Rasanya sampai saat ini aku belum tahu hubungan antara Cak ZhudhrunH dengan mBah ZhudhrunH. Yang kutahu, nama mereka sama, tetapi apakah secara genetik mereka masih satu keturunan yang sama antara kakek dan cucu, aku kurang mengetahuinya. Atau apakah di antara mereka ada suatu ikatan ruhaniah, aku juga kurang paham. Yang jelas kehadiran mBah ZhudhrunH yang biasanya tiba-tiba, sering menghentakkan kesadaranku, sering menelanjangiku, sering meluluhlantakkan egoku, bahwa aku ini masih sering membenarkan logika akalku tanpa memakai “rasa”, masih sering memaknai sesuatu hanya dengan hitam-putih saja dan hanya melihat secara parsial saja belum bisa secara universal. Yang pasti masih jauh dari predikat jadi “orang baik”.
Aku ingat kejadian tahun lalu sekitar bulan Oktober 2009, ketika di stasiun televisi aku melihat dahsyatnya gempa di Padang. Ee… ujug-ujug atau tiba-tiba saja sosok si mBah ini hadir di hadapanku sambil bertakbir keras sekali, “Allahu Akbar !!!!”. Rasanya jantungku sempat sejenak berhenti karena kagetku mendengar suara takbir yang begitu kerasnya. “Gempa, dahsyat, Allahu Akbar !”, begitu teriak mBah ZhudhrunH.
Aku paham, jika si mBah ini sudah berkata terlebih dahulu, biasanya itu perintah bagiku yang akan diucapkan pada kalimat selanjutnya. Maka aku pun mendahuluinya dengan bertanya, “Lha saya harus bagaimana mBah ?”
"Kau diam saja dan berpura-puralah tidak tahu !!!"
Sejenak aku tertegun mendengar jawaban itu. Orang aneh pikirku, benar-benar tidak waras si mBah ini, baru saja dia mewartakan padaku tentang kedahsyatan gempa Padang, lalu sekarang disuruhnya aku untuk diam dan berpura-pura tidak tahu. Opo maksudé ?
Sepertinya si mBah tahu jalan pikiranku dan segera menghardikku dengan tatapan tajam pada dua mataku yang menghunjam sampai ke dalam jantungku, “DhrunH, kau kira aku sudah tidak waras ya ?”.
“Bukan mBah.”
“Bukan apanya, wong sudah jelas pikiranmu terlihat di mataku kok !”
“Maksudku aku bukan ZhudhrunH mBah, yang ZhudhrunH kan si mBah sama cucunya mBah itu si Cak ZhudhrunH, kok mBah panggil aku DhrunH ?“.
Tanpa menunggu waktu, si mBah langsung menghajarku dengan bombardir kalimat-kalimatnya, “Hualahhhhh !!! Kamu kan yang sering mengidentikkan dirimu dengan cucuku itu, yang dia pun sering memakai namaku dengan bangga, seakan-akan dengan memakai nama itu dia merasa menjadi orang waras yang nyulayahi adat yang tidak sebagaimana umumnya orang, engkau dan dia sama saja, sering merasa bahwa seluruh kebijaksanaan ada pada diri kalian, seluruh pengetahuan berkumpul di dalam otak kalian !!! Engkau dan dia selama ini merasa bahwa segala hikmah terpendam telah kalian rasakan, semua pengetahuan pelik telah kalian pahamkan. Kalian sering menghakimi orang, menganggap orang lain aneh dari kaca mata kalian sendiri. Kalian masih sangat-sangat sering merasa nek, merasa jengah, merasa jengkel, merasa muak dengan segala macam fenomena di negeri ini yang menurut pertimbangan kalian itu adalah salah yang dengan begitu kalian memposisikan diri kalian lebih baik, lebih benar, lebih mulia dari mereka yang diam-diam kalian cibirkan dalam hati. Kalian begitu sinisnya memandang semua fenomena yang terjadi di negeri ini seolah-olah kalau kalian menempati posisi yang sama kalian pasti tidak akan begitu ! Kejujuran, keadilan dan kebenaran seolah-olah kalianlah panglimanya. Kalian menertawakan mereka yang mencari tuhan tidak dengan jalan yang kalian ikuti seakan-akan kalian sendirilah pemandu dari jalan yang kalian tempuh itu.”
Lemas badanku mendengar semua perkataan mBah ZhudhrunH itu bagai badan tanpa tulang yang menyangga di dalamnya, detak jantungku bertambah cepat secepat mobil Ferrari di Formula 1, keringat dinginku meluap keluar sederas lumpur lapindo di Sidoarjo sana. Tapi mBah ZhudhrunH masih saja mengomel ria tanpa bisa dicegah.
“Kalian masih sering mengejek orang lain dengan status-status kalian di FB seolah-olah kalian tidak menpunyai unsur yang kalian cibir itu. Kalian masih sangat-sangat sering merasa tidak nyaman degan golongan yang menyesatkan paham kalian, sambil diam-diam kalian pun menyesatkan mereka. Kalian hampir tidak pernah tidak merasa bangga kalau ucapan kalian diikuti orang, kalau kata-kata kalian dibenarkan khalayak, kalau jawaban kalian dimengerti oleh mereka yang bertanya dan kalau tulisan-tulisan kalian tersebar di mana-mana. Kalian merasa bisa mengatasi semua masalah padahal masalah terbesar dari diri kalian sendiri, yaitu nafsu kalian, kalian sering menyerah kalah padanya”
“Kalian lupa, kalian lupa, kalian lupa kalau kalian bukan apa-apa, kalian bukan siapa-siapa dan kalian tidak punya kekuatan apa-apa. Parahnya lagi kalian pun sering merasa bangga, sering merasa sombong akan kebiasaan kalian seakan-akan degan menjadi biasa itu kalian tidak mempunyai potensi kesombongan dibandingkan dengan mereka yang saat ini memegang kekuasaan, jabatan, ilmu, kealiman, kearifan, kekayaan, kerupawanan dan sebagainya. Padahal perasaan kalian tentang ketidaksombongan kalian merupkan kesombongan tersendiri yang luar biasa di hadapan tuhan kalian. Kalian belum bisa menjadi tanah yang sanggup menyangga apa pun yang ada di atasnya tanpa membedakan. Kalian belum bisa menjadi gunung yang tegar dan kokoh seberapa pun kencang angin yang menerpanya. Kalian belum bisa menjadi udara yang sanggup untuk mengisi seluruh ruang yang ada. Kalian belum memiliki kerendahhatian air yang bersedia mengaliri segala tempat yang lebih rendah darinya. Kalian mungkin baru menjadi api yang menghanguskan semua yang ditemuinya.”
“Kalian lupa, kalian lupa, kalian lupa kalau dunia itu tidak semuanya hitam, tidak pula semua putih, tetapi di antaranya ada yang abu-abu bahkan warna-warni yang lainnya pun ada dan memang demikianlah gusti Allah menciptakan. Lalu kalian terlalu sering menghakimi, menuding dengan telunjuk kalian, sementara kalian tidak sadar bahwa di saat telunjuk kalian menuding yang lain, empat jari kalian menuding diri kalian sendiri. Kalian lupa bahwa di saat kalian resah atas apa yang kalian rasakan berarti kalian saat itu juga menggugat gusti Allah atas kehendaknya yang sedang berjalan. Kapan kalian bisa berdamai dengan diri kalian sendiri, kapan kalian bisa mengendalikan diri kalian sendiri, kapan ……”
Belum selesai mBah ZhudhrunH berkata-kata aku menyela, “Stop-stop mBah, aku sudah tidak kuat mendengarnya mBah, pingsan nanti aku mBah.”
Tiba-tiba saja si mBah ini duduk diam, menundukkan kepala dan mulailah meleleh buliran air mata membasahi pipi keriputnya. Sambil mengusap wajahnya, si mBah tiba-tiba saja bersenandung. Terdengar lamat-lamat syair Abu Nuwas dari sela-sela bibirnya, “Ilahilas tulil fidaussi ahla... dst.” Tanpa tersadar pula tiba-tiba saja aku pun mengikuti alunan syair itu hingga usai. Tanpa sadar pula akhirnya aku dan mBah ZhudrunH sama-sama menangis, diselingi istighfar di antara tangisan kami, tetapi sejenak kemudian di akhir tangisan kami, tanpa bisa ditahan kami pun tiba tertawa terbahak-bahak dan tiba-tiba terdiam tanpa kata seakan kami berdua menjadi sebuah arca batu yang membisu.
Cukup lama keheningan yang tercipta dan setelah aku berhasil menguasai perasaanku lagi, aku beranikan bertanya kepada mBah ZhudhrunH, “Memangnya kenapa mBah kok aku disuruh diam saja dan berpura-pura tidak tahu ?”
“Memangnya engkau mau berbuat apa ?”
“Ya… setidaknya aku kan bisa berprihatin ikut merasakan apa yang mereka alami mBah.”
“Seberapa jauh keprihatinanmu ? Seberapa lama keprihatinanmu ? Seberapa dalam rasa ikut merasakanmu ?”
“Maksudnya mBah ?”
“Banyak di antara kita dan mungkin ini adalah diriku sendiri merasa prihatin atas apa yang mereka alami. Tapi benarkah keprihatinan itu sampai di hati ? Tidakkah keprihatinan itu sebatas di lisan saja ? Benarkah kita mampu merasakan apa yang mereka rasakan dengan sebenar-benarnya seperti kulit kita yang dicubit tetapi lisan kita yang mengaduh ? Ataukah keprihatinan itu hanyalah kelatahan sosial kita saja. Kita merasa prihatin, tetapi diam-diam kita mensyukuri bahwa bukan kita yang mengalaminya. Kita mengirimkan pakaian, tetapi itu adalah pakaian terjelek yang kita miliki yang sudah tidak pernah kita pakai. Kita merasa prihatin dengan menghadirkan nuansa religius di layar kaca, ayat-ayat tuhan diperdengarka, ulasan-ulasan keagamaan tentang dosa, azab dan bencana diulas dimana-mana lalu diam-diam kita-kita sibuk menuding mereka yang terkena bencana sebagai makhluk yang banyak dosa. Ajakan berdoa untuk mereka sering kita dengarkan, tetapi sudah benar-benar berdoakah mereka yang mengajak dan sudahkah kita panjatkan doa secara khusus untuk saudara-saudara kita yang mengalami bencana itu ? Coba lihat saja, ada benar-benar ada keprihatinan itu ? Di plasa-plasa, mal-mal, resto-resto, tempat dugem, layar kaca, media massa dan di mana-mana semua masih berhaha-hihi mengumbar kekonyolan tanpa arti, menebar sensasi tiada henti dan mengulas gosip dengan asyik. Jadi kalau tidak ada satunya lisan dan hati pada dirimu, diamlah ! Kalau engkau tidak bisa mendapatkan hikmah dari peristiwa itu, diamlah ! Kalau engkau merasa mendapatkan hikmah namun dirimu sama sekali tidak tersentuh untuk berubah menjadi lebih baik, diamlah ! Dari pada mulutmu berkoar-koar tentang bencana tanpa makna apa pun di hatimu lebih baik kau diam agar tidak menambah unsur kegelapan yang semakin terakumulasi di negeri ini.”
"Tapi mBah, korban gempa, banyak !", kataku pada si mBah.
mBah Zhudhrunh bilang, "Alhamdulillah mereka disayang gusti Allah. Mereka sedang berhalal bil halal sama gusti Allah."
Tanyaku lagi, "Lho lha yang banyak dosa itu siapa mBah ?"
Jawab mBah Zhudhrunh, "KAMU, KAMU yang banyak dosa !!! Kowe itu baru saja aku beri tahu, kok masih saja memandang fenomena di hadapanmu dengan hitam-putih. Hidup kita tidak hanya di dunia saja tetapi nanti ada akhirat, karena itu jangan memandang sesuatu dalam skala dunia saja tetapi dunia akhirat. Apa orang yang kaya sudah tentu mulia di hadapan Tuhan ? Apa orang yang miskin berarti hina di hadapan Tuhan ? Bukankah yang paling mulia di hadapan gusti Allah itu yang paling bertaqwa ? Dan dimana letak taqwa itu dan bagaimana taqwa itu, apakah engkau sudah melakoninya ?"
“Engkau yang tidak mengalami atau pun yang selamat dari gempa, tanah longsor, banjir, lumpur, badai dan kawan-kawannya itu, belum tentu dosa kalian ringan dan belum tentu selamatmu itu diselamatkan Tuhan, karena bisa jadi yang seolah-olah selamat itu yang seolah-olah tidak mengalami bencana itu justru dibiarkan Tuhan menumpuk hutang-hutang kepadaNya. Gusti Allah sedang mbombong, sedang ngujo, sedang memberlakukan istidroj.”
"Sebaliknya yang tidak selamat, yang menjadi korban mungkin sedang ditagih hutangnya oleh gusti Allah, sedang berhalal bil halal dengan Allah. Kalau mereka bisa ridho atas penderitaan itu maka insya Allah itulah yang menjadi tiket untuyk memperoleh kemuliaan dan surga keridhoan Allah. Itulah yang hakikinya sedang diselamatkan oleh Allah. Mereka disayang gusti Allah.”
mBah ZhudhrunH terus saja dengan omelannya, tapi diam-diam dalam hatiku berkata, “mBah, ai lup yu pul mBah…. hoaha..ha....ha....”.
... to be continued ...