“mBah saya mau tanya sama sampeyan, yok opo sih sebenarnya makna dari nama sampeyan itu, sampai saat ini saya kok masih belum ngeh tentang itu.”
“Lho, lha kok kamu to Prul, wong aku sendiri saja sampai saat ini juga belum paham, nama Ihsan itu kan doa orang tuaku dulu biar aku ini bisa jadi hambanya Allah yang Ihsan. Tahuku ya Ihsan itu dalam peribadahan kita menghadap gusti Allah itu seakan-akan kita melihat Allah tapi kalo tidak bisa ya sesungguhnya Allah selalu melihat kita. Setahuku lagi ya Ihsan inilah yang merupakan inti dari agama ini, yang kemudia penjabaran ilmunya bernama tasawuf dan amaliyahnya bernama tarekat.”
“Ya itu tadi mBah, aplikasi sederhananya itu piye kok seakan-akan kita melihat Allah ?”
“Kowe belum bisa to.... lha kok sama... !”
“Sampeyan itu mBah, bisa guyon juga ternyata. Gimana ini Kang Legowo menurut sampeyan ?”
“Kalo aku sih gampang saja, kalo memang belum bisa seakan-akan melihat Allah ya ambil yang kedua to... bahwa kita ini harus yakin selalu dilihat Allah, gitu aja kok repot !”
“Tapi aku kan ya pengen to Kang melihat Allah.”
“Pengenmu itu kan nafsumu, sedangkan dalam pengajian yang lalu Yaine pernah mengatakan ketika Nabi Musa a.s. memohon kepada Allah agar bisa melihatNya, Allah berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” [QS 7:143]; kamu yang dimaksud adalah kamu beserta egomu, beserta dirimu sendiri, beserta nafsumu. Bahwa melihat Allah itu ya dengan Allah, bukan dengan diri kita, bukan dengan nafsu kita, artinya kalau toh kita bisa melihat Allah meskipun cuman seakan-akan itu artinya Allah sendiri yang berkehendak memperlihatkan kepada kita dan itu berarti anugerah. Kalo saat ini kita belum bisa merasakan itu, ya terima saja, berarti memang gusti Allah masih mentakdirkan kita seperti itu.”
“Iya, gitu aja kok repot !”
“DhrunH, kowe iku ngegongi saja, mbok urun rembug kono !”
“Lha wis dijelaskan sama Kang Legowo gitu kok, aku sependapat sama sampeyan Kang.”
“Aku sebenarnya juga pengen tahu, katanya sufi itu kalo dzikir tidak hanya di lisannya aja, qolbu, ruh dan sirnya juga dzikir, piye rasanya dzikir yang seperti itu ? Trus katanya juga rambutnya ikut dzikir, seluruh sel tubuhnya juga dzikir, bagaimana ya yang seperti itu ?”
“Aku ya pengen seperti itu, asyik ya paling kalo bisa seperti itu.”
“Kamu itu Prul pengen aja, pengen bisa ini pengen bisa itu, lha amalan dzikirmu wis istiqomah mbok wiridkan to ?”
“Kadang ya banyak bolongnya Cak.”
“Itu masalahnya yang sering juga menjadi masalah kita sebenarnya. Tentang rasa dzikir yang sampai bisa terus kontinyu di seluruh jazad kita, qolbu ruh dan sir itu hakikinya kan anugerah Allah yang berarti Allah sendiri yang sebenarnya berdzikir melalui kita. Lha kalo kita belum bisa seperti itu ya sudah engga masalah sebenarnya. Yang terpenting adalah kita melaksanakan kewajiban kita, wiridannya enggak bolong, terus kita kerjakan sebagaimana yang telah diberikan Yai Mursyid.”
“Betul itu Kang, aku jadi ingat Yaine pernah menyampaikan di pengajian yang lalu dawuhnya Syaikh Ibu Athaillah di al-Hikam, ‘Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin oleh Allah dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti rabunnya mata batinmu’. Kalo aku sih, wis yang penting sekarang ini kita wirid terus sesuai kaifiyah dzikir tarekat yang telah diijazahkan ke kita, itu kan yang dituntut dari kita. Masalah rasa, aku yakin nanti insya Allah bisa-bisa sendiri, masalah anugerah engga usah dipikirin, itu kan haknya gusti Allah.”
“Ini ada masalah lain, aku itu kalo ikut pengajian tasawuf seperti kita saat ini, atau membaca-baca buku terjemahan ulama-ulama sufi kok banyak juga yang belum paham ya ? Padahal aku kan juga sudah bermursyid.”
”Prul, setahuku ya, ini setahuku lho, Mursyid itu salah satu tugasnya adalah menata perjalanan ruhani kita biar tidak bentrok antara akal dan hati. Akal kita ngerti dan hati kita paham. Kalo sekarang ini kita blom ngerti ya seperti tadi, engga jadi masalah, pokoknya sekarang input data terus aja, lewat pengajian atau pun baca buku. Nanti kalo dah waktunya kan seperti lihat kaca spion, oh.. itu to yang dimaksud dulu.”
“Iya, Yaine kan pernah ngajari kalo menyimak perkataan para auliya Allah apalagi guru Mursyid kita, atau pun membaca buku-buku karya ulama sufi sebaiknya dalam keadaan punya wudhu dan hati terus dzikir Allah – Allah – Allah terus.”
”Saya jadi ingat Lathaiful Minan, di situ dituliskan bahwa Syaikh Abul Abbas al-Mursi dawuh, ‘Apa yang kalian dengar dariku dan kalian pahami, titipkanlah kepada Allah. Niscaya Allah akan mengembalikannya ketika kalian membutuhkannya. Dan apa yang tidak kalian pahami, serahkanlah kepada Allah, niscaya Dia akan menjelaskannya kepada kalian.’ Berikutnya dituliskan juga : Ucapan orang besar biasanya diingat oleh muridnya ketika mereka membutuhkannya. Barangkali si murid menduga bahwa mereka tidak menyimpan ucapannya, padahal mereka telah menyimpannya. Hanya saja, setiap hikmah memiliki benih dan pohonnya. Ketika masih benih berbeda dengan ketika telah tumbuh. Bisa jadi benih hikmah telah tertanam dalam dirimu dan ia tumbuh sesuai siraman hujan. Ketika tiba saatnya, ia akan muncul ke permukaan tanah. Seperti itulah hikmah tersembunyi dalam diri hamba sampai datang waktunya untuk muncul.”
”Oh makanya Cak, rasanya kalau kebetulan aku paham tentang sesuatu, seiring berjalannya waktu, pahamku tentang sesuatu itu lebih dalam lagi, nanti lebih dalam lagi dan begitu seterusnya. Jadi masalahnya bisa sama, tetapi pemahamannya selalu berbeda dari waktu ke waktu, seakan-akan selalu menemukan hal yang lebih baru lagi, terus seperti itu.”
”Lho, lha kae Yaine rawuh, ayo mBah, Kang, Cak, cepet masuk ke dalam duduk paling depan biar barokahnya banyak.”