Salah satu pamrih yang diperbolehkan dalam ibadah, penghambaan dan pengabdian kita kepada Allah adalah pamrih untuk bertemu dengan Tuhan kita.
(Q.S. Al Kahfi [18] : 110) Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Sebagaimana ayat tersebut di atas, siapa pun yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka ia dituntut untuk mengerjakan amal sholih. Amal sholih itu sendiri, sebagaimana trersebar dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an akan mendapat balasan dari Allah di antaranya : kehidupan yang baik, pahala yang lebih baik dari amal sholih yang telah dikerjakan, surga yang penuh kenikmatan yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, ampunan, petunjuk, rezeki yang mulia dan rahmat.
Satu hal yang harus kita ingat adalah bahwa kita tidak boleh fokus pada balasan melainkan harus fokus pada apa yang dituntut dari diri kita karena itulah hak Tuhan kita dan harus didahulukan. Masalah balasan/fadilah/manfaat tanpa kita harapkan, tanpa kita hitung dan tanpa kita tunggu pasti datang dan pasti diberikan kepada kita. Ibarat orang bekerja, setelah diberitahukan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakannya dengan sejumlah gaji yang diterima di akhir bulan, bukankah tidak perlu setiap harinya ia menghitung-hitung gaji yang akan diterimanya karena ya pasti sejumlah yang telah diberitahukan kepadanya, tidak perlu juga mengingat-ingat gaji yang diterimanya apalagi mengharap pada akhir bulan ia akan menerima gaji, karena hal itu pasti. Asal pekerjaannya sudah dilaksanakan sesuai tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, maka sudah tentu gaji yang dijanjikan di akhir bulan akan diterimanya.
“Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin oleh Allah dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti rabunnya mata batinmu.” (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)
Jadi semestinya apapun aktivitas keseharian kita entah itu bekerja, belajar, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara atau apa pun juga kita niatkan saja untuk beramal sholih lillahi ta’ala. Kenapa lillahi ta’ala ? Ya karena yang menuntut amal sholih itu Allah, berarti beramal sholihnya juga untuk Allah. Begitu bukan ? Jawabnya : bukan......
Beramal sholih itu sendiri menurut pemahaman saya yang faqir ini adalah berbuat kebaikan. Jadi misalnya beramal sholih dengan bekerja ya berarti bekerjanya harus dengan baik tidak merugikan siapa pun dan apa pun, begitu juga dengan aktivitas lainya pun harus dikerjakan dengan baik, sebaik yang kita mampu.
Tetapi selama ini mungkin rasanya sulit untuk menjaga niat untuk beramal sholih apalagi bila dalam aktivitas keseharian itu kita menemui banyak permasalahan dan tantangan yang menghadang. Saya sendiri pun selama ini juga seperti itu kalau saja tidak sering-sering menengok hati dan menyetelnya lagi biar sesuai rel yang semestinya agar tidak su’ul adzab pada gusti Allah. Setelah diamat-amati, mungkin penyebabnya adalah belum adanya kerelaan hati. Kerelaan hati yang bagaimana ? Coba kita telusuri sejak awal bahwa beramal sholih itu merupakan perintah Allah untuk diri kita, berarti beramal sholih itu untuk Allah, jadi arahnya vertikal dari bawah ke atas, sehingga sikap hati kita harus ikhlas. Biasanya sudah kita lakukan, beramal sholih ya... beramal sholih saja, tidak berpikir yang macam-macam, ikhlas gitu loch. Yang terlewatkan adalah kita belum berela hati untuk beramal sholih. Lho kok ? Iya, beramal sholih dalam aktivitas keseharian itu berarti kita masuk ke dalam siniasi [soalnya di sini, kalau di situ ya situasi] dan kondisi di mana kita beraktivitas yang tentunya dengan segala problema yang ada, yang hakikinya bahwa itu semua pun dari Allah, jadi arahnya juga vertikal tetapi dari atas ke bawah, sehingga kita harus meresponnya dengan kerelaan hati alias ridho. Tentang ikhlas dan ridho bisa diklik disini.
Jadi kata kuncinya adalah : ikhlas dalam beramal sholih dan merelakan diri kita ini untuk beramal sholih. Bingung ya ? Wis embuh, pokoké kita harus merelakan diri kita berbuat baik dalam kata lain kalau diri kita ini mau berbuat baik relakanlah, jangan dihalang-halangi dan jangan disabotase Relakanlah dirimu untuk berbuat baik !
Kalau kita sudah bisa menyetel hati kita dengan merelakan diri kita sendiri untuk berbuat baik, insya Allah apa pun yang kita kerjakan hasilnya akan baik, sukses dan barakah. Lha bagaimana jika kondisi yang ada tidak mendukung, apa juga bisa sukses ? Ya justru itu makna sukses yang sesungguhnya, jika kondisi yang ada sama sekali tidak mendukung dan pada akhirnya kita bisa mengatasinya dengan baik, bukankah itu sukses. Sebaliknya kalau kondisi yang ada oke-oke saja tidak ada masalah bahkan mendukung, maka keberhasilan yang diraih adalah wajar bukan sukses itu ! Misalnya, ada seseorang yang terlahir dari keluarga yang berada bahkan berlebih secara materi, sekolah setinggi apa pun biaya tidak menjadi masalah, mendirikan usaha modal pun siap, koneksi pemasaran tinggal klik [walau pun sebenarnya hal ini bukanlah suatu sebab]. Lha kalau yang seperti itu berhasil, ya wajar kan ? Apakah itu yang disebut sukses ?
Kembali lagi ke kerelaan diri, sederhana saja, misalnya sejak berangkat dari rumah ke tempat kerja kita niatkan beramal sholih. Bekerja ya bekerja saja sebaik yang bisa kerjakan. Saat siang ada tugas luar yang kebetulan cuaca sedang mendung, sudah naik motor lha kok waktu perjalanan hujan deras, banjir lagi plus macet, maka biasanya secara tidak sadar kita akan nggerundel atau mengeluh. Nah kalau sudah begitu mestinya hati segera disetel lagi ke niat semula yaitu beramal sholih : “Iya ya, situasi ini kan dari Allah juga berarti harus rela dong ! Aku kan sedang melaksanakan tugas dan melaksanakan tugas kan harus sebaik mungkin tidak peduli apa pun tantangannya, berarti aku juga harus merelakan diriku untuk mengemban tugas ini. Senyum aja lage..... !!!” [Yang ini memang harus dibarengi senyum yang tulus dari hati, agar suasana hati juga berubah] Nah kalau sudah seperti itu insya Allah kita malah akan merasa gembira, bersyukur malah. Semakin berat tantangannya, insya Allah kita akan semakin bahagia, semakin senang dan bersyukur tidak peduli bagaimana pun hasil akhirnya, yang penting sudah berusaha sebaik mungkin. Kalau tidak percaya silahkan dicoba ! Hanya saja perlu diingat dan selalu dilihat lagi bahwa kalau kita merasa senang dan bahagia jangan sampai karena kita merasa bisa mengatasi situasi dan kondisi yang melingkupi kita, tetapi harus dikembalikan lagi bahwa hal itu bisa terjadi tidak lepas dari pertolongan Allah karena tanpa hidayah-Nya mustahil kita bisa. Kalau kita bisa mengatasi hal itu, maka bergembiralah [masalah bergembira ini, bisa diklik di sini] karena itu tanda-tanda gusti Allah sedang menolong kita. "Laa haula walaa quwwata illaa illaahil'aliyyil'adzhim" (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).
Misalnya lagi, berumah tangga juga merupakan amal sholih, maka berumahtanggalah yang baik. Mungkin suatu saat ketika kita pulang kerja karena hal yang spele istri jadi marah, ya sudah... senyum aja lage... kan harus berbuat baik juga sama istri, wajar kan kalau istri saat itu lebih cepat tersulut emosinya karena capek. Pekerjaan mengurus rumah kan memang tidak kelihatn tapi ada terus 24 jam, belum lagi menjaga anak-anak yang tingkahnya luar biasa, wow... capek banget itu. Segeralah berbuat baik pada istri dengan tersenyum, segera membantu pekerjaannya yang belum terselesaikan atau memberesi pekerjaan lain yang belum sempat dikerjakan. Gitu aja kok repot....
Wis, pokoknya kita harus berlatih terus untuk ikhlas dalam beramal sholih berbuat kebaikan dan merelakan diri kita sendiri untuk melakukan amal sholih itu. Semoga bermanfaat.