Bagiku, rasanya ajang pemilihan kepala daerah baik itu tingkat kota/kabupaten, tingkat propinsi atau pun nanti tingkat nasional, merupakan suatu hal yang kurang ada artinya, karena sampai saat ini sebagimana yang sudah-sudah aku termasuk orang yang sangat-sangat meragukan misi yang diemban para calon kepala daerah itu sehingga mereka memutuskan untuk maju ke ajang pemilihan. Coba, apa sih misi mereka ? Untuk rakyat ? Kalau memang ada misi untuk rakyat, berapa persen ? 100% ? PREKETEK [oops... bunyi apa itu ?]
Meski pun memang ada kepala daerah yang benar-benar mempunyai misi memakmurkan masyarakat di aderah yang dipimpinnya serta mempunyai visi yang jauh ke depan, tetapi itu cuma berapa persen saja bila dibandingkan dengan jumlah seluruh kepala daerah di semua tingkatan dalam lingkup Indonesia raya ini. Wong tahun-tahun kemarin aja ada seseorang yang Indonesia ini sudah demikian kecil bagi dirinya sehingga Beliau tidak perlu Indonesia, tetapi tetap bersedia mendarmabaktikan dirinya untuk Indonesia, menahkodai kapal induk Indonesia raya dengan lurus agar selamat sampai di tujuan dan tidak karam di tengah perjalanan. Itu pun dijegal, dikerjain, dirusak dan dibocorkan sendiri oleh anak buah kapal yang kepentingan-kepentingan besarnya terusik. Entahlah, apakah hal itu kemarin merupakan suatu pertanda awal bahwa Indonesia raya ini memasuki masa kegelapan total sehingga untuk keluar menuju cahaya Ilahi perlu suatu adzab yang dahsyat melibihi dahsyatnya tsunami Aceh kemarin [bisa jadi itu merupakan awal adzab (pembuka) sebelum adzab puncak (penutup) dalam masa kegelapan total untuk selanjutnya keluar menuju cahaya] ?
Tidak usah analisa pakar [apa-apa dibuat sukar, ;D], nalarku sebagai orang awam saja apalagi pikiranku yang sudah dipenuhi prasangka buruk ini mengatakan bahwa modal awal yang harus dipunyai para calon adalah dana. Seorang calon tentu tidak bisa bekerja sendiri, harus punya tim sukses. Tim sukses inilah yang sejak awal menyusun strategi kemenangan yang di antaranya meliputi : menyusun misi serta visi kepemimpinan termasuk program kerja bila terpilih nantinya, mengkomunikasikan hal tersebut secara efektif kepada masyarakat melalui berbagai cara dan media, menyusun program pencitraan diri agar populer di masyarakat, melakukan PeDeKaTe alias pendekatan ke seluruh lapisan atau golongan masyarakat terutama pada tokoh-tokoh yang mempunyai basis masa besar dan seterusnya dan setrusnya. Nah, tim sukses ini tidak mungkin bisa berjalan kalau tidak ada dukungan dana untuk operasional mereka. Dari mana dana ini ? Okelah kalau dana ini murni dari kantong para calon itu sendiri, apalagi mereka yang memang pengusaha, tetapi untuk mereka yang sebelumnya menjabat ? Kalau toh ada sponsor yang mendukung, apakah iya tidak ada tendensi apa-apa sehingga para sponsor itu bersedia memberikan dukungan dana tanpa meminta imbal balik apa pun setelah si calon ini menang nantinya ? Selain dana juga perlu masa, ya... paling tidak, bisa memenuhi lapangan bola sewaktu kampanye. Yang tidak kalah penting, yang harus dimiliki oleh seorang calon adalah dukungan dari partai politik karena untuk saat ini calon independen sepertinya masih kurang kondusif untuk mencalonkan, bisa jadi karena aturan yang dibuat untuk calon independen memang dikondisikan sangat berat. Nah kalau partai politik ikut memberikan dukungan, tentunya tidak gratis bukan ? Di balik itu pasti ada imbal balik bila terpilih nanti. Satu hal yang pasti yang tidak bisa dibantah menurutku, orang berebut kekuasan adalah untuk menguasai aset ekonomi, memperoleh dana taktis bagi dirinya sendiri, sponsornya, kroninya, partainya dan nya-nya yang lain.
Kejadian pilgub putaran kedua kemarin tanggal 4 Nopember 2008, ternyata prosentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka lebih dari 40%. Sekali lagi tidak usah analisa pakar, nalarku menilai hal itu dikarenakan masyarakat tidak menganggap penting momen pilgub, sehingga mengabaikannya. Mengapa tidak menganggap penting dan cenderung apatis ? Ya... mungkin karena siapa pun yang terpilih tidak mempunyai signifikansi yang kuat dalam kehidupan sosial-ekonomi-kemasyarakatan mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut. Bisa jadi hal tersebut juga menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat yang terus merosot terhadap pemerintah. Saya sendiri termasuk orang yang tidak percaya kepada pemerintah dan hampir tidak menggunakan hak pilih saya sejak pilgub putaran pertama, tetapi sebagai warga negara yang baik [uhui...] walau pun pemerintahnya kurang baik, saya merasa terpanggil untuk ikut memilih calon yang sedikit lebih baik di antara semua pilihan yang kurang baik.
Ini rahasia lho ! Jangan cerita siapa-siapa ! Pada putaran pertama saya memilih salah satu pasangan [soalnya kalau memilih salah dua pasangan atau bahkan lebih, kertas suaranya tidak sah] yang memiliki sedikit ikatan emosional dengan diri saya, yaitu pertama pasangan ini didukung oleh tokoh yang sangat saya hormati dan yang kedua salah satu pasangan ini merupakan murid dari guru silat saya dulu yang membackup secara batin sekaligus sebagai tim sukses di masa akhir kampanye kemarin.
Ini juga rahasia ! Jangan juga cerita ke siapa-siapa ! Pada putaran kedua kemarin saya memilih juga salah satu pasangan [soalnya tinggal dua pasang calon] yang partai pendukungnya terlihat tidak brangasan dan bukan nyata-nyata preman atau mafia terorganisir.
Flash Back, dulu pada awal penjaringan calon, banyak terpampang poster-poster besar dari para tokoh yang mencoba menjaring masa baik yang melalui jalur paratai politik maupun melalui jalur independen. Ada sebuah rumah yang menjadi posko dari satu calon independen yang duluh petinggi jatim juga. Seiring berjalannya waktu rupanya calon independen ini tidak laku atau tidak bisa terus maju dengan berbagai alasan. Poster besar bergambar foto si calon itu pun diturunkan. Beberapa hari kemudian di posko itu dibentangkan spanduk besar yang tulisannya kalau tidak salah : TANPA CALON INDEPENDEN DEMOKRASI MATI. Itu sih sakit hati atas nama kematian demokrasi menurutku. Setelah spanduk itu pun turun baru ketahuan siapa di balik posko itu, yaitu suatu ormas yang kemudian juga mendirikan partai untuk berebut kue politik. Menurutku sih itu organisasi preman, salah satu contoh nyatanya, tidak ikut bekerja kok ikut minta fee-nya dengan alasan sudah ikut membantu bahwa dia tidak mengganggu pekerjaan itu sudah membantu menurutnya, maksa deh. Rupanya pintar juga membaca ke mana arah angin berhembus yang kemudian dia berada di belakang salah satu pasangan calon yang akhirnya lolos ke putaran kedua. Kemana pasangan calon ini kampanye, Beliaunya ini ikut mendampingi, anak buahnya mengawal. Mau jadi apa kalau pasangan calon yang ini menang ? Bisa-bisa Beliaunya ini nembak jadi walikota Surabaya.
Tapi kelihatannnya hasil suara untuk kedua pasangan ini hanya selisih tipis dan kalau hal itu yang terjadi, bisa-bisa berakhir dengan sengketa karena hampir dapat dipastikan yang kalah sedikit ini pasti menuduh ada kecurangan di pihak yang menang sedikit. Yo êmbuh wis sakkarêp-karêpé kono.
Tetapi bagaimanapun juga saya berharap hasil pilgub putaran kedua ini fifty-fifty benar-benar sama suaranya, biar ada pilgub putaran ketiga, kan libur lagi.... hoa...ha...ha....... Hush karêpmu déwé !!!
Ini cuman sepenggal keperihatinana saya pribadi, tanpa bermaksud apapun.
ReplyDeleteInsya Allah "pengelihatan" Den Mas Bagus ini memang benar. Kalau saya sendiri cukup tahu cerita di balik orang yang selalu terpampang besar di belakang salah satu calon yang sekarang masuk dalam tahapan PILGUB II ini. Di belakangnya memang preman-preman. Dunia kerjanya yaitu dunia yang kebetulan saya jalani juga yaitu kontraktor. Tidak terbayangkan bagaimana misalnya salah satu calon tersebut jadi Gubernur kemudian salah satu mesin kendalinya adalah preman-preman.
Wallahu A'lam.
Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kemaslakhatan wilayah Jawa Timur.
Wassalam.
Salman
Gempol, Pasuruan.