Sejak kecil ada sebutan yang melekat di depan namaku yaitu Raden. Sebutan raden bagiku bukanlah sesuatu yang istimewa, biasa saja, karena kupikir semua manusia pada dasarnya sama tidak ada sebagian yang lebih dari sebagian yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya saja di hadapan Tuhannya. Selebihnya sama. Kalau toh ada perbedaan, sesungguhnya perbedaaan itu hanyalah suatu imajinasi semu yang dibuat oleh manusia sendiri berdasarkan sistem sosial, ekonomi dan budaya yangberlaku di masing-masing wilayah.
Raden bagiku hanyalah penanda ada garis atau darah keturunan raja yang mengalir di dalam diri ini. Kalau dawuhnya orang tua raden yang disematkan di depan namaku adalah asli [tedak rembesing madu, trahing kusumo, turuning nalendro] dalam pengertian darah yang mengalir asli dari turunan raja bukan dari gelar yang dianugerahkan oleh raja pada seseorang yang dianggap berjasa oleh raja.
Raja pun dalam jaman ini sudah tidak mempunyai kekuasaan yang nyata, kraton-kraton di seluruh negeri ini sekarang hanyalah merupakan peninggalan masa lalu walaupun masih merupakan sumber atau pusat kebudayaan yang luar biasa. Kalau jaman dahulu sih, kraton merupakan pusat kekuasaan, pusat ilmu dan budaya, serta pusat pengaturan sistem sosial kemasyarakatan.
Raja yang sejatinya raja mestinya malah merakyat sebagaimana sejarah masa lalu yang mencatat. Tetapi banyak juga kalangan ningrat yang mengunggulkan kenigratannya, menyombongkan keningratannya dan malah jauh dari falsafah kehidupan kraton di mana keningratannya itu berasal. Padahal dari kraton, banyak kawruh atau ilmu yang bila digali tidak ada habis-habisnya, yang mengajarkan tentang penguasaan diri dan peningkatan akhlak, bagaimana menguasai atau mengendalikan jagad cilik dan jagad gedhe [mikrokosmos dan makrokosmos] hinga akhirnya seseorang bisa menemukan kesejatian dalam dirinya untuk menyatu dalam penyaksian terhadap Tuhannya. Kaum ningrat mestinya lebih mengetahui aturan-aturan agama, karena raja di Jawa utamanya di Kraton Mataram Islan dan penerusnya, raja selalu bergelar kalifatullah sayidin panata gama [pemimpin yang sekaligus pemimpin agama]. Maka sungguh disayangkan jika keluarga raja apalagi raja yang jumeneng nata beragama selain Islam, sebagaimana dewasa ini terjadi da salah satu kraton peninggalan Mataram Islam. Ini semua mungkin karena kelihaian kaum misionaris sejak jaman penjajah dulu baik Portugis maupun Belanda yang berusaha keras menyingkirkan raja-raja yang masih memegang pakem keislamannya dengan kuat.
Beberapa orang yang mengenalku mengatakan ada sesuatu yang memang berbeda bila dibandingkan orang lain, tetapi mereka tidak bisa mendeskripsikan di mana letak perbedaannya. Tapi bagiku, mereka beranggapan demikian karena mereka mengenalku dengan sebutan raden yang melekat di namaku. Kalau tidak, belum tentu mereka berpendapat sama. Tapi sudahlah, selama ini aku tidak merasa lebih dari yang lain. Sejak dulu semasa sekolah pun aku menuliskan namaku sering tanpa raden di depannya.
Dalam budaya Jawa, setahuku gelar keningratan itu hanya boleh disandang oleh garis keturunan laki-laki saja, sehingga misal pihak perempuan yang menyandang gelar keningratan menikah dengan seorang laki-laki biasa, maka anak-anaknya tidak berhak meneruskan gelar keningratan tersebut. Sebagaimana ayah ibuku, beliau berdua juga menyandang gelar tersebut, begitu juga seluruh eyang-eyangku ke atas. Sebagaimana yang diinformasikan oleh orangtuaku, bahwa diriku masih keturunan dari Raden Mas Said atau kemudian dikenal sebagai Mangkunegoro I (1725-1795) dari Kraton Mangkunegaran Solo, seorang pejuang tangguh yang pilih tanding dalam mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Tentu kalau ada catatan silsilah secara lengkap, pasti akan sangat panjang dan lebar karena satu sama lain saling terkait antar trah meskipun pada akhirnya pasti bertemu pada satu trah yang sama antara garis laki-laki maupun gari perempuan. Hanya saja jarang yang ngopeni atau mencatat secara detil silsilah keluarga yang ada.
Sampai akhirnya ada salah seorang sedulur di dunia maya [Raden Arfan Rifqiawan] yang mengundangku dan memperkenalkan kepadaku tentang AZMATKHAN [sekelumit tentang Azmatkhan akan diuraikan pada bagian akhir tulisan ini, datanya valid, apalagi tentang nasab, berat hukuman dari Allah bagi yang mendustakan nasab].
Bermula dari Sayyid Abdul Malik bin Alwi yang lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India Beliau bermukim di Naserabad dan dijadikan menantu oleh salah seorang bangsawan Naserabad, kemudian memiliki beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik. Sayyid Abdul Malik sendiri merupakan dzurriyat Rasulullah Muhammad SAW melalui putri beliau Fatimah Az-Zahra’. Dari India inilah keturunan Sayyid Abdul Malik bin Alwi sebagian mereka berhijrah ke Siam, Kamboja dan Indonesia. Beliau-beliau itu mendirikan berbagai kerajaan, menyatu dengan penduduk setempat. Di antara mereka yang berada di tanah Jawa adalah para ulama yang dikenal dengan Wali Songo. Keluarga Azmatkhan ini karena menyatu dengan penduduk lokal, maka mempunyai banyak gelar lokal pula sesuai sistem sosial budaya yang dikembangkan di masing-masing daerah, di antaranya : Kyai, Nyai, Gus, Ning, Lora, Raden, Raden Mas, Raden Rara, Raden Ayu, Mas, Wan, Habib, Sayyid, Syarif, Syarifah, Maulana, Kemas, Nyimas, Kiagus, Nyiayu, Mas Agus, Mas Ayu, Tubagus, Ratu Ayu, Nik, Long, Pangeran dan lain-lain.
Kraton Mataram Islam juga mempunyai darah Azmatkhan, dari situlah, kucoba untuk menelisik keberadaan silsilah keluarga secara tertulis [Kraton Mataram Islam masih termasuk keturunan Sayyid Abdul Malik bin Alwi dari jalur perempuan yang berarti masih dzurriyat Rasulullah Muhammad SAW pula; jalur laki-laki maupun perempuan adalah sama], namun memang sulit, masih tercerai berai, tetapi alhamdulillah ada satu catatan yang masih tersisa, beslit Katrangan Asal-Oesoel dari Parintah Wadono Satrijo Mangkoenegaran Soerakarta yang mencatat silsilah sampai dengan Mangkunegoro I.
Silsilah Nasabiyah :
Rasulullah Muhammad S.A.W berputri : 1. Sayyidatina Fatimah Az-Zahro menikah dengan Sayyidina Ali, berputra : 2. Imam Hussain berputra : 3. Ali Zainal 'Abidin berputra : 4. Muhammad Al Baqir berputra : 5. Ja'afar As-Sodiq berputra : 6. Ali Uraidhi berputra : 7. Muhammad An-Naqib berputra : 8. Isa Ar-Rumi berputra : 9. Ahmad al-Muhajir berputra : 10. Ubaidullah berputra : 11. Alawi Awwal berputra : 12. Muhammad Sohibus Saumi'ah berputra : 13. Alawi Ats-Tsani berputra : 14. Ali Kholi' Qosam berputra : 15. Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) berputra : 16. Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) berputra : 17. Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) berputra : 18 Abdullah Khan berputra : 19. Ahmad Jalaludin Khan berputra : 20. Syaikh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) berputra : 21. Syeikh Ibrahim Asmoroqandy berputra : 22 .Syeikh Maulana Ishaq berputra : 23. Kanjeng Sunan Giri I (Raden Muhammad Ainul Yaqin) berputra : 24. Kanjeng Sunan Giri II (Pangeran Kedul) berputra : 25. Pangeran Saba berputri : 26. Nyi Ageng Pemanahan berputra : 27. Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) berputra : 28. Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang) berputra : 29. Sultan Agung Hanyakrakusumo (Raden Mas Rangsang) berputra : 30. Sunan Amangkurat I berputra : 31. Sunan Pakubuwana I (Pangeran Puger) berputra : 32. Sunan Amangkurat IV berputra : 33. Pangeran Aryo Mangkunegoro berputra : 34. R. Said (KGPAA Mangkunegoro I) berputri : 35. Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkoekoesoemo berputri : 36. Raden Ayu Adipati Mangkoedipoero II berputra : 37. Raden Mas Ngabehi Wirjodipoero berputri : 38. Raden Ayu Sasikin Sastrodimedjo berputri : 39. Raden Ayu Soedarjani Sastrokoesoemo berputri : 40. Rade Ayu Soemijati berputri : 41. Raden Ayu Sri Soekartini berputra : 42. Raden Bagus Herwindro.
Tentunya data tersebut akan lebih lengkap bila ada catatan silsilah lain secara tertulis dari berbagai trah, seperti misalnya di dalam keluargaku dikenal trah Kadilangu dari Sunan Kalijaga [untuk Sunan Kalijaga ada riwayat beliau dzurriyat Sayyidina Abbas atau ahl bait al Abbasi, istri Sunan Kalijaga adalah Azmatkhan juga].
Hal tersebut di atas, belum banyak yang mengetahuinya, karena itu bagi pembaca yang kebetulan mempunyai silsilah keluarga baik dari jalur laki-laki maupun perempuan yang bersambung sampai dengan berbagai keraton/kerajaan yang tersebar di nusantara ini [berbeda periwayatan, berbeda urutan ada nama yang terbalik, ataupun nama yang hilang selama masih punya catatan keluarga yang jelas tetep dianggap dzurriyat], ketahuilah bahwa ada darah ahlul bayt [meski masih ada juga fam yang kontra terhadap Azmatkhan] dalam diri kita. BUKAN UNTUK DIBANGGAKAN, tetapi lebih merupakan tanggung jawab yang berat bagi diri kita masing-masing untuk selalu mawas diri, selalu memperbaiki dan meningkatkan keislaman, keimanan dan keihsanan kita sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW hingga berbuah akhlaqul karimah dan ma’rifah. Minimal, paling tidak kita masing-masing dapat memberikan manfaat yang lebih untuk lingkungan kita, sekitar kita, kepada banyak orang sesuai dengan yang sedang Allah posisikan pada diri kita masing-masing. Aamiin.
Pesan Keluarga Rasulullah tentang nasab
Dikutip dari : benmashoor.wordpress.com
Rasulullah saw bersabda :
“Wahai Bani Hasyim ! Janganlah sampai orang-orang lain menghadap padaku pada hari kiamat nanti dengan berbagai amal shaleh (baik), sedangkan kalian menghadapku hanya dengan membanggakan nasab (keturunan).”
Ali Bin Abi Thalib berkata :
“Barangsiapa yang bermalas-malasan (menangguhkan) amalnya, tidaklah tertolong atau dipercepat naik derajat karena mengandalkan nasab (keturunan).”
Diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri, beliau berkata bahwa Daud al-Thoi pernah mendatangi Ja’far al-Shaddiq untuk minta pendapat dan nasehat, padahal beliau adalah seorang imam sufi ahli zuhud pada masanya.
Daud al-Thoi :
Wahai anak Rasulullah saw, wahai cucu nabi saw, Engkau adalah orang termulia, nasehatmu wajib menjadi pegangan kami, sampaikanlah/ berikanlah nasehatmu kepada kami.
Ja’far al-Shaddiq :
Sungguh aku takut, datukku akan memegang tanganku di hari kiamat nanti, dan berkata : mengapa engkau tidak mengikuti jejakku dengan sebaik-baiknya.
Demikian jawaban al-Shaddiq kepada Daud al-Thoi, padahal beliau tidak pernah meninggalkan jejak datuknya, Rasulullah saw.
Maka menangislah Daud al-Thoi dan berkata : “Ya Allah, Ya Tuhanku, jika demikian sifat orang dari keturunan Nabi saw, berakhlaq dan berbudi seperti datuknya dan Fathimah al-zahra, dalam kebingungan, khawatir belum sempurna dalam mengikuti jejak Nabi saw, bagaimana halnya dengan aku, Daud ini, yang bukan dari keturunan Nabi saw.
ASAL NAMA AZMATKHAN
Dikutip dari : azmatkhanalhusaini.com
Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.
Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”.
Adapun nasab Sayyid Abdul Malik adalah sebagai berikut:
Abdul Malik bin
Alawi (Ammil Faqih) bin
Muhammd Shahib Mirbath bin
Ali Khali' Qasam bin
Alawi bin
Muhammad bin
Alawi (Asal usul marga Ba'alawi atau Al-Alawi) bin
Abdullah / Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin
Isa bin
Muhammad bin
Ali Al-'Uraidhi bin
Ja'far Ash-Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin
Husain bin
Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW.
Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar "Al-Muhajir Ilallah", karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda'wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda'wah.
Berkatalah H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”:
“Sayyid Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India ia bermukim di Nashr Abad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, diantaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Nashr Abad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul Malik.”
Nama putra Sayyid Abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda.
Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.
Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.
Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:
“Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.”
Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar.
Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:
“Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia diangkat sebagai wazir (menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Tailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.
Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”
Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tembahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian gelar Syahan-syah pada selain Allah.
Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Tailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.
Sayyid Husain memiliki tujuh orang putra sebagi berikut:
1. Sayyid Ibarahim, diketahui memiliki tiga orang putra:
1.1 Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri). Keturunannya mulai terdata.
1.2. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri). Keturunannya mulai terdata.
1.3. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Keturunannya mulai terdata.
2. Sayyid Barakat, diketahui memiliki empat orang putra:
2.1. Sayyid Abdurrahman Ar-Rumi. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
2.2. Sayyid Ahmad Syah. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
2.3. Maulana Malik Ibrahim. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
2.4. Sayyid Abdul Ghafur. Diketahui memiliki satu putera:
2.4.1. Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera:
2.4.1.1. Sayyid Fathullah (Falatehan). Keturunannya mulai terdata.
2.4.1.2. Nyai Mas Gandasari (Istri Sunan Gunung Jati).
3. Sayyid Ali Nurul Alam, memiliki dua orang putra:
3.1. Sayyid Abdullah; berputra Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Keturunannya mulai terdata .
3.2. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Menikah dengan cucu Sunan Ampel dan berputra Ja’far Ash-Shadiq (Sunan Kudus). Keturunannya mulai terdata.
3.3. Sayyid Haji Utsman (Sunan Manyuran). Keturunannya mulai terdata.
4. Sayyid Fadhal (Sunan Lembayung). Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
5. Sayyid Abdul Malik. Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
6. Pangeran Pebahar. Kami belum mendapatkan nama Arab dan riwayat beliau. Beliau adalah kakek dari Tuan Faqih Jalaluddin, Ulama Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin. Diketahui memiliki keturunan.
7. Yang ketujuh belum kami dapatkan nama dan riwayatnya dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.
Adapun Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi memiliki tiga orang putra dan seorang putri yang semuanya berdakwah dan meninggal di Cirebon Jawa Barat:
1. Syekh Datuk Kahfi. Diketahui memiliki keturunan.
2. Sayyid Abdurrahman (Pangeran Panjunan). Keturunannya mulai terdata.
3. Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan). Diketahui memiliki keturunan.
4. Syarifah Ratu Baghdad, menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Asal Usul Keluarga
Dikutip dari : azmatkhanalhusaini.com
Senin, 11 Agustus 2008
Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah SAW, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliau, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Untuk menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu, Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:
“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”
Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah akan memberi banyak keturunan pada Rasulullah SAW melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’. Sementara Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar, bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..
“Sesungguhnya orang yang mengejekmu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”
Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah SAW, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.
Sekedar gambaran, IKAZHI memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), dimana kebanyakan dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah SAW, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat didominan oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, merekapun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.
Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, karena hampir semua masyarakat santri di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak mustahil apabila di Madura orang yang memiliki “darah Rasulullah” lebih banyak daripada yang tidak. Kami banyak mendapati perkampungan yang mayoritas penduduknya masih satu rumpun dari keturunan seorang Bhujuk yang bernasab pada semisal Sunan Ampel dan sebagainya.
Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”. Maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak daripada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu -bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu lebih mendominan pulau Madura.
Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah “sepakat” untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Paham "garis perempuan putus nasab" berakibat pada penolakan terhadap keturunan Rasulullah sebagai Ahlul-bayt. Ada orang awam yang berkata bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dari anak laki-laki, Hasan-Husain adalah putra Fathimah yang berarti putus nasab dari Rasulullah SAW. Paham ini sebenarnya adalah warisan bangsa Arab jahiliyah yang pernah diabadikan dalam syair mereka:
“Anak-anak kami adalah keturunan dari anak-anak laki-laki kami. Adapun anak-anak perempuan kami, keturunan mereka adalah anak-anak orang lain.”
Cucu dari anak perempuan itu hanya keluar dari deretan daftar ahli waris, dalam istilah ilmu “Fara’idh” disebut “mahjub” (terhalang untuk mendapat warisan). Namun dalam deretan “dzurriyyah” (keturunan), cucu dari anak perempuan tidak beda dengan cucu dari anak laki-laki; mereka sama-sama cucu yang akan dipanggil “anakku” oleh kakek yang sama. Apabila kakek mereka adalah orang shaleh maka mereka sama-sama masuk dalam daftar keturunan yang akan mendapat berkah dan syafa’at leluhurnya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan beriman, maka Kami gabungkan anak cucu mereka itu dengan mereka .. “ (Q.S. Ath-Thur : 21)
Jadi, madzhab mayoritas para Kiai adalah bahwa cucu dari garis perempuan dan dari garis laki-laki itu sama-sama cucu, kalau kakek mereka ulama shaleh maka -insyaallah- mereka sama-sama akan mendapat berkah. Termasuk anak cucu Rasulullah SAW, baik yang garis silsilahnya laki-laki semua hingga ke Fathimah binti Rasulillah SAW, maupun yang melalui garis perempuan.
Madzhab ini telah lama dianut oleh Kiai-kiai keturunan Walisongo, terbukti dengan banyaknya kiai-kiai yang menulis nasab mereka yang bersambung pada Walisongo melalui garis perempuan. Terbukti pula dengan yang dikenal oleh Kiai-kiai bahwa Syekh Kholil adalah cucu Sunan Gunung Jati, padahal nasab Syekh Kholil pada Sunan Gunung Jati melalui garis perempuan, sedangkan dari garis laki-laki bernasab pada Sunan Kudus.
Kembali ke bab kita, bahwa di Madura banyak terdapat keluarga-keluarga yang memiliki nasab pada Rasulullah, maka seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah SAW telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan “status menonjol” sebagai keturunan Rasulullah SAW.
Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sudah membaur dengan penduduk setempat sehingga mereka tidak lagi dikenal sebagai “Habib”, “Sayyid” atau julukan-julukan lainnya. Dalam kitabnya, “’Allimu Auladakum Mahabbata Aalin Nabi”, Syekh Muhammad Abduh Yamani mengatakan bahwa di Afrika banyak terdapat orang-orang kulit hitam yang ternayata memegang sisilsilah pada Rasulullah. Hal itu dikarenakan leluhur mereka berbaur dengan orang kulit hitam, bergaul dan menikah dalam rangka menjalin hubungan sebagai jembatan da’wah. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa masih banyak keturunan Rasulullah SAW yang tidak terdata dan tidak dikenal. Itu adalah gambaran jumlah keturunan Rasulullah SAW yang keluar dari tanah Arab dan tidak lagi dikenal sebagai orang Arab. Jumlah yang amat besar ditambah dengan jumlah keturunan Rasulullah SAW yang di Arab.
Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Al-Kautsar, bahwa Rasulullah SAW akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang amat banyak. Sehingga kalau saja beliau dan orang-orang sezaman beliau masih hidup saat ini, maka beliau akan memiliki keluarga terbesar yang tak tertandingi oleh yang lain. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah SAW sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.
dikalimantan selatan ada seroang ulama bernama syeck Abdul malik, dianggap sebagai seorang penyebar islam utusan dari demak dalam masa-masa awal pengislaman tanah banjar,makamnya ada dilokasi pemakaman raja-raja banjar di daearh kuin banjarmasin...ada juga beberapa mesjid yang dibangun dan dipercaya dengan adanya catatan tua bahwa mereka adalah para utusan demak, dengan sebagian mereka memakai nama-nama Arab seperti mujadid malik, malik ibrahim, habib marwan dan sebagainya...mungkin mereka itu kerabat wali songo yang diutus kekalimantan untuk pengislaman..mohon tanggapannya..email saya alfigenk85@gmail.com terima kasih
ReplyDeleteSubhanallah semoga bisa jadi ibroh buat kita semua matur sembah nuwun Den Bagus Herwindro....
ReplyDelete