Hahahahahahaha….. sungguh, secara nyata
memang saya sedang tertawa saat terlintas mau menulis ini. Kalau dalam kesendirian saya tertawa, biasanya memang sedang
teringat hal-hal yang menggelikan atau bisa jadi saya sedang menertawakan diri
saya sendiri atau bisa jadi bahwa biasanya tertawa saya itu merupakan ekspresi
kengerian yang sulit untuk dilukiskan. Itu saya, bagaimana dengan Anda ?
Saya bisa mengatakan itu karena saya biasa niténi [memperhatikan / mempelajari
kebiasaan] diri saya sendiri. Nah, tertawa saya di awal
penulisan ini, masuk kategori yang ketiga, yaitu sebagai ekspresi dari
kengerian. Penasaran kan ?
Kalau memang Anda penasaran, saya sarankan sebaiknya tidak usah
meneruskan membaca dan segeralah beralih ke halaman lain, dari pada rasa
penasaran Anda berbuah kekecewaan karena yang saya tulis tidak semenarik
judulnya, he… he… he…
Walau tanpa rumus hitung yang pasti, ilmu
titén bukanlah tahayul, sebab dia berdasarkan realita yang sering terjadi, sebab
akibat yang berulang terus. Kalau begini, maka biasanya akan begini. Kalau begitu, maka biasanya akan begitu. Para leluhur nusantara sudah
menggunakan Ilmu titén dengan luar biasa, sehingga sudah merasakan realita
kealamsemestaan dan aplikasinya secara nyata tanpa alat dan tanpa pesawat dalam
kehidupan, bahkan sejak dunia Barat belum menemukan teorinya sekali pun.
Teknologi waktunya orang Jawa yang bernama Pranata Mangsa,
adalah salah satu hasil dari Ilmu Titén ini. Contoh
lainnya adalah teleportasi, seperti ilmu melipat jarak dan ilmu santet.
Suwung dalam samadi, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, jauh sebelum ilmuwan
barat menemukan fenomena Quantum, juga Niat Ingsun yang sudah menjadi
keseharian, di Barat baru dikenal menjadi ilmu dengan nama NLP. Masih banyak yang lainnya,
silahkan didalami sendiri.
Namun bukan itu yang saya maksud, ilmu titén pada judul tulisan ini lebih
kepada niténi diri saya sendiri,
sebab lebih mudah sebab saya menjadi subyek sekaligus sebagai obyeknya, tentu
saja kalau mau jujur pada diri sendiri. Banyak hal akan terkait-paut,
hingga untuk menulis ini pun sebenarnya saya merasa bingung, akan mulai dari
mana ? Namun karena saya sudah punya
resep untuk mengatasi kebingungan, maka bereslah sudah. Mau tahu resepnya ? Ini katanya dosen saya dulu lho ya… kalu bingung itu resep
pertamanya adalah pegangan meja. Kalu sudah pegangan
meja masih bingung, maka resep kedua yang harus dijalankan, yaitu baju yang kita
pakai harus dibalik, jadi memakainya secara terbalik. He… he… he… kalau tidak percaya, silahkan Panjenengan
praktekkan.
Andai ada orang yang menawari Panjengan untuk makan, mungkin
Panjengan akan bilang kalau sudah makan meskipun sebenarnya belum makan yang apa
pun alasannya itu adalah sebuah kebohongan, tetapi kalau misalnya perut terasa
lapar, maka akan laparlah dia, perut tidak bisa berbohong dengan berpura-pura
tidak merasakan lapar. Contoh lain adalah, saat orang beralibi dari suatu
kesalahan dengan berbohong, meskipun intonasi suaranya meyakinkan dan ekspresi
wajahnya tetap tenang, biasanya detak jantung tidak akan bohong, dia pasti akan berdetak lebih cepat bila
dibandingkan dengan kondisi normal. Dari dua contoh tersebut, kita bisa niténi bahwa tubuh fisik kita tidak
pernah berbohong, dia selalu jujur apa adanya. Dari niténi kejujuran
tubuh ini bisa jadi ilmu yang bernama kinesiology yang bisa dimanfaatkan untuk
pemeriksaan kesehatan physical, emosional, mental & spiritual. Itu di antaranya.
Saya teringat dawuhnya Sayyidina Ali, yang
kemudian menjadi titik masuk untuk niténi
awake dewe. Sayyidina Ali pernah dawuh bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.
Mohon maaf saya bukan Ustadz, bukan pula Gus
apalagi Kyai. Tidak juga paham Qur’an dan
Hadits. Saya hanya orang awam yang mencoba untuk
mencari koordinat ilmunya dalam diri saya sendiri, mencari benang biru dan titik temunya dalam diri
saya sendiri, agar bisa memahami dan merasakan secara langsung. Kok bukan
benang merah ? Ya terserah saya tho.. kan yang menulis
saya bukan Panjenengan he… he… he… mau benang hitam, benang hijau ya terserah
saya.
Belum selesai.