Kalau parikan
Suroboyo yang berbunyi : Tanjung
Perak mas kapale kobong, monggo pinarak mas kamare kosong … tentu sudah
sangat akrab di telinga orang Surabaya, baik yang sebagai pengamat maupun yang
menjadi member di daerah
remang-remang kelas bawah Surabaya hahahahaha…..
Namun bukan itu yang saya maksud dalam judul
tulisan ini.
Begini kisahnya, singkat cerita,tadi
pagi setengah siang, ada seorang sedulur di daerah yang memakan waktu sekitar
enam sampai tujuh jam perjalanan darat dari tempat kediaman saya, menyempatkan
bersilaturahmi melalui media telpon. [Dengan seijin si Mas, ceritanya sedikit saya
share mungkin bisa menjadi manfaat bagi yang lain.]
Intinya, si Mas ini punya putra kecil yang
saat ini berusia enam bulan. Nah sejak beberapa bulan lalu setelah si
kecil ini lahir, si Mas ini mendapatkan isyarat atau pun petunjuk dari seseorang
yang telah dikenalnya, seorang Ustadz yang memiliki ilmu hikmah, tentang
keberadaan makhluk yang tak kasat mata yang ada di kediamannya sudah sejak lama
yang sifatnya merugikan, mengganggu dan bahkan berniat jahat terutama terhadap
putra kecilnya dengan menyerap aura positif putranya. Pak
Ustadz tadi bisa dan bersedia membantu dengan sebuah ritual pemindahan, tetapi
diperlukan ubo rampe yang salah
satunya adalah minyak. Meskipun si Mas tidak mau
menceritakan berapa nominal untuk minyak itu, tetapi saya paham sekali bahwa
kalau yang semacam itu pasti nominalnya cukup tinggi untuk mengganti minyak
tersebut, berat dan memberatkan. Tadi malam, pesan itu
disampaikan lagi dan inilah yang membuat si Mas ini menjadi gelisah.
Meski tidak secara langsung, si Mas ini
termasuk tamu juga yang harus mendapatkan penyambutan, penghormatan dan jamuan
sesuai keperluannya. Bismillah.
Hal
pertama yang saya tanyakan kepada si Mas ini adalah apakah si Mas ini
mempercayai saya. Ini penting, bukan karena saya minta
dipercayai, tidak. Namun saat seseorang memerlukan
jawaban atas pertanyaan yang disampaikan, kepercayaan adalah hal yang
mutlak. Sebab saat kepercayaan itu tidak ada, maka si penanya akan
membentuk sebuah “tembok” secara mental, sehingga apa pun jawaban atau solusi
yang diberikan akan terpental, tidak dapat diterima dan mentah.
Hal kedua, setelah
ada kepercayaan itu, saya harus menyampaikan bahwa saya tidak dalam kapasitas
membenarkan atau pun menyalahkah pandangan pak Ustadz tersebut, namun yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa apa pun atau siapa pun baik di darat maupun
di langit tidak akan bisa mendatangkan/menyebabkan kemudharatan kalau Gusti
Allah tidak menghendaki. PENTING !!! Yakinnya
sama Gusti Allah. Sebab saat ada berita seperti yang
diterima si Mas tersebut dan hal itu membuat perasaannya menjadi was-was, cemas,
takut dan bimbang, maka saat itulah kalau benar gangguan itu ada akan mudah masuk. Ibarat ada tamu yang mengetuk pintu, maka
tamu itu tidak akan bisa masuk selama tidak dibukakan
pintu. Namun saat ada perasaan was-was, cemas, takut, ragu dan bimbang, maka hal
itu ibarat membukakan pintu dan memperilahkan si tamu masuk. “Monggo pinarak“, demikian kira-kira kalau diucapkan secara
lisan.
Semisal pada kenyataannya tidak ada gangguan pun yang disebabkan
oleh makhluk tidak kasat mata, tetap saja apa yang dikatakan oleh pak Ustadz itu
bisa saja menimbulkan gangguan, sebab perkataannya bisa menjadi sugesti yang
diterima sebagai sebuah kebenaran. Maka nantinya gangguan itu tidak ditimbulkan
oleh makhluk tak kasat mata itu sendiri, namun timbulnya dari diri kita sendiri
yang dicekam perasaan yang was-was, cemas, takut dan bimbang. Wis, pokoknya bismillah, yakin sama Gusti Allah. Insya Allah
beres.
Hal ketiga, saya
menanyakan apakah putera si Mas situ sudah diaqiqohi apa belum. Alhamdulillah katanya sudah, berarti
insya Allah aman, sebab sepengetahuan saya seorang anak itu jiwanya tergadai
sampai ditunaikan aqiqoh untuknya. Maka begitu aqiqoh
ditunaikan, berarti jiwanya telah ditebus oleh orang tuanya. Salah satu
hikmahnya adalah bahwa insya Allah tidak mungkin tubuhnya dimasuki oleh makhluk
lain yang pada tingkat yang ekstrem sampai menyatu dan
menguasai raganya.
Hal keempat, saya
harus melakukan urusannya manusia, yaitu doa yang
beriring dengan ikhtiar. Masalah doanya diijabah atau tidak,
itu urusannya Gusti Allah jadi tidak usah dihiraukan. Masalah ikhtiarnya berhasil atau tidak, itu juga urusannya Gusti
Allah jadi tidak usah pula dihiraukan. Yang penting,
urusannya manusia itu adalah berdoa dan berikhtiar dengan kesungguhan
terbaik. Teknisnya seperti apa, rasanya tidak
perlu saya uraikan karena keterbatasan kata untuk mengungkapkannya. He… he…
he…
Jadi, kira-kira intinya adalah :
Biasakan untuk éling
kepada Gusti Allah saat ini [bukan saat
lalu atau pun saat nanti], perkuat keyakinan pada Gusti Allah agar
kesadaran kita tidak mudah dihanyutkan oleh apa pun atau siapa pun, jaga
perasaan jangan sampai was-was, ragu, cemas, takut dan bimbang, serta melakukan
yang menjadi urusannya manusia dan tidak mencampuri urusannya Gusti Allah, yaitu
dengan melakukan doa dan ikhtiar dengan kesungguhan terbaik yang dapat kita
lakukan.