Home » » Sebuah DIALOG

Sebuah DIALOG

Written By BAGUS herwindro on May 27, 2010 | May 27, 2010

Sebuah dialog dalam kesunyian kata. Yang terdengar hanyalah keramaian jemari yang menari-nari lincah di atas tuts keyboard, diiringi pancaran rasa yang saling terhubung di dunia maya.

Kalau kebencian bersemayam dalam hati kita, kalu ketidaksenangan bertahta dalam jiwa kita, itulah tanda-tanda apa yang kita benci, apa yang tidak kita senangi akan mewujud dan hadir dalam kehidupan kita. Gêting yo gêting nanging sakmadya waé, ojo moyok mundak némplok. [lagi ngelindur]

Lebih besar mana kehadiranya, apa yang kita benci atau apa yang kita sukai ? [yang nanya lagi cari jodoh mergo sing di-sir soyo adoh]

Kebencian yang tak terluruhkan dari hati, cepat atau lambat biasanya akan hadir, mewujud dalam kehidupan kita. Sedangkan kesukaan atau keinginan yang terlalu melekat di hati, biasanya malah akan sulit terwujud dalam kehidupan kita. [kriyip-kriyip setengah mêlék]

Agar kesukaan itu pada akhirnya bisa terwujud dalam hati.. gimana kalo diswitch aja... dari yang semula kesukaan menjadi kebencian ?! [ora terimo]

Bukan terwujud dalam hati, tapi terwujud dalam kehidupan kita. Apa yang jadi keinginan/harapan/rasa suka kita, browsinglah dengan munajat doa, dengan keyword keyakinan, lalu downloadlah dengan rasa syukur dan jagalah keluasan bandwithmu dengan rasa ridho. Bingung ?

Bagaimana cara meningkatkan sensitifitas terhadap beberapa jenis perasaan tersebut, agar kita tidak salah menafsirkan apa yang kita rasakan, mungkin standar rasa itu sudah ada tapi tingkatannya pasti berbeda antara satu orang dengan yg lain... [mumêt]
Ada atau tidak kaitan antara tingkat sensitifitas itu dengan apa yang kita raih saat ini atau di saat-saat mendatang ya ??? [mborong pitakonan]

[mborong wangsulan : ]

Rasa yang muncul dalam diri kita, biasanya dipengaruhi oleh referensi kita selama ini yang menyebabkan rasa itu muncul, karena sebenarnya situasi dan kondisi apa pun yang melingkupi kita, sebenarnya kita sendirilah yang memaknainya sehingga ada rasa-rasa tertentu yang muncul ketika kita dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang tertentu. Sehingga untuk lebih bisa lebih sensitif terhadap rasa kita sendiri, caranya ya dengan sering-sering berdialog dengan diri sendiri / muhasabah / instropeksi / mulat sariro hangrasa wani (bs. Jawa).

Contoh sederhana misalnya ketika kita merasakan ada amarah yang meluap dalam diri kita, ya sebisa mungkin kita meneliti diri kita kenapa amarah itu muncul, amarah itu terhadap siapa atau terhadap apa atau terhadap kondisi yang bagaimana. Selanjutnya kenapa siapa/apa/kondisi tersebut sampai bisa menyulut kemarahan kita ? Apa karena mengusik ego kita (sudut pandang ego : tidak ada yang benar kecuali aku, tidak ada yang harus menang kecuali aku, dst.) Apa karena kita merasa terbebani oleh seseorang/sesuatu itu ? Atau karena hal yang lain lagi.

Di sinilah kita memerlukan kejujuran untuk memahami diri kita sendiri dan setelah menemukan akar permasalahn yang menyulut kemarahan kita, sebisa mungkin kita rekonstruksi kembali sudut pandang kita terhadap apa/siapa/kondisi tersebut sehingga nantinya kitalah yang mengendalikan rasa kita, semakin lama semakin berkualitas pengendalian diri kita.

Contoh lain mungkin yang berkaitan dengan idaman kita, atau keinginan kita atau yang kita sukai tetapi kita belum memilikinya. Nah seberapa jauh kita pernah menelisik ke dalam diri kita untuk keinginan-keinginan itu? Hanya sekedar ingin atau sudah dalam taraf memerlukan ? Seberapa jauh kemanfaatan keinginan kita itu dalam kehidupan kita. Lebih lanjut lagi, kalau yang kita inginkan itu, kalau yang kita sukai itu menjadi sebuah obsesi dalam diri kita, pernahkah kita merenungkan seberapa jauh jaminan kebaikan dari obsesi itu jika berhasil kita dapatkan. Karena terkadang apa yang kita anggap baik bagi kita belumlah tentu seperti itu, begitu juga kebalikannya. Untuk lebih membantu memahami bisa di baca di sini atau di situ.

Lalu masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengelola berbagai macam rasa yang silih berganti selalu bermunculan dalam diri kita itu ? Ya… kita harus berlatih lagi membedakan mana produk akal pikiran kita, mana produk hawa nafsu kita dan mana pula produk hati kita. Kuncinya ya di hati itu. Hati yang sabar yang bisa mengelola berbagai rasa itu tadi. Bagaimana hati yang sabar itu ?

Penyederhanaan : sebagai seorang lelaki, memandang kecantikan seorang wanita adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Muncul rasa nikmat. Munculnya rasa ini dari mana ? Dari mata yang memandang. Apakah hati perlu membedakan cantik atau tidak ? Sebenarnya sih tidak perlu, tapi kalau hati masih membedakan berarti hati belum bisa sabar. Karena cantik atau tidak sebenarnya yang menikmati adalah hawa nafsunya mata. Lha kalau orang buta, apakah ia akan terpengaruh akan kecantikan seorang wanita ? Apakah hatinya berubah bila dihadapannya ada wanita yang rupawan ? Tentu tidak kan ? Nah, seperti itulah kira-kira hati yang sabar, hati yang tetap diam dalam situasi dan kondisi apa pun karena tugas hati kita sebenarnya hanyalah menyaksikan keagungan Tuhan kita yang tidak pernah terlepas sedetik pun dari kehidupan kita. Sedangkan yang harus tetap dinamis, tetap aktif bergerak, menganalisa, merumuskan, menstrategikan apa pun pencapaian-pencapaian kehidupan kita adalah akal pikiran kita.

Ada atau tidak ada kaitan, sebenarnya relative, sebab apa yang kita lalui saat ini biasanya hanyalah merupakan tanda-tanda bagi kita di masa yang akan datang. Kalau saat ini kita terampil dalam mengendalikan, mengelola rasa kita, biasanya itulah tanda-tanda keberhasilan kita. Karena hal itu berarti juga keterampilan kita dalam menjaga hati. Sebab kalau hati terjaga, di sanalah sumber tuntutan yang luar biasa sampai kita bisa meminta fatwa pada hati kita sendiri.

Hati yang terjaga biasanya selalu dipenuhi keridhoan dan ridho itulah sejatinya surga. Orang banyak yang memiliki ini itu, banyak yang menempati posisi ini itu, banyak yang meraih jabatan ini itu, pokoknya TOP-lah tapi apakah di hatinya ada ketenangan, apakah di hatinya masih ada rasa takut menjelang kematiannya saat meninggalkan semua yang telah dicapai dalam kehidupannya ?

Sungguh ridho itulah sejatinya surga. Dan hakikinya puncak kenikmatan itu adalah mengenal Tuhan kita dengan sebenar-benarnya, sehingga di setiap rasa kita, kita merasakan kehadiran Tuhan. Di setiap aktivitas kita, kita mersakan campur tangan Tuhan dan ternyata semua yang ada ini sebenarnya tidak ada, karena yang sejatinya ada hanya Tuhan dan ternyata lagi semua yang ada ini juga Tuhan rupanya.

Subhanallah walhamdulillah walaa ilaha ilallah hu allahu akbar…

Wallahu’alam.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger