, apa pun yang Beliau lakukan dan apa pun yang beliau ajarkan atau perintahkan, hakikatnya tidak akan pernah lepas atau bertentangan dengan Qur’an dan Hadits, serta tidak mungkin juga hal tersebut produk dari hawa nafsunya walaupun mungkin kita sebagai murid suatu saat belum bisa menerima secara akal karena hijab yang kita buat sendiri masih berlapis-lapis. Bukankah sudah banyak contoh yang terjadi tentang hal itu ?
Bukankah seorang mursyid kamil dan mukammil pastilah seorang wali. Dalam salah satunya hadis qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam sahihnya dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, bahwa Allah Swt. berfirman, "Kunyatakan perang kepada siapa pun yang memerangi wali-Ku. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai dari pada kewajiban-kewajiban yang Kubebankan atas dirinya; tidaklah hamba-Ku mendekat kepadaku dengan amal-amal sunat melainkan Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia meminta pasti Kuberi. Apabila ia memohon perlindungan pasti Kulindungi.” Kalau sudah demikian bukankah beliau-beliau itu tidak pernah lepas dari Allah yang menurutku berarti juga bahwa beliau-beliau itu merupakan wadah pengejawantahan kehendak Allah.
Sedikit Contoh
Presupposition, pra pengandaian, yaitu suatu proses berpikir dalam pemberian makna pada sesuatu yang kita alami, bahwa kita selalu punya pilihan tentang bagaimana kita menginterpretasi dan merespon apa yang terjadi di sekeliling kita. Sesuatu yang negatif yang mungkin dipikirkan seseorang bisa dimaknai kembali dengan mengubah cara mengubah pola pikir sehingga yang tadinya negatif akan menjadi positif. [tidak ada faktor Tuhan, semuanya serba aku]
Dalam Laku dan Sikap Hati Murid Syadziliyah, salah satunya kita diajarkan untuk “belajar menata hati” yaitu bagaimana merasakan ujian yang berat menjadi ringan bahkan tidak merasa sama sekali atau lebih lanjut lagi bagaimana merasakan ujian atau musibah menjadi barokah karena di balik ujian pasti ada hikmah dan rahmat. Yang berat jadi ringan, menurutku adalah bagaimana sikap hati kita memandang ujian tersebut. Bila dipandang dari sudut ujian itu sendiri, ya tentunya harus sabar dan tentu saja kita juga harus memandangnya bukan dari ujian itu sendiri melainkan yang ada di balik ujian itu yaitu siapa yang memberikan ujian itu, yang tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah Allah. Lha kalau diberi oleh Allah, bukankah pemberian itu berarti anugerah yang patut disyukuri. Nah kalau misalnya kita bisa menata hati minimal seperti itu, maka ujian yang berat akan terasa ringan, insya Allah. Bila ujian itu kita terima dengan bersabar dengan melakukan muhasabah diri sebagai bahan pelajaran di masa mendatang, insya Allah kita akan menemukan pelajaran atau hikmah di balik ujian. Minimal hati kita memandangnya bahwa dengan jalan ujian itulah cara Allah mendidik kita untuk lebih kuat dalam menghadapi kehidupan. Kalau sudah begitu, ya engga jadi sedih apalagi putus asa Jadi intinya memang tergantung kita sendiri untuk menata hati. [semuanya kembali kepada ALLAH]
Modelling, adalah suatu proses mengindentifikasi apa yang secara spesifik dan benar-benar membuat seseorang menjadi sukses dalam beberapa prilaku atau bidang lain tertentu. [orientasi keduniaan]
Di dunia SUFI lebih dahsyat lagi karena orientasinya Allah, berarti dunia akhirat katut, modelnya adalah insan kamil, yaitu dengan rabithah mursyid, tawasul pada mata rantai silsilah tarekat dan yang terdahsyat dengan bersholawat kepada Rasulillah Muhammad SAW.
Contoh lain masih banyak, terlalu panjang untuk dituliskan, capek ngetiknya, misalnya anchoring, congruence, rapport, matching, pacing, leading, perceptual position, dan sebagainya sudah tercakup semua dalam dunia SUFI.
nice article... walaupun agak sama dengan bahasan KH Luqman Hakim di majalah Sufi
ReplyDeleteArtikel yang bagus dan dalam sekali...
ReplyDeleteMeneladani hidup para sufi...
Draft tulisan ini sebenarnya sudah ada sekitar 4 bulan yang lalu, tapi lagi "hang" untuk posting, trus kebetulan juga di Cahaya Sufi sebelum puasa kemarin ada wawancara dari salah satu mantan trainer, trus ada juga teman yang menanyakan wawancara itu apa bedanya memberi peta dan memandu. Jadi deh akhirnya aku terusin posting tulisan ini. Kalu bahasannya senada, lha wong memang Syaikh Luqman itu guru saya, yang Beliau sampaikan itu insya Allah yang saya pahami.
ReplyDelete