Setiap anak memiliki kekhasan masing-masing, fisik, karakter, pola pikir, kematangan dan kedewasaan, keinginan serta problematika yang berbeda-beda yang kesemuanya itu mutlak memerlukan kasih sayang dan cinta yang tanpa putus dari orang tuanya.
Satu anak satu problematika tersendiri, dua anak dua kali lipat, tiga anak apalagi. Kerja keras, banting tulang, kepala jadi kaki – kaki jadi kepala kadang sampai berdarah-darah begitu gaya bahasanya dalam menggambarkan ikhtiar orang tua mencari nafkah demi anak-anaknya, tapi rasanya harus diubah penggambaran yang seperti itu. Tambah anak berarti tambah rejeki. Bukankah setiap anak punya rejekinya masing-masing yang sudah ditetapkan gusti Allah yang ketika masih kecil masih dalam tanggung jawab kita sebagai orangtuanya sebagian rejeki itu juga didistribusikan juga melalui kita orang tuanya. Berarti kalau tambah satu anak lagi, kita sebagai orang tua juga dititipi rejeki tambahan yang harus didistribusikan untuk anak kita yang satunya lagi. Tambah anak berarti tambah rejeki juga kan ? Insya Allah begitu, asal kita yakin saja.
Yang buat sport jantung itu kalau anak kita sakit, duh rasanya. Kasihan gitu, kalau bisa sih sakitnya buat kita aja. Apalagi kalau si anak ini masih bayi belum bisa ngomong sakitnya apa atau di mana, cuma nagis aja, melas. Ekstra perhatian dan tentunya ekstra biaya juga untuk dokter dan obatnya. Ini kalau satu anak, kalau misalnya anak tiga bareng-bareng sakit, wah tambah sip itu, soalnya sakitnya biasanya kan nular terus mbulet engga karuan. Itu masih sakit yang biasa paling radang, batuk, pilek, diare, pokoknya yang temporer, karena ada juga orang tua yang diberi anugerah dengan diuji anaknya diberikan kekhususan sehingga memerlukan perhatian super ekstra, perjuangan tak kenal lelah dalam mengupayakan kesembuhan atau minimal kemajuan bagi kondisi anaknya yang khusus itu. Banyak cerita tentang itu di sekitar kita, misalnya kelainan jantung bawaan, autis, gangguan perkembangan motorik, hemofilia dan sebagainya.
Bertambah usia anak, bertambah pula problematikanya dan itu berlangsung terus menerus hingga si anak menapak usia dewasa. Selama itu pula orang tua terus mengawal anak-anaknya. Bahkan ketika anak-anak ini telah berumah tangga dan punya anak, tak jarang orang tua juga ikut terus mikir, ya anaknya ya cucunya, meski tak jarang pula sang anak tidak menghendaki yang seperti itu, tetapi namanya orang tua beban anaknya kalau dia tahu ya pasti akan menjadi bebanya juga.
Coba saja kita renungkan, bila kita mempunyai saudara, pasti macam-macam kan modelnya, ada yang gini ada yang gitu, itu pun belum termasuk diri kita sendiri dan itu semua menjadi beban tanggung jawab orang tua kita. Berat ya ? Terkadang kalau kita berbeda pendapat dengan orang tua, sebenarnya menurut orang tua kita itulah yang terbaik buat kita ya tentu saja berdasarkan keyakinan, pola pikir dan kebiasaan orang tua kita, jadi... harap maklum lah, jangan berkonfrontasi dengan orang tua, karena bagaimanapun posisi kita tidak akan menang melawan orang tua. Ridhonya Allah bergantung pada ridhonya orang tua kita terhadap diri kita, apalagi Ibu kita, tiada banding tiada tanding.
[Q.S. 31:14] : “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”