Jilid 1
Jilid 2 :
Kucari waktu yang tepat, saat omelan mBah ZhudhrunH bisa kusela langsung saja kubertanya padanya, “"mBah, kenapa beberapa tahun terakhir ini alam selalu bergolak ?"
Jawab mBah Zhudhrunh, "Itu karena tali pengikatnya banyak yang lepas."
"Apa tali pengikatnya itu mBah ?". "DZIKIR !", jawab si mBah.
Protesku, "Lho mBah, aku tiap waktu sudah berdzikir mBah !"
Sambil melotot marah, si mBah menjawab, "Kamu BERDZIKIR atau membaca bacaan dzikir ?!!! Banyak orang yang merasa bisa berdzikir, merasa sudah berdzikir, merasa menjadi ahli dzikir, tapi kenyataannya hanya sekedar membaca bacaan dzikir, hanya sekedar melafalkan bacaan dzikir. Engkau tidak pernah berusaha sungguh-sungguh agar hatimu berdzikir. Engkau merasa sudah berdzikir tapi kenapa adabmu kepada gusti Allah belum berubah, kenapa pula kelakuanmu terhadap sesamamu tetap saja membuat jengah dan kenapa pula akhlakmu terhadap alam ini hanya berbuah musibah ? Berdzikir berarti berkekalannya hati dalam kesadaran Allah. Adakah maksiat yang terjadi ketika hati seseorang hadir kesadaran bersama Allah ? Adakah kerelaan terhadap nafsu manakala hati hanya untuk Allah ? Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada celaan tidak ada pujian, semua kembali kepada-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kesedihan tidak ada kegembiraan, semua pemberian-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada cobaan tidak ada peringatan tidak pula anugerah, semua Rahmat-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kekhawatiran tidak ada ketakutan, semua jaminan-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kekuatan tidak ada keunggulan, semua pemberian-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada siksa tidak ada pahala, semua ketentuan-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada yang lain, yang ada hanya ALLAH. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada yang tidak ALLAH.”
Selaku lagi, “mBah.. mBah... lha biar aku bisa berdzikir seperti itu gimana mBah caranya ?”
“Embuh !”, begitu jawab si mBah, “Lha wong aku sendiri juga belum bisa seperti itu dan memang engga ada caranya karena hakikatnya Allah-lah yang mendzikirkan kita yang hakikatnya juga Allah sendiri yang berdzikir. Hanya…. hanya… syariatnya kita harus sungguh-sungguh bertekad, berniat untuk benar-benar berdzikir… hati kita… keseluruhan hidup kita, bukan hanya luarnya tetapi yang terpenting adalah dalamnya. Niat dulu, niatkan untuk sungguh-sungguh berdzikir sebagaimana yang diijazahkan kepadamu dengan niat lillahi ta’ala dan selebihnya pasrahkan sama gusti Allah. Yang penting dzikir saja seperti dawuhnya Syaikh Ibn Athaillah dalam Al-Hikam yang mengatakan : Jangan tinggalkan dzikir lantaran tidak bisa berkonsentrasi kepada Allah ketika berdzikir, karena kelalaianmu (terhadap Allah) ketika tidak berdzikir lebih buruk dari pada kelalaianmu ketika berdzikir. Mudah-mudahan Allah berkenan mengangkatmu dari dzikir penuh kelalaian menuju dzikir penuh kesadaran, dan dari dzikir penuh kesadaran menuju dzikir yang disemangati kehadiran-Nya, dan dari dzikir yang disemangati kehadiran-Nya menuju dzikir yang yang meniadakan segala selain-Nya.”
“Ojo rumongso biso dzikir, nanging bisoho ngrumangsani yen dzikirmu kuwi didzikirke gusti Allah.”
Lagi-lagi aku bertanya, “Lha hubungannya apa to mBah antara dzikir dengan alam ini kok mBah bilang kalo dzikir itu tali pengikat alam ?”
Lagi-lagi pula si mBah menjawab, “Gini lho bukankah kau sudah mengetahui bahwa penciptaan alam ini diawali oleh Allah dengan menciptakan Nur Muhammad yang nantinya dari Nur inilah seluruh semesta ini tercipta. Semesta ini, yang sampai saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti seberapa luasnya, menurut penelitian para ahli yang berkompeten di bidangnya, jagad raya ini selalu bergerak secara ritmis, berputar mengelilingi porosnya. Sampai makhluk yang terkecil pun seperti itu. Sel-sel tubuh seperti itu. Atom juga mempunyai inti atom yang dikelilingi secar ritmis oleh elektron. Bila inti atau poros itu rusak, maka rusak pulalah keselarasan perputaran itu. Masing-masing akan keluar dan terlepas dari orbitnya. Nah, inti dari alam semesta ya kita ini manusia.”
“Kok bisa mBah ?”, tanyaku lagi.
“Nur Muhammad itu sendiri, yang darinya alam semesta diciptakan oleh Allah, pada akhirnya dikehendaki Allah sebagai apa ?”
“Ya sebagai sosok biologis manusia agung Rasulullah Muhammad, mBah.”, jawabku.
“Berarti inti dari alam semesta ini manusia to ?”, tanya si mBah tanpa memerlukan jawaban.
Balik aku yang bertanya, “Lalu apa hubungannya dengan dzikir mBah ?”
“Allah di mana ?”.
Kujawab saja seperti diajarkan oleh guruku dulu sewaktu SD, “Allah ya di mana-mana mBah.”
“Berarti Allah menempati ruang dan waktu kalau Allah itu di mana-mana, padahal ruang dan waktu itu untuk makhluk.”
Jawabku dan tanyaku lagi, “Berarti Allah tidak di mana-mana mBah, begitu ?”
“Tidak di mana-mana berarti juga di mana-mana, sama saja artinya itu. Coba engkau pikirkan, pasti engkau akan mengalami kebuntuan, sebab seberapa pun hebatnya akalmu, dia tetap saja terbatas untuk menyingkap Allah yang maha tak terbatas. Sekali pun akalmu takkan pernah bisa menjangkau Allah. Allah hanya bisa dirasakan oleh hati, hati yang beriman.
Bumi dan langitKU tidak bisa menampungKU, namun hati hambaKU yang beriman bisa menampungKU, begitu firman Allah dalam hadis qudsi. Jadi yang menjadi poros alam semesta ini adalah manusia dan sejatinya hatilah intinya. Kau tahu yang disebut rumah Allah di dunia ini ?”
Sambil menebak-nebak arah pertanyaan si mBah, kujawab, “Baitullah yang mBah maksud ? Ya Kakbah mBah, memangnya kenapa ?”
“Apa yang selalu ada di sana ?”
“Thawaf mBah, gerakan ritmis berputar ke arah kiri secara terus menerus dengan pusat di kakbah itu sendiri.”
“Lha misalnya sekarang tiba-tiba saja kakbah itu lenyap tak berbekas, apa yang terjadi dengan perputaran thawaf itu.”
“Ya buyar mBah, tentunya perputaran itu jadi tak tentu arah lha wong tidak ada yang menjadi poros untuk diputari, malah bisa jadi perputaran itu berhenti”
“Seperti itulah harusnya hati. Hati orang yang mukmin sebagai rumah Allah seharusnyalah secara terus menerus diputari oleh dzikir, diputari oleh kekekalan kesadaran Allah. Dzikir itulah pengikat selarasnya perputaran alam semesata ini. Manakala banyak hati yang lalai akan dzikir, maka itu artinya semakin banyak pula tali pengikat keselarasan gerak alam semesta ini yang terlepas, berarti semakin banyak pula bencana yang akan menghampiri kehidupan kita.
Ibadah haji yang salah satu ritualnya adalah thawaf, bisa disimbolkan sebagai madu. Kenapa ? Karena dari madu tidak ada sedikit pun yang mudharat, kandungannya manfaat semua. Seperti itulah seharusnya seseorang yang hajinya mabrur, sungguh, yang keluar dari dirinya semestinya yang baik-baik saja terus menerus. Seperti itu pulalah orang yang benar-benar sudah berdzikir, adabnya kepada gusti Allah semakin baik, akhlaknya kepada makhluk semakin terpuji dan semakin amanah dalam melaksanakan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi ini. TIdak akan merugikan siapa pun dan apa pun. Coba, adakah seseorang yang benar-benar sudah berdzikir akan mengeksploitasi alam dengan semena-mena, untuk kepentingan diri sendiri dan sesaat saja tanpa mengingat anak cucunya, pewaris bumi yang sama yang ditinggalinya saat ini ?
Sungguh benarlah apa yang disabdakan kanjeng Nabi kalau kiamat tidak akan datang selama masih ada manusia yang berdzikir.”
Mendengar kata kiamat, pikiranku pun usil ingin menanyakan kepada mBah ZhudhrunH yang lagi ngomel ini, “mBah…. apa benar seperti yang ramai diperbincangkan orang beberapa waktu yang lalu tentang kiamat tahun 2012 dan apakah tanda-tandanya sudah tampak dengan berbagai fenomena alam hujan beberapa tahun terakhir ini dan juga adanya fenomena hujan meteor yang bisa kita saksikan dengan mata telanjang dalam kisaran satu bulan terakhir ini mBah, apalagi ada beberapa meteor yang jatuh di negeri ini ?”
“Ah kau ini seperti tidak tahu saja, bukankah kita ini hanya korban industri saja. Segala sesuatu kalau sudah masuk industri, bagaimana pun caranya pasti akan dibuat heboh agar laris manis. Lha wong agama saja diindustrikan kok, apalagi yang seperti itu. Coba lihat saja kemarin, kehebohan 2012, film laris, buku-buku laris, paranormal laris, ustadz juga laris dimintai komentar, bahkan di suatu daerah sebagaiman berita TV, MUI merasia warnet karena dikuatirkan menyimpan file film itu. Weleh-weleh, kurang gawean. Bukankah yang mengetahui datangnya hari kiamat itu hanya gusti Allah saja ? Jadi ya cukuplah itu menjadi keyakinan kita.
Q.S. Al A’raaf [7:187] : yas-aluunaka 'ani ssaa'ati ayyaana mursaahaa qul innamaa 'ilmuhaa 'inda rabbii laa yujalliihaa liwaqtihaa illaa huwa tsaqulat fii ssamaawaati wal-ardhi laa ta/tiikum illaa baghtatan yas-aluunaka ka-annaka hafiyyun 'anhaa qul innamaa 'ilmuhaa 'indallaahi walaakinna aktsara nnaasi laa ya'lamuun [Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".]”
mBah ZhudhrunH melanjutkan, “Hidayah Allah itu ibarat cahaya, yang apabila cahaya itu masuk ke dalam dada, maka akan menjadi lapang dan luas yang disebutkan tanda-tandanya oleh Rasulullah bahwa seseorang yang mendapatkan cahaya hidayah Allah akan berpaling dari negeri kelalaian menuju negeri keabadian. Sebenarnya tiap saat gusti Allah itu selalu memanggil kita lewat kelembutannya, lewat kasih sayangnya tetapi kita malah mengacuhkannya. Allah memberikan kita kesehatan, kelapangan, kemudahan, limpahan rejeki dan sebagainya agar kita mendekat pada-Nya melalui syukur kita, tetapi kebanyakan kita tidak menanggapinya, masing-masing kita malah sibuk memproduksi kegelapan dalam sudut-sudut hati kita sendiri. Apakah memang kita menginginkan gusti Allah memaksa kita kembali pada-Nya dengan sifatnya yang keras-keras, melalui kemaha-memaksanya, kemaha-menghinanya, kemaha-menyiksanya dan seterusnya ? Kalau memang cahaya dapat kita songsong dalam terang benderang, kenapa kita memilih menyongsong cahaya dalam pekatnya kegelapan ?”
Sambil garuk-garuk keplaku yang tidak gatal, kubertanya pada si mBah, “Maksudnya mBah ?”
“Misal engkau menyalakan lilin di siang hari, apakah cahaya lilin itu jelas terlihat ? Bandingkan dengan bila engkau nyalakan lilin yang sama itu di malam yang berselimut pekatnya kegelapan. Maka, setitik cahaya sangatlah berarti dalam pekatnya kegelapan. Seperti itulah gambarannya. Kebanyakan kita baru menyadari Allah ketika terpaksa dihadapkan pada sesuatu yang benar-benar jauh di atas jangkauan kesanggupan kita menerima keadaan. Kenapa orang baru meneriakkan takbir ketika diguncang gempa yang dahsyat, seperti itulah contoh sederhananya, yang semestinya setiap saat pula kita harus bertakbir seperti itu, sepenuh hati, karena gempa nafsu kita yang dahsyat menggoncangkan iman di dalam bumi hati kita. Apabila masing-masing kita sudah memproduksi kegelapan dan terakumulasi secara menyeluruh sehingga dunia ini gelap total, maka biasanya saat itulah cahaya yang terang benderang akan terbit di ufuk timur kesadaran kita. Tetapi jangan lupa, untuk keluar menuju cahaya yang terang benderang dari kondisi yang gelap total itu biasanya kegelapan itu diakhiri oleh terjadinya bencana yang sangat dahsyat.”
“Ngeri ah mBah.”, selaku, “Apakah itu yang akan terjadi 2012 besok mBah ?”
“Hoahahahahah…. rupanya kau mulai percaya ya sama ramalan itu ?”, tanya mBah ZhudhrunH.
“mBah sih ngomongnya syerem gicu….”, kataku dengan cengkok ngalem sok imut… hi.. hi… padahal amit-amit.
“Sudah kalau kamu pengen tahu, pake ilmuku aja !”
“Wah hebat dong si mBah ini… ilmu apaan mBah ?”, tanyaku sambil pasang mimik bengong.
“Meski pun bukan puncak ilmuku, tapi ini merupakan salah satu ajian andalanku, jarang sekali aku keluarkan kalo engga kepepet. Lelakunya berat sekali untuk nebus ajianku yang satu ini ?”, kata si Mbah ZhudhrunH dengan lagak seperti ‘wong pinter [keblinger]’.
Setengah percaya, kubertanya, “Ajian apaan mBah namanya ?”.
“Jangan bilang-bilang lho ya, rahasia. Ini cuman antara engkau sama aku. Sini hidungmu aku bisikin.”
Batinku, dasar sudrun, masa mbisikin kok di hidung, “Jangan di hidung mBah, lha wong mBah gak pernah sikatan gitu kok. Nih telingaku aja.”
Dengan berbisik mBah ZhudhrunH berkata di telingaku [ludahnya nyiprat lagi, maklum giginya dah mulai bogang], “Ilmu andalanku ini namanya aji-aji pengawuran !!!”
Dengan agak kesal kujawab, “mBah-mbah… sampeyan ini dah sepuh kok gak sembuh-sembuh se…., masak ajian kok namanya aji-aji pengawuran, gak ada benernya blas berarti…”
“Lho… lha dari pada orang besar-besar itu… ngakunya ngomongin kebenaran tapi kenyataannya kebohongan belaka… kan mending diriku tho, meski ngawur tapi kan engga bener.”, engga mau kalah, si mBah menjawab.
“Ya sudahlah mBah… sing waras ngalah…..”, jawabku dengan berani karena kulihat mBah ZhudhrunH sudah kembali ke jalan yang benar, kembali sudrun asli. Beda sewaktu ngomel jilid satu tadi, yang kata-katanya menghunjam jantung dan merontokkan ”aku”ku sewaktu mBah ZhudhrunH tersesat di jalan yang benar.
“Sesuai tahun yang dihebohkan, coba kita lihat Q.S. Thaaha [20:12] : innii anaa rabbuka fakhla'na'layka innaka bilwaadi lmuqaddasi thuwaa [Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.]
Kalau aku merujuk ayat ini bukan berarti yang dihebohkan itu benar-benar terjadi tahun 2012, tetapi setidaknya kalau memang seandainya ada kejadian luar biasa yang sangat mencekam entah kapan, yang membuat kebanyakan kita merasa ngeri, takut, gelisah seakan-akan kiamat, yang mungkin saat itu terjadi bencana dahsyat untuk menutup masa kegelapan dan kemudian keluar menuju cahaya, maka mungkin ayat tersebut bisa kita jadikan cermin apa dan bagaimananya.
Ayat itu merupakan kisah tentang Nabi Musa. Di ayat itu Allah menegaskan kepada kita semua tentang jabatannya Allah sebagai Tuhan, Tuhannya manusia. Untuk menghadap-Nya kita harus berada di tempat yang suci dan dengan menanggalkan terompah kita.
Terompah adalah alas kaki. Menurutku alas kaki yang dimaksud di sini adalah simbol. Simbol dari kreativitas / eksplorasi akal pikiran kita yang menghasilkan produk sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Coba saja kita amati, dari alas kaki saja bisa mencakup keseluruhan aspek tersebut.
Sederhananya begini, kita ngomong alas kaki aja, dari alas kaki yang dipakai, pemakainya bisa dikira-kira dari strata sosial yang mana dia berasal. Ada yang kemana-mana tidak menggunakan alas kaki, ada yang menggunakan alas kaki dengan berbagai variannya yang disebut sebagai sandal jepit, bakiak, sepatu sandal, sepatu dan mungkin yang lainnya. Dari alas kaki pula, dapt dilihat bahwa alas kaki yang dipakai merupakan produk dari budaya yang mana. Di negeri ini saja masing adat, masing-masing budaya mempunyai alas kaki yang khas bentuknya. Belum aspek ekonominya, namanya sama yaitu sepatu tetapi beda merek beda harga tentu beda kelas sosial juga. Ada sepatu yang cuman belasan atau puluhan ribu tetapi ada juga yang sampai jutaan. Aspek teknologi pun dipakai dalam produksi alas kaki. Lihat saja sepatu olah raga, untuk jenis olah raga tertentu, sepatunya khusus penuh sentuhan teknologi demi kenyamanan dan keamanan agar performance pemakainya bisa keluar optimal.
Itu baru alas kaki, belum semua hal di seluruh aspek hidup keseharian kita. Jika sistem ekonomi, sosial dan budaya yang berlaku malah semakin memperlebar ketimpangan yang ada, semakin menjauhkan dari esensi beragama, jika ilmu pengetahuan dan teknologi malah semakin menjauhkan jarak antara hamba dengan tuhannya, maka tunggulah saat di mana Tuhan akan memaksa hamba-Nya untuk kembali kepada-Nya dengan cara yang keras, seakan Tuhan langsung berkata pada kita bahwa Dia adalah Tuhan kita, tuhannya manusia, dan dapat berbuat apapun sebagaimana yang Dia kehendaki.
Jika itu yang terjadi, kita akan dipaksa menghadap-Nya dan kalau menghadap-Nya, tidak bisa tidak harus dalam keadaan suci. Hati kita harus suci, dengan menanggalkan seluruh predikat yang melekat pada diri kita, menghadap-Nya dengan kehambaan kita yang serba lemah, hina, kurang dan seterusnya. Lahir kita juga harus suci, dengan meluruhkan seluruh piranti produk akal pikiran kita. Kita semua harus kembali ke asal, natural yang bisa diartikan pada saat itu apa pun pencapaian keduniaan kita dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi kemungkinan besar tidak akan dapat berfungsi normal bahkan mungkin sama sekali tidak berguna. Seakan-akan perputaran waktu berhenti. Mandeg jegreg.
Saat itu kita akan benar-benar tak berdaya, tak ada yang dapat kita sombongkan, tak ada yang dapat membantu, tak ada kemudahan lagi dalam keseharian, tak ada yang yang dapat menolong dan tak ada yang dapat diandalkan. Saat itulah, insya Allah cahaya-Nya baru kita sadari walau pun terpaksa kita menyadarinya. Saat cahaya itu terbit di ufuk timur kesadaran kita masing-masing, saat itulah kita semua akan menginjak masa terang benderang setelah masa kegelapan yang ditutup oleh sebuah kejadian yang dahsyat.”
Sambil melongo membayangkan tiap kata yang diucapkan mBah ZhudhrunH, tanpa kusadari bulu kudukku merinding. Tanyaku pada si mBah, “Trus saat ini aku harus ngapain mBah ?”
“Kau tetap sajalah seperti dalam keseharianmu, mari kita dawamkan lagi wirid-wirid kita. Sambil beramal sholih melalui kerja keras kita, kita berwirid atau di sela-sela kerja keras itulah kita berwirid, mendzikirkan hidup kita dan mari mulai diri kita masing, perbaiki diri terus menerus agar setidaknya kita tidak malah menambah akumulasi kegelapan yang sedang terjadi.”
“Lalu bagaimana dengan negeri ini mBah, kasus-kasus besar yang terjadi di negeri ini belum lagi selesai ….”
Belum lagi aku menyelesaikan kalimatku, mBah Zhudhrunhm langsung menyela, “Wualah… sudahlah tak usah kau urusi masalah itu, sudah ada bagiannya masing-masing, sejak awal kasus-kasus itu muncul sudah jelas bagiku.”
“Sudah jelas apanya mBahh ?”, tanyaku tidak terima.
“Bagiku sejak awal sudah sangat jelas sekali kalau pada akhirnya semua kasus itu menjadi tidak jelas. Orang-orang besar yang mengurusi aja tak kunjung selesai kok. Apalagi kita. Yang penting tugas kita adalah memperbaiki diri kita masing-masing agar jadi orang baik. Kalau diri kita sudah mulai baik, maka tularkan virus kebaikan itu untuk keluarga kita masing-masing. Kalau keluarga kita sudah baik, insya Allah masyarakat kita baik dan negeri kita pun akan baik.”
“Lalu bagaimana dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar kita mBah ?”, tanyaku lagi.
“Ya lakukan aja sesuai posisi dan kondisimu. Kalau bisa dengan tanganmu dalam arti engkau mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu ya lakukanlah semampumu, kalau tidak bisa pergunakan lisanmu melalui nasihat dengan cara yang baik, melalui diskusi dengan cara yang baik dan kalau pun harus berbantah atau berdebat, maka berdebatlah dengan cara yang baik pula. Tetapi selemah-lemahnya iman kalau hatimu pun ikut-ikutan beramar ma’ruf nahi mungkar.”
“Maksudnya mBah ?”
“Jangan sampai hatimu ikut-ikutan mangkel atau jengkel kalau apa yang kau seru tidak diikuti. Karena sesungguhnya hidayah itu urusannya gusti Allah, tugas kita hanyalah sekedar mengajak melintas ke jalan hidayah. Lha kalau hatimu ikut-ikutan memaksa berarti engkau telah mengambil alih peran Tuhan. Apalagi kalau engkau ikut-ikutan memvonis dengan segala kebencianmu, menyesatkan mereka, mengkafirkan mereka, byuh-byuh… itu namanya engkau berperan menjadi Tuhan. Nahi munkar pun harus dengan amar ma’ruf.
Q.S. An Nahl [16:125] : ud'u ilaa sabiili rabbika bilhikmati walmaw'izhati lhasanati wajaadilhum billatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a'lamu biman dhalla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bilmuhtadiin [Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.]
Yang terpenting menurutku, ayo kita melatih hati kita untuk bisa ikhlas mendoakan saudara-saudara kita, untuk mendoakan seluruh anak bangsa ini agar mendapat ampunan dari gusti Allah.”
“Lha kok enak mBah, mereka yang berbuat kok kita yang harus mendoakan !”, sergahku.
“Justru kalau kita tidak mau mendoakan itu berarti kita termasuk kategori yang selemah-lemah iman karena kita tidak bisa rela menerima takdir yang sedang berlaku pada diri mereka. Nah kalau kita memohonkan ampunan untuk diri kita dan seluruh umat manusia, barangkali itulah tanda-tanda kalau gusti Allah berkenan mengampuni. Lha kalau gusti Allah sudah mengampuni, pasti cahaya hidayah-Nya bisa mereka terima. PAHAM… !!!!”, kata terakhir itu dicapkan mBah ZhudhrunH dengan menirukan logat sang ustadz dalam serial si Entong anak ajaib.
“Termasuk saudara-saudara kita yang sering melakukan teror itu mBah ?”
“Ya… iyalah….”, jawab mBah ZhudhrunH dengan gaya yang nggilani.
“Termasuk yang sering mengklaim islamnya paling bener itu juga ya mBah ?”
“Yup…. Wis gak usah mbok sebut satu-satu, pokoknya kuaabeehhhh bin semua engkau doakan. PAHAM … !”
Dalam hati aku berkata lagi, “OTRE mBah…. hoa….ha....ha....ha....”.
Jilid 2 :
Kucari waktu yang tepat, saat omelan mBah ZhudhrunH bisa kusela langsung saja kubertanya padanya, “"mBah, kenapa beberapa tahun terakhir ini alam selalu bergolak ?"
Jawab mBah Zhudhrunh, "Itu karena tali pengikatnya banyak yang lepas."
"Apa tali pengikatnya itu mBah ?". "DZIKIR !", jawab si mBah.
Protesku, "Lho mBah, aku tiap waktu sudah berdzikir mBah !"
Sambil melotot marah, si mBah menjawab, "Kamu BERDZIKIR atau membaca bacaan dzikir ?!!! Banyak orang yang merasa bisa berdzikir, merasa sudah berdzikir, merasa menjadi ahli dzikir, tapi kenyataannya hanya sekedar membaca bacaan dzikir, hanya sekedar melafalkan bacaan dzikir. Engkau tidak pernah berusaha sungguh-sungguh agar hatimu berdzikir. Engkau merasa sudah berdzikir tapi kenapa adabmu kepada gusti Allah belum berubah, kenapa pula kelakuanmu terhadap sesamamu tetap saja membuat jengah dan kenapa pula akhlakmu terhadap alam ini hanya berbuah musibah ? Berdzikir berarti berkekalannya hati dalam kesadaran Allah. Adakah maksiat yang terjadi ketika hati seseorang hadir kesadaran bersama Allah ? Adakah kerelaan terhadap nafsu manakala hati hanya untuk Allah ? Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada celaan tidak ada pujian, semua kembali kepada-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kesedihan tidak ada kegembiraan, semua pemberian-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada cobaan tidak ada peringatan tidak pula anugerah, semua Rahmat-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kekhawatiran tidak ada ketakutan, semua jaminan-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada kekuatan tidak ada keunggulan, semua pemberian-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada siksa tidak ada pahala, semua ketentuan-NYA. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada yang lain, yang ada hanya ALLAH. Bila hati dalam kesadaran Allah, tidak ada yang tidak ALLAH.”
Selaku lagi, “mBah.. mBah... lha biar aku bisa berdzikir seperti itu gimana mBah caranya ?”
“Embuh !”, begitu jawab si mBah, “Lha wong aku sendiri juga belum bisa seperti itu dan memang engga ada caranya karena hakikatnya Allah-lah yang mendzikirkan kita yang hakikatnya juga Allah sendiri yang berdzikir. Hanya…. hanya… syariatnya kita harus sungguh-sungguh bertekad, berniat untuk benar-benar berdzikir… hati kita… keseluruhan hidup kita, bukan hanya luarnya tetapi yang terpenting adalah dalamnya. Niat dulu, niatkan untuk sungguh-sungguh berdzikir sebagaimana yang diijazahkan kepadamu dengan niat lillahi ta’ala dan selebihnya pasrahkan sama gusti Allah. Yang penting dzikir saja seperti dawuhnya Syaikh Ibn Athaillah dalam Al-Hikam yang mengatakan : Jangan tinggalkan dzikir lantaran tidak bisa berkonsentrasi kepada Allah ketika berdzikir, karena kelalaianmu (terhadap Allah) ketika tidak berdzikir lebih buruk dari pada kelalaianmu ketika berdzikir. Mudah-mudahan Allah berkenan mengangkatmu dari dzikir penuh kelalaian menuju dzikir penuh kesadaran, dan dari dzikir penuh kesadaran menuju dzikir yang disemangati kehadiran-Nya, dan dari dzikir yang disemangati kehadiran-Nya menuju dzikir yang yang meniadakan segala selain-Nya.”
“Ojo rumongso biso dzikir, nanging bisoho ngrumangsani yen dzikirmu kuwi didzikirke gusti Allah.”
Lagi-lagi aku bertanya, “Lha hubungannya apa to mBah antara dzikir dengan alam ini kok mBah bilang kalo dzikir itu tali pengikat alam ?”
Lagi-lagi pula si mBah menjawab, “Gini lho bukankah kau sudah mengetahui bahwa penciptaan alam ini diawali oleh Allah dengan menciptakan Nur Muhammad yang nantinya dari Nur inilah seluruh semesta ini tercipta. Semesta ini, yang sampai saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti seberapa luasnya, menurut penelitian para ahli yang berkompeten di bidangnya, jagad raya ini selalu bergerak secara ritmis, berputar mengelilingi porosnya. Sampai makhluk yang terkecil pun seperti itu. Sel-sel tubuh seperti itu. Atom juga mempunyai inti atom yang dikelilingi secar ritmis oleh elektron. Bila inti atau poros itu rusak, maka rusak pulalah keselarasan perputaran itu. Masing-masing akan keluar dan terlepas dari orbitnya. Nah, inti dari alam semesta ya kita ini manusia.”
“Kok bisa mBah ?”, tanyaku lagi.
“Nur Muhammad itu sendiri, yang darinya alam semesta diciptakan oleh Allah, pada akhirnya dikehendaki Allah sebagai apa ?”
“Ya sebagai sosok biologis manusia agung Rasulullah Muhammad, mBah.”, jawabku.
“Berarti inti dari alam semesta ini manusia to ?”, tanya si mBah tanpa memerlukan jawaban.
Balik aku yang bertanya, “Lalu apa hubungannya dengan dzikir mBah ?”
“Allah di mana ?”.
Kujawab saja seperti diajarkan oleh guruku dulu sewaktu SD, “Allah ya di mana-mana mBah.”
“Berarti Allah menempati ruang dan waktu kalau Allah itu di mana-mana, padahal ruang dan waktu itu untuk makhluk.”
Jawabku dan tanyaku lagi, “Berarti Allah tidak di mana-mana mBah, begitu ?”
“Tidak di mana-mana berarti juga di mana-mana, sama saja artinya itu. Coba engkau pikirkan, pasti engkau akan mengalami kebuntuan, sebab seberapa pun hebatnya akalmu, dia tetap saja terbatas untuk menyingkap Allah yang maha tak terbatas. Sekali pun akalmu takkan pernah bisa menjangkau Allah. Allah hanya bisa dirasakan oleh hati, hati yang beriman.
Bumi dan langitKU tidak bisa menampungKU, namun hati hambaKU yang beriman bisa menampungKU, begitu firman Allah dalam hadis qudsi. Jadi yang menjadi poros alam semesta ini adalah manusia dan sejatinya hatilah intinya. Kau tahu yang disebut rumah Allah di dunia ini ?”
Sambil menebak-nebak arah pertanyaan si mBah, kujawab, “Baitullah yang mBah maksud ? Ya Kakbah mBah, memangnya kenapa ?”
“Apa yang selalu ada di sana ?”
“Thawaf mBah, gerakan ritmis berputar ke arah kiri secara terus menerus dengan pusat di kakbah itu sendiri.”
“Lha misalnya sekarang tiba-tiba saja kakbah itu lenyap tak berbekas, apa yang terjadi dengan perputaran thawaf itu.”
“Ya buyar mBah, tentunya perputaran itu jadi tak tentu arah lha wong tidak ada yang menjadi poros untuk diputari, malah bisa jadi perputaran itu berhenti”
“Seperti itulah harusnya hati. Hati orang yang mukmin sebagai rumah Allah seharusnyalah secara terus menerus diputari oleh dzikir, diputari oleh kekekalan kesadaran Allah. Dzikir itulah pengikat selarasnya perputaran alam semesata ini. Manakala banyak hati yang lalai akan dzikir, maka itu artinya semakin banyak pula tali pengikat keselarasan gerak alam semesta ini yang terlepas, berarti semakin banyak pula bencana yang akan menghampiri kehidupan kita.
Ibadah haji yang salah satu ritualnya adalah thawaf, bisa disimbolkan sebagai madu. Kenapa ? Karena dari madu tidak ada sedikit pun yang mudharat, kandungannya manfaat semua. Seperti itulah seharusnya seseorang yang hajinya mabrur, sungguh, yang keluar dari dirinya semestinya yang baik-baik saja terus menerus. Seperti itu pulalah orang yang benar-benar sudah berdzikir, adabnya kepada gusti Allah semakin baik, akhlaknya kepada makhluk semakin terpuji dan semakin amanah dalam melaksanakan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi ini. TIdak akan merugikan siapa pun dan apa pun. Coba, adakah seseorang yang benar-benar sudah berdzikir akan mengeksploitasi alam dengan semena-mena, untuk kepentingan diri sendiri dan sesaat saja tanpa mengingat anak cucunya, pewaris bumi yang sama yang ditinggalinya saat ini ?
Sungguh benarlah apa yang disabdakan kanjeng Nabi kalau kiamat tidak akan datang selama masih ada manusia yang berdzikir.”
Mendengar kata kiamat, pikiranku pun usil ingin menanyakan kepada mBah ZhudhrunH yang lagi ngomel ini, “mBah…. apa benar seperti yang ramai diperbincangkan orang beberapa waktu yang lalu tentang kiamat tahun 2012 dan apakah tanda-tandanya sudah tampak dengan berbagai fenomena alam hujan beberapa tahun terakhir ini dan juga adanya fenomena hujan meteor yang bisa kita saksikan dengan mata telanjang dalam kisaran satu bulan terakhir ini mBah, apalagi ada beberapa meteor yang jatuh di negeri ini ?”
“Ah kau ini seperti tidak tahu saja, bukankah kita ini hanya korban industri saja. Segala sesuatu kalau sudah masuk industri, bagaimana pun caranya pasti akan dibuat heboh agar laris manis. Lha wong agama saja diindustrikan kok, apalagi yang seperti itu. Coba lihat saja kemarin, kehebohan 2012, film laris, buku-buku laris, paranormal laris, ustadz juga laris dimintai komentar, bahkan di suatu daerah sebagaiman berita TV, MUI merasia warnet karena dikuatirkan menyimpan file film itu. Weleh-weleh, kurang gawean. Bukankah yang mengetahui datangnya hari kiamat itu hanya gusti Allah saja ? Jadi ya cukuplah itu menjadi keyakinan kita.
Q.S. Al A’raaf [7:187] : yas-aluunaka 'ani ssaa'ati ayyaana mursaahaa qul innamaa 'ilmuhaa 'inda rabbii laa yujalliihaa liwaqtihaa illaa huwa tsaqulat fii ssamaawaati wal-ardhi laa ta/tiikum illaa baghtatan yas-aluunaka ka-annaka hafiyyun 'anhaa qul innamaa 'ilmuhaa 'indallaahi walaakinna aktsara nnaasi laa ya'lamuun [Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".]”
mBah ZhudhrunH melanjutkan, “Hidayah Allah itu ibarat cahaya, yang apabila cahaya itu masuk ke dalam dada, maka akan menjadi lapang dan luas yang disebutkan tanda-tandanya oleh Rasulullah bahwa seseorang yang mendapatkan cahaya hidayah Allah akan berpaling dari negeri kelalaian menuju negeri keabadian. Sebenarnya tiap saat gusti Allah itu selalu memanggil kita lewat kelembutannya, lewat kasih sayangnya tetapi kita malah mengacuhkannya. Allah memberikan kita kesehatan, kelapangan, kemudahan, limpahan rejeki dan sebagainya agar kita mendekat pada-Nya melalui syukur kita, tetapi kebanyakan kita tidak menanggapinya, masing-masing kita malah sibuk memproduksi kegelapan dalam sudut-sudut hati kita sendiri. Apakah memang kita menginginkan gusti Allah memaksa kita kembali pada-Nya dengan sifatnya yang keras-keras, melalui kemaha-memaksanya, kemaha-menghinanya, kemaha-menyiksanya dan seterusnya ? Kalau memang cahaya dapat kita songsong dalam terang benderang, kenapa kita memilih menyongsong cahaya dalam pekatnya kegelapan ?”
Sambil garuk-garuk keplaku yang tidak gatal, kubertanya pada si mBah, “Maksudnya mBah ?”
“Misal engkau menyalakan lilin di siang hari, apakah cahaya lilin itu jelas terlihat ? Bandingkan dengan bila engkau nyalakan lilin yang sama itu di malam yang berselimut pekatnya kegelapan. Maka, setitik cahaya sangatlah berarti dalam pekatnya kegelapan. Seperti itulah gambarannya. Kebanyakan kita baru menyadari Allah ketika terpaksa dihadapkan pada sesuatu yang benar-benar jauh di atas jangkauan kesanggupan kita menerima keadaan. Kenapa orang baru meneriakkan takbir ketika diguncang gempa yang dahsyat, seperti itulah contoh sederhananya, yang semestinya setiap saat pula kita harus bertakbir seperti itu, sepenuh hati, karena gempa nafsu kita yang dahsyat menggoncangkan iman di dalam bumi hati kita. Apabila masing-masing kita sudah memproduksi kegelapan dan terakumulasi secara menyeluruh sehingga dunia ini gelap total, maka biasanya saat itulah cahaya yang terang benderang akan terbit di ufuk timur kesadaran kita. Tetapi jangan lupa, untuk keluar menuju cahaya yang terang benderang dari kondisi yang gelap total itu biasanya kegelapan itu diakhiri oleh terjadinya bencana yang sangat dahsyat.”
“Ngeri ah mBah.”, selaku, “Apakah itu yang akan terjadi 2012 besok mBah ?”
“Hoahahahahah…. rupanya kau mulai percaya ya sama ramalan itu ?”, tanya mBah ZhudhrunH.
“mBah sih ngomongnya syerem gicu….”, kataku dengan cengkok ngalem sok imut… hi.. hi… padahal amit-amit.
“Sudah kalau kamu pengen tahu, pake ilmuku aja !”
“Wah hebat dong si mBah ini… ilmu apaan mBah ?”, tanyaku sambil pasang mimik bengong.
“Meski pun bukan puncak ilmuku, tapi ini merupakan salah satu ajian andalanku, jarang sekali aku keluarkan kalo engga kepepet. Lelakunya berat sekali untuk nebus ajianku yang satu ini ?”, kata si Mbah ZhudhrunH dengan lagak seperti ‘wong pinter [keblinger]’.
Setengah percaya, kubertanya, “Ajian apaan mBah namanya ?”.
“Jangan bilang-bilang lho ya, rahasia. Ini cuman antara engkau sama aku. Sini hidungmu aku bisikin.”
Batinku, dasar sudrun, masa mbisikin kok di hidung, “Jangan di hidung mBah, lha wong mBah gak pernah sikatan gitu kok. Nih telingaku aja.”
Dengan berbisik mBah ZhudhrunH berkata di telingaku [ludahnya nyiprat lagi, maklum giginya dah mulai bogang], “Ilmu andalanku ini namanya aji-aji pengawuran !!!”
Dengan agak kesal kujawab, “mBah-mbah… sampeyan ini dah sepuh kok gak sembuh-sembuh se…., masak ajian kok namanya aji-aji pengawuran, gak ada benernya blas berarti…”
“Lho… lha dari pada orang besar-besar itu… ngakunya ngomongin kebenaran tapi kenyataannya kebohongan belaka… kan mending diriku tho, meski ngawur tapi kan engga bener.”, engga mau kalah, si mBah menjawab.
“Ya sudahlah mBah… sing waras ngalah…..”, jawabku dengan berani karena kulihat mBah ZhudhrunH sudah kembali ke jalan yang benar, kembali sudrun asli. Beda sewaktu ngomel jilid satu tadi, yang kata-katanya menghunjam jantung dan merontokkan ”aku”ku sewaktu mBah ZhudhrunH tersesat di jalan yang benar.
“Sesuai tahun yang dihebohkan, coba kita lihat Q.S. Thaaha [20:12] : innii anaa rabbuka fakhla'na'layka innaka bilwaadi lmuqaddasi thuwaa [Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.]
Kalau aku merujuk ayat ini bukan berarti yang dihebohkan itu benar-benar terjadi tahun 2012, tetapi setidaknya kalau memang seandainya ada kejadian luar biasa yang sangat mencekam entah kapan, yang membuat kebanyakan kita merasa ngeri, takut, gelisah seakan-akan kiamat, yang mungkin saat itu terjadi bencana dahsyat untuk menutup masa kegelapan dan kemudian keluar menuju cahaya, maka mungkin ayat tersebut bisa kita jadikan cermin apa dan bagaimananya.
Ayat itu merupakan kisah tentang Nabi Musa. Di ayat itu Allah menegaskan kepada kita semua tentang jabatannya Allah sebagai Tuhan, Tuhannya manusia. Untuk menghadap-Nya kita harus berada di tempat yang suci dan dengan menanggalkan terompah kita.
Terompah adalah alas kaki. Menurutku alas kaki yang dimaksud di sini adalah simbol. Simbol dari kreativitas / eksplorasi akal pikiran kita yang menghasilkan produk sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Coba saja kita amati, dari alas kaki saja bisa mencakup keseluruhan aspek tersebut.
Sederhananya begini, kita ngomong alas kaki aja, dari alas kaki yang dipakai, pemakainya bisa dikira-kira dari strata sosial yang mana dia berasal. Ada yang kemana-mana tidak menggunakan alas kaki, ada yang menggunakan alas kaki dengan berbagai variannya yang disebut sebagai sandal jepit, bakiak, sepatu sandal, sepatu dan mungkin yang lainnya. Dari alas kaki pula, dapt dilihat bahwa alas kaki yang dipakai merupakan produk dari budaya yang mana. Di negeri ini saja masing adat, masing-masing budaya mempunyai alas kaki yang khas bentuknya. Belum aspek ekonominya, namanya sama yaitu sepatu tetapi beda merek beda harga tentu beda kelas sosial juga. Ada sepatu yang cuman belasan atau puluhan ribu tetapi ada juga yang sampai jutaan. Aspek teknologi pun dipakai dalam produksi alas kaki. Lihat saja sepatu olah raga, untuk jenis olah raga tertentu, sepatunya khusus penuh sentuhan teknologi demi kenyamanan dan keamanan agar performance pemakainya bisa keluar optimal.
Itu baru alas kaki, belum semua hal di seluruh aspek hidup keseharian kita. Jika sistem ekonomi, sosial dan budaya yang berlaku malah semakin memperlebar ketimpangan yang ada, semakin menjauhkan dari esensi beragama, jika ilmu pengetahuan dan teknologi malah semakin menjauhkan jarak antara hamba dengan tuhannya, maka tunggulah saat di mana Tuhan akan memaksa hamba-Nya untuk kembali kepada-Nya dengan cara yang keras, seakan Tuhan langsung berkata pada kita bahwa Dia adalah Tuhan kita, tuhannya manusia, dan dapat berbuat apapun sebagaimana yang Dia kehendaki.
Jika itu yang terjadi, kita akan dipaksa menghadap-Nya dan kalau menghadap-Nya, tidak bisa tidak harus dalam keadaan suci. Hati kita harus suci, dengan menanggalkan seluruh predikat yang melekat pada diri kita, menghadap-Nya dengan kehambaan kita yang serba lemah, hina, kurang dan seterusnya. Lahir kita juga harus suci, dengan meluruhkan seluruh piranti produk akal pikiran kita. Kita semua harus kembali ke asal, natural yang bisa diartikan pada saat itu apa pun pencapaian keduniaan kita dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi kemungkinan besar tidak akan dapat berfungsi normal bahkan mungkin sama sekali tidak berguna. Seakan-akan perputaran waktu berhenti. Mandeg jegreg.
Saat itu kita akan benar-benar tak berdaya, tak ada yang dapat kita sombongkan, tak ada yang dapat membantu, tak ada kemudahan lagi dalam keseharian, tak ada yang yang dapat menolong dan tak ada yang dapat diandalkan. Saat itulah, insya Allah cahaya-Nya baru kita sadari walau pun terpaksa kita menyadarinya. Saat cahaya itu terbit di ufuk timur kesadaran kita masing-masing, saat itulah kita semua akan menginjak masa terang benderang setelah masa kegelapan yang ditutup oleh sebuah kejadian yang dahsyat.”
Sambil melongo membayangkan tiap kata yang diucapkan mBah ZhudhrunH, tanpa kusadari bulu kudukku merinding. Tanyaku pada si mBah, “Trus saat ini aku harus ngapain mBah ?”
“Kau tetap sajalah seperti dalam keseharianmu, mari kita dawamkan lagi wirid-wirid kita. Sambil beramal sholih melalui kerja keras kita, kita berwirid atau di sela-sela kerja keras itulah kita berwirid, mendzikirkan hidup kita dan mari mulai diri kita masing, perbaiki diri terus menerus agar setidaknya kita tidak malah menambah akumulasi kegelapan yang sedang terjadi.”
“Lalu bagaimana dengan negeri ini mBah, kasus-kasus besar yang terjadi di negeri ini belum lagi selesai ….”
Belum lagi aku menyelesaikan kalimatku, mBah Zhudhrunhm langsung menyela, “Wualah… sudahlah tak usah kau urusi masalah itu, sudah ada bagiannya masing-masing, sejak awal kasus-kasus itu muncul sudah jelas bagiku.”
“Sudah jelas apanya mBahh ?”, tanyaku tidak terima.
“Bagiku sejak awal sudah sangat jelas sekali kalau pada akhirnya semua kasus itu menjadi tidak jelas. Orang-orang besar yang mengurusi aja tak kunjung selesai kok. Apalagi kita. Yang penting tugas kita adalah memperbaiki diri kita masing-masing agar jadi orang baik. Kalau diri kita sudah mulai baik, maka tularkan virus kebaikan itu untuk keluarga kita masing-masing. Kalau keluarga kita sudah baik, insya Allah masyarakat kita baik dan negeri kita pun akan baik.”
“Lalu bagaimana dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar kita mBah ?”, tanyaku lagi.
“Ya lakukan aja sesuai posisi dan kondisimu. Kalau bisa dengan tanganmu dalam arti engkau mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu ya lakukanlah semampumu, kalau tidak bisa pergunakan lisanmu melalui nasihat dengan cara yang baik, melalui diskusi dengan cara yang baik dan kalau pun harus berbantah atau berdebat, maka berdebatlah dengan cara yang baik pula. Tetapi selemah-lemahnya iman kalau hatimu pun ikut-ikutan beramar ma’ruf nahi mungkar.”
“Maksudnya mBah ?”
“Jangan sampai hatimu ikut-ikutan mangkel atau jengkel kalau apa yang kau seru tidak diikuti. Karena sesungguhnya hidayah itu urusannya gusti Allah, tugas kita hanyalah sekedar mengajak melintas ke jalan hidayah. Lha kalau hatimu ikut-ikutan memaksa berarti engkau telah mengambil alih peran Tuhan. Apalagi kalau engkau ikut-ikutan memvonis dengan segala kebencianmu, menyesatkan mereka, mengkafirkan mereka, byuh-byuh… itu namanya engkau berperan menjadi Tuhan. Nahi munkar pun harus dengan amar ma’ruf.
Q.S. An Nahl [16:125] : ud'u ilaa sabiili rabbika bilhikmati walmaw'izhati lhasanati wajaadilhum billatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a'lamu biman dhalla 'an sabiilihi wahuwa a'lamu bilmuhtadiin [Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.]
Yang terpenting menurutku, ayo kita melatih hati kita untuk bisa ikhlas mendoakan saudara-saudara kita, untuk mendoakan seluruh anak bangsa ini agar mendapat ampunan dari gusti Allah.”
“Lha kok enak mBah, mereka yang berbuat kok kita yang harus mendoakan !”, sergahku.
“Justru kalau kita tidak mau mendoakan itu berarti kita termasuk kategori yang selemah-lemah iman karena kita tidak bisa rela menerima takdir yang sedang berlaku pada diri mereka. Nah kalau kita memohonkan ampunan untuk diri kita dan seluruh umat manusia, barangkali itulah tanda-tanda kalau gusti Allah berkenan mengampuni. Lha kalau gusti Allah sudah mengampuni, pasti cahaya hidayah-Nya bisa mereka terima. PAHAM… !!!!”, kata terakhir itu dicapkan mBah ZhudhrunH dengan menirukan logat sang ustadz dalam serial si Entong anak ajaib.
“Termasuk saudara-saudara kita yang sering melakukan teror itu mBah ?”
“Ya… iyalah….”, jawab mBah ZhudhrunH dengan gaya yang nggilani.
“Termasuk yang sering mengklaim islamnya paling bener itu juga ya mBah ?”
“Yup…. Wis gak usah mbok sebut satu-satu, pokoknya kuaabeehhhh bin semua engkau doakan. PAHAM … !”
Dalam hati aku berkata lagi, “OTRE mBah…. hoa….ha....ha....ha....”.
izin copy kang nggih
ReplyDeleteMonggo silahkan aja ..... smoga bermanfaat
ReplyDelete