Malam itu selepas sholat Isya’ di hari lebaran ke-2 Cak ZhudhrunH ketamuan sahabat lamanya Si Srundul yang sudah beberapa tahun ini menghilang, merantau ke seberang pulau sana dengan niat beramal sholih, menjemput rejekinya gusti Allah dalam upaya memenuhi kewajibannya dalam menafkahi keluarga.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh nDul”
“Taqabalallahu minna wa minkum, sepurane sing akeh yo Cak”
“Taqabbal Yaa Kariim, sama-sama nDul, saya juga banyak salahnya, mohon dimaafkan, yok opo kabarmu ?”
“Apik Cak, apik, keluarga ya alhamdulillah dalam keadaan sehat semua, selalu diberi kemudahan oleh gusti Allah”
“Kapan datang ke sini ?”
“Kemarin hari Sabtu, alhamdulillah diberi kemudahan cari tiket, sulit soalnya. Orang-orang sudah pada pesan jauh hari sebelumnya dan harganya pun mahal”
“Ya... itulah fenomena di negeri ini, aku ndak tahu apa di negeri seberang sana ada juga tradisi mudik ?”
“Kalau setahuku sih engga ada Cak, ya cuman di Indonesia ini aja. Yang tadinya merupakan ritual agama yaitu ibadah puasa dan Idul Fitri sudah menjadi suatu ritual budaya lebaran. Meski enggak ikut puasa ya ikut lebaran, ya ikut mudik, pulang kampung.”
“Ya memang itu fenomena yang ada kok nDul, saat-saat bulan ramadhan dan Idul Fitri merupakan momen tahunan terheboh di negeri ini, durasinya satu bulan penuh soalnya.”
“Iya ya Cak, kalo saya pikir-pikir memang begitu. Sebelum bulan Ramadhan saja para pebisnis sudah mulai heboh memanfatkan momen Ramadhan untuk promosi bisnisnya baik itu mengusung tema Puasa untuk produknya atau pun dalam bentuk diskon harga. Belum lagi media massa terutama media televisi mendadak saja berubah seakan-akan religius semua.”
“Seakan-akan maksudmu gimana nDul ?”
“Lha gimana enggak seakan-akan Cak, wong nyatanya memang begitu. Coba saja lihat sinetronnya yang mengusung tema sinetron religi, instan sekali, ceritanya ya cuman begitu-begitu aja, kalo karakter tokohnya baik, baik sekali, kalao jahat, jahat sekali. Enggak ada kedalaman makna, hanya tontonan dan engga ada tuntunannya. Apalagi yang acara menjelang buka puasa atau ketika sahur hanya menyuguhkan haha hihi saja diselingi kuis tanpa makna. Malah acara yang banyak manfaatnya seperti tafsir Qur’annya Quraish Shihab malah ditayangkan pada jam-jam banyak orang terlelap tidur. Wis pokoknya banyak tontonannya ketimbang tuntunannya.”
“Trus apa lagi menurutmu nDul, hebohnya ?”
“Perputaran uang Cak, lebih cepat dari biasanya. Padahal mestinya puasa itu kan tirakat, tapi biasanya inflasi malah meningkat karena pola konsumsi masyarakat kita yang juga meningkat. Kalo lagi engga puasa makannya biasa saja, tapi kalo lagi berpuasa makannya biasanya malah lebih banyak. Di samping makanan pokok seperti biasanya, ada juga camilan atau jajanan untuk buka puasa, minumnya pun bertambah jenisnya, buktinya di jalan-jalan menjelang maghrib banyak yang berjualan makanan untuk berbuka. Tapi itu salah satu berkah Ramadhan yo Cak, untuk menambah penghasilan.”
“Tapi ada juga yang menambah penghasilan dengan cara yang kurang tepat lho nDul. Tapi ya ndak semua, yang kutahu langsung ada beberapa pihak utamanya yang sedang menjabat dan juga aparat, dengan alasan lebaran mereka narget pihak-pihak yang berhubungan dan membutuhkan jabatan yang sedang disandangnya. Tapi itu ndak semua lho nDul, smoga yang lain ndak seperti itu.”
“Tapi yang paling heboh itu ya mudiknya Cak. Siapa pun, ketika lebaran tiba rasanya ingin pulang ke tempat asal berkumpul dengan orang tua dan sanak saudara. Walaupun jauh asal ada sangunya, ya pengennya pulang. Sehingga saking banyaknya penduduk negeri ini yang pulang ke tempat asal masing-masing, maka pemerintah beserta seluruh jajarannya, lintas departemen sampai aparat keamanan dibuat sibuk mempersiapkan mudik lebaran. Sampai-sampai setiap stasiun televisi selalu meng-update berita tentang mudik lebaran. Dengan mudik itu pula perputaran uang lebih cepat lagi dalam wilayah yang lebih luas.”
“Mungkin mudik itu memang hasrat ruh ya nDul ?”
“Maksud sampeyan Cak ?”
“Maksudnya ya setiap diri kita ini pasti punya kecenderungan menelisik asal mula kehidupan kita, yang paling dekat ya pasti setiap orang ingin tahu siapa orang tuanya. Makanya mudik itu kan keinginan untuk kembali bertemu orang tua, berziarah ke makam kakek nenek misalnya. Menelusuri dari mana kita dulu berasal. Kita hidup di dunia ini kan dilengkapi tubuh fisik oleh gusti Allah karena memang kita hidup di alam fisik, dilengkapi juga dengan hawa nafsu, akal, qalbu dan tentu saja yang inti adalah ruh. Yang nantinya kembali kepada gusti Allah kan ruh kita, sehingga ruh kita pun punya kecenderungan untuk bertemu dengan asalnya, penciptanya, pemiliknya yaitu gusti Allah. Masalahnya, kecenderungan itu terbimbing tidak ? Kalau tidak terbimbing jadinya pun macam-macam, arahnya pun macam-macam, tujuannya pun macam-macam, bukan kepada gusti Allah. Nah pada fenomena mudik inilah, kecenderungan ruh untuk bertemu tuhannya sebagai asal mula kehidupan terwujud dalam realita fisik berupa keinginan untuk menemui bapak dan ibu biologis kita juga mungkin terus ke atas kakek dan nenek biologis kita. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI 'UN.”
“Para ustadz itu bilang kalo kita sudah berpuasa sebulan penuh, maka kita kan menjelma bagai bayi yang baru lahir, idul fitri, kembali ke fitrah. Menurut sampeyan apa ya seperti itu Cak ?”
“Mudah-mudahan ya seperti itu nDul, kalo puasanya memang berpuasa dari segala sesuatu selain Allah. Tapi kalau aku yang masih jauh dari itu nDul. Ndak berani aku mengklaim, di idul fitri ini aku bagai bayi yang baru lahir wong puasaku aja masih amburadul, ibadahku yang lain juga seperti itu. Di saat teman-temanku pada sibuk dan heboh mempersiapkan baju lebaran, kue lebaran dan bingkisan lebaran, aku malah juga heboh dan bingung soalnya hatiku masih byar pet, blom bisa nyambung terus sama gusti Allah. Tapi aku sudah niati kok nDul, untuk istiqomah menuju kepada-Nya, tapi kalo belum bisa ya mungkin memang aku masih diposisikan seperti itu, terserah gusti Allah sajalah yang penting aku terus berusaha memperbaiki diri terus berusaha mengganti keburukanku dengan kebaikan, terus berusaha jadi orang baik. Wis pokok-e opo jare Pangeran ae nDul”
“Tapi sekarang takbirannya semarak yo Cak, di semua stasiun televisi berlomba-lomba menampilkan artis-artis papan atas dengan musikalisasi takbiran dan lagu-lagu bertema religi.”
“Lha menurut kamu gimana fenomena itu nDul ?”
“Wah kalo saya kok malah serem Cak ngelihat itu. Takbirannya pake merem-merem segala kaya dikhusyuk-khusyukkan, semoga saja memang khusyuk, takutnya kalo merem itu karena menikmati keindahan suaranya sendiri, kan repot, malah kehilangan makna takbir itu sendiri. Makna takbir itu kan mengagungkan Allah, cuman Allah saja yang maha besar, tapi malah banyak di antara kita dan mungkin termasuk aku sendiri Cak, takbir itu masih berupa sebuah gema saja, sedangkan hati ini masih sangat-sangat sering membesar-besarkan yang selain-Nya, hati ini masih sangat sering mengutamakan jabatan, pekerjaan, koneksi, anak, istri, teknologi, kekayaan, materi; anak-anak kita masih mengutamakan nonton TV ketimbang shalat di awal waktu, anak-anak kita masih mengutamakan main PS atau PSP ketimbang membantu orang tuanya sebagai tanda bakti kepada orang tua sebagaimana diperintahkan Allah : “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” [Q.S. 31:14]. Makanya aku merasa serem Cak. Lha kalo menurut sampeyan gimana Cak ?”
“Kalo menurut guru ngajiku nDul, ada pertalian yang erat antara Takbir di akhir Ramadhan, kelahiran kembali bagai seorang bayi di hari baru yang fitri. Setelah melaksanakan medan pelatihan dalam puasa Ramadhan dalam dimensi syariat maupun hakikatnya maka pada puncaknya ya muncul suatu kesaksian dalam Takbir bahwa memang hanya Allah yang Akbar, sedangkan kita ini sebagai hamba adalah NOL besar, karena adanya kita diadakan olehNya, kita sebagai hamba sangat-sangat mebutuhkan Allah karena sebenarnyalah kita ini faqir sehingga akhirnya akan muncul kesadaran tawakal dalam arti yang sebenar-benarnya kepada Allah dengan tidak mencampuri pengaturan Allah kepada diri kita, selalu sabar-syukur-ridho dalam merespon setiap detik kehidupan yang telah ditakdirkan Allah untuk kita dan ikhlas dalam ibadah, penghambaan dan pengabdian kita kepada Allah. Nah kalo kesadaran itu sudah hadir dalam hati kita artinya kita benar-benar lahir kembali bagai seorang bayi. Coba lihat saja seorang bayi, dia pasti sangat tawakal kepada ibunya tanpa mempertanyakan apa yang diberikan kepadanya, misalnya asupan susu ataupun makanan yang diberikan, diterima tanpa mempertanyakan kandungan gizinnya. Dibolak-balik seperti apa pun dia tetap tawakal dan ada penyerahan diri pada ibunya. Bayi yang lahir tidak membawa beban persoalan di masa lalu ya karena memang baru lahir dan seperti itulah seharusnya kita di hari yang baru. Di hari raya Idul Fitri, semestinya kita kembali ke fitrah kita menatap masa depan kita yang sejati yaitu Allah dan di hari yang selalu baru kita pun seharusnya mengubur masa lalu dalam arti melupakan masa lalu baik dalam taat maupun dalam maksiat. Bukankah Syaikh Abu al-Abbas pernah menasihatkan kepada Syaikh Ibn Athaillah bahwa hanya ada empat keadaan yang dialami seorang hamba yaitu nikmat, cobaan, taat dan maksiat, sehingga jika berada dalam nikmat maka bersyukurlah, jika berada dalam cobaan maka bersabarlah, jika berada dalam taat maka saksikanlah bahwa itu merupakan anugerah Allah dan jika berada dalam maksiat maka segeralah bertaubat. Sedangkan menurut Syaikh al Junayd hakikat taubat dalah melupakan dosa-dosa.”
“Iya ya Cak, kalo tak pikir-pikir memang benar bahwa ketaatan kita itu anugerah Allah. Coba bisakah kita dapat menjamin diri kita sendiri kalo nanti masih tetap beriman ? Kita sholat saja sebelumnya kan seperti ada krentegnya hati – ada niatnya hati untuk sholat, nah kalo ditelusuri lagi siapa sih yang memunculkan niat itu dalam hati kita kalo bukan dari hidayah Allah. Melupakan dosa dalam taubat, bener juga yo Cak. Soalnya maksiat itu biasanya hal-hal yang enak menurut hawa nafsu kita. Lha kalo kita masih mengingatnya di saat kita sudah bertaubat maka boleh jadi kita teringat enaknya maksiat yang kita lakukan dan boleh jadi juga kita ingin merasakannya dan mengulanginya lagi. Betul gitu ya Cak ?
”Ya... kira-kira seperti itulah nDul.”
Ya... begitulah akhirnya, dua sahabat lama itu terus saja ngobrol tentang berbagai hal. Mumpung ketemu, saling berbagi, saling mengingatkan, mengasah hati menuju cahaya Ilahi. Aamiin.