Siapa yang mengenal
dirinya akan mengenal Tuhannya.
Berarti kata kuncinya adalah mengenal diri,
yang dalam hubungannya dengan Tuhan berarti mencari tahu siapa saya, darimana
berasal dan hendak ke mana nantinya.
Kalau ditanya saya dari mana ? Ya dari kedua orang tua saya, khususnya saya dilahirkan dari ibu
saya. Ibu dari mana ? Dari eyang kakung dan eyang putri, khususnya dari eyang putri. Eyang putri dari mana
? Ya dari eyang
buyut kakung dan eyang buyut
putri, khususnya eyang buyut
putri. Dan begitu seterusnya ke atas, yang pada mulanya akan berpangkal pada sosok biologis manusia pertama yang saya
tahu dari Kitab Suci yaitu Nabi Adam dan isteri Beliau Hawa.
Bila dilanjutkan lagi ya akan ketemu
pada ciptaan pertama sebagai bahan baku alam semesta yang diwujudkan dalam
bentuk “cahaya” yaitu Nur Muhammad. Cahaya itu sendiri berasal
dari Gusti Allah. Jadi singkatnya saya berasal dari Gusti Allah dan
nantinya akan kembali kepada Gusti Allah. Beberapa hal
mengenai hal tersebut, kebetulan telah pernah dengan tidak sengaja saya tuliskan
pada catatan dengan judul : MemperLAMBAT WAKTU, memperCEPAT
menCAHAYA di
http://denmasbagus.blogspot.com/2012/04/memperlambat-waktu-mempercepat.html
Nama saya BAGUS. Seandainya saya
dilekati sebuah predikat dalam hal sosial kemasyarakatan yaitu sebagai Ketua RT.
Apakah predikat Ketua RT itu yang nanti akan kembali kepada Gusti Allah ? Tentunya tidak, berarti tidak juga untuk predikat
lain yang melekat pada diri saya. Yang kembali hanya Bagus
saja, tetapi Bagus yang mana.
Sebagai sosok biologis secara lengkap, saya
dinamai Bagus. Contoh kecil, saat kuku saya mulai memanjang dan saya
memotongnya, apakah potongan kuku saya yang jatuh ke bumi itu juga Bagus ? Kalau “iya” berarti nanti juga
kembali ke Gusti Allah. Saya kira, potongan kuku saya
tersebut bukan yang sejatinya kembali ke Gusti Allah. Berarti saat bagian tubuh biologis saya lepas atau terpisah, maka
dia bukan Bagus yang sejati.
Lalu yang mana yang sejati Bagus yang nanti akan pulang kembali
kepada Gusti Allah ? Ini perlu ilmu
titén untuk menyelaminya.
Saat saya mencoba diam sejenak dan mengamati diri saya
sendiri, ternyata pikiran saya begitu cepatnya berganti-ganti, perasaan saya
penuh gejolak dan yang pasti ada dialog-dialog dari berbagai pihak yang ada
dalam diri saya sendiri. Nah tambah mumêt, saya ini siapa sih ? Kok dalam satu diri saja ada banyak
pihak yang berdialog, ada yang cuek,
ada yang menahan, ada yang mendorong, ada yang mengacau dan banyak
lagi.
Setelah menelusuri, dalam diri Bagus, ada ruh-Nya, ada jazad,
ada hayat atau energi hidup, ada akal, ada pikiran, ada hati, ada rahsa, ada
perasaan, ada hawa’ / nafsu, ada jiwa, ada watak, ada syetan dan ada pula
malaikatnya juga, he… he... he… kadang disusupi jin juga. Wallahu ‘alam. Kalau misalnya Panjenengan menemukan hal yang
sama, monggo silahkan dirasakan, didefinisikan dan dititéni sendiri masing-masing bagian itu
dan bagian mana yang sejatinya adalah diri Panjenengan yang nantinya akan pulang
kembali kepada Gusti Allah.
Dengan terus mencari diri sejati, berarti pula terus mencari
Tuhan yang sejati, apa sih maunya
Tuhan itu menciptakan saya, saya disuruh berbuat apa dan pencarian itu terus
menerus tanpa henti, selalu mencoba berdialog dengan Tuhan agar Tuhan tidak
sekedar konsep, tidak menjadi sebuah tahayul, melainkan manjing dan manunggal dalam penyaksian
diri sejati kita. Dengan mengenal Tuhan, berarti nanti akan dikenalkan juga dengan makhluk ciptaanNya yang lain,
dengan hukum-hukumNya, agar tidak melawan arus tatananNYa sehingga diri sejati
kita bisa pulang dengan selamat kepadaNya.
Penting memang untuk terus niténi diri sendiri hingga bisa dan
selalu menjaga 'jabang bayi' kita
sendiri yang dalam bahasa agama disebut dengan fitrah agar terus terhubung dengan Gusti
Allah dan tak mudah tersihir rekayasa dunia. Sebab diakui atau pun tidak,
dipercaya atau pun tidak, semakin tua usia dunia,
semakin menuju pada tingkat kemunduran ruhani, sebab ada disain penguasaan dunia
secara global [bukan hanya pada level bangsa-negara]. Secara
halus, tersamar dan sistematis manusia dijauhkan dari Tuhan, dicegah dari
mengenali dirinya sendiri, dilakukan pendangkalan nilai-nilai kehidupan,
dilupakan atas sejarah masa lalunya sendiri, ilmu pengetahuan pun didiktekan
hanya dari satu arah, dibombardir dengan kebiasaan melampiaskan bukan menahan
atau mengendalikan, seluruh sumber daya hendak dikuasai, dijual untuk
kepentingannya sendiri dan seterusnya. Sangat mungkin juga, ajaran agama
pun telah direkayasa hingga tak sekalipun menghunjam kalbu, hanya sekedar ritual
formal tanpa esensi, hanya menampilkan simbol-simbol belaka tanpa substansi,
melulu syariat saja tanpa mau menengok hakikatnya, hingga pemeluknya tak makin
halus, melembut dan menebar rahmat namun malah semakin kasar, keras dan menebar
laknat. Itulah fitnah Dajjal. Ngeri dan memang sangat
mengerikan bila kita mau menelusurinya.
Belum selesai juga.