Baru saja tadi saya menghadiri undangan dari rekan sejawat
almarhum Bapak saya, yang sedang memperingati seribu hari wafatnya sang ibunda.
Usia beliau saat ini sekitar tujuh puluh dua tahunan.
Beberapa kali dalam selang waktu empat bulanan
ini saya bertemu beliau di kediamannya atas permintaan beliau untuk membereskan
kerewelan computer dan printernya. Alhamdulillah, bisa
sekalian menyambung silaturahim. Setiap periode usia memang mempunyai kekhasannya masing-masing, demikian
juga beliaunya dengan usia sepuhnya,
maka sebagai orang yang lebih muda saya harus lebih sabar untuk mendengar dan
menyimak pembicaraan beliau yang selalu bersemangat dengan intonasi yang
meledak-ledak. Banyak dan selalu diceritakan adalah tentang
masa lalunya, juga tentang masa lalu mendiang bapak saya saat bersama-sama
dengan beliau.
Ah… rasanya sudah sering saya mendengarnya, tiap kali juga sama yang diceritakan, tetapi tetap Alhamdulillah, sebab di antara kisahnya
adalah tentang kebaikan yang pernah dilakukan oleh mendiang bapak saya. Bukankah
itu termasuk kesaksian yang baik ? Di
antaranya tentang kebiasaan mendiang bapak saya yang suka mentraktir
rekan-rekannya walau pun dalam kondisi keuangan yang sangat terbatas, tentang
kesombongannya dalam menyombongi orang yang sombong, tentang tanggung jawabnya
dan sebagainya.
Namun ada satu hal yang yang sering dikatakan pada saya dengan
intonasi yang tinggi, “Papamu kuwi hebat,
jian, laa ilaha ilallah, hebat tenan…” He… he… he… bagi
saya sih biasa saja, namun yang dianggap beliau hebat itu adalah pertanda yang
diberikan mendiang bapak saya sebelum meninggal dunia, bahkan sejak sebulan
sebelumnya. Satu bulan sebelumnya, karena kendaraan bapak saya rusak dan
masih harus opname di bengkel, maka bapak saya minta diantar pulang ke rumah dan
diperjalanan mendekati rumah, beliaunya mengatakan bahwa bapak saya selalu
menunjukkan patokan-patokan yang jelas menuju rumah agar besok kalau beliaunya
ke rumah tidak kesasar. Yang kedua, mendiang bapak saya
menanyakan jadwal wisuda putera beliaunya itu, namun setelah diberitahu oleh
putranya, bapak memberi ucapan selamat dan mengatakan kalau beliau tidak bisa
ikut menyaksikan, sebab kenyataannya memang jadwal wisuda itu tepat satu bulan
setelah bapak saya meninggal. Yang ketiga, menurut beliau, satu hari
sebelum meninggal beliau masih mengobrol di kantor dengan bapak saya, namun
beliau pamit pulang dulu karena ada keperluan dan saat itu bapak saya
mengatakan, “Sesuk ora ketemu aku
lho…”. Benarlah besoknya bapak
saya meninggal dunia.
Itu sekedar prolog.
Dalam acara tahlilan tadi, yang mengusik rasa
saya adalah kehadiran teman-teman kecil beliaunya satu kampung dulu. Dari
yang sebaya dan sekampung menurut cerita beliau, hanya tinggal empat yang masih
diberi usia oleh Gusti Allah. Salah duanya yang datang
malam tadi, kakak beradik, yang adiknya malah sudah tampak sepuh sekali, bahkan seperti terserang
parkinson.
Ada juga rekan beliau yang juga hadir, berusia delapan puluh
empat tahun, dengan kondisi yang masih bugar, subhanallah.
Pembicaraan yang terjadi tak lepas juga
tentang sebuah kematian yang mau atau pun tidak harus dihadapi, rela atau pun
tidak harus terjadi.
Yang pasti, makin banyak melintas usia,
makin sedikit nikmat raga yang tersisa.
Kalau sebelum enam puluh tahun kemudian meninggal, saya kira
mendadak ya… ? Namun kalau sudah sepuh-sepuh sepertia beliaunya itu
dimana teman-teman lain sudah mendahului menghadap Gusti Allah, apa yang ada di
perasaannya ya ?
Sebuah permenungan yang lagi-lagi
muncul. Bersua dengan para sesepuh, membekas kesan nan dalam. Kepasrahan menunggu saat panggilan datang atau
malah kegamangan yang bercampur kengerian ? Bagaimana
denganku dan bagaimana pula denganmu ???