Dulu, seingatku tanggal 2 Januari 2005 aku sowan ke pondok PETA Tulungagung untuk yang keempat kalinya. Bersama dua orang teman dari Surabaya, berangkat jam sebelas malam naik bis jurusan Surabaya-Trenggalek. Sebagaimana sebelumnya, saat itu sesampainya di Tulungagung, kami bertiga juga belum berani langsung masuk ke pondok, masih dini hari sekali dan sebagaimana biasanya pula kamu langsung menuju ke Masjid Jamik di sebelah Barat alun-alun Tulungagung untuk sekeedar menumpang beristirahat.
Biasanya, setelah subuh kami masih berleha-leha menunggu waktu agak siang sedikit, tapi entah kenapa, saat itu aku “ngoprak-oprak” kawanku untuk segera mandi dan bersiap masuk pondok. Aku bilang ke meraka, “Ayo ndang nang pondok, wis ditimbali Yaine kae lho.”
Ternyata benar juga ajakanku ke teman-temanku, karena begitu masuk dan melewati gerbang pondok, aku lihat ada sosok seseorang yang sudah berumur sedang duduk-duduk di teras depan dan saat itu dalam hatiku menduga bahwa beliaulah sosok Syaikh Abdul Jalil Mustaqim, maka dengan yakinnya aku lansung berslaman dengan beliau dan mencium tangannya. Kami pun disuruh ke belakang.
Sebagaimana biasa pula kami diterima oleh Kang Wasi’ dan tak lama setelah kami duduk di aula belakang musholla, hidangan sarapan pagi langsung disuguhkan kepada kami bertiga, tak ayal langsung ludes tak bersisa.
Setelah sarapan, kami pun ngobrol ngetan ngulon [kalau orang lain ngobrolnya kan ngalor ngidul]. Kebetulan [apa bisa diganti dengan istilah : kebenaran ?] hari itu ada juga beberapa tamu, kebanyakan kyai-kyai muda dan beberapa jamaah calon haji yang bermaksud mohon doa restu Yai.
Sowanku hari itu rasanya rejeki besar buatku, karena di awal waktu bisa bertemu, bersalaman dan mencium tangan Beliau untuk pertama kalinya. Saat tamu-tamu tersebut dipanggil menghadap Beliau, Kang Wasi’ menginformasikan bahwa kami pun dipanggil menghadap juga, Alhamdulillah.
Di hadapan Beliau, beraniku cuma menundukkan kepala saja, sambil mendengarkan dawuh-dawuh Beliau menanggapi berbagai keperluan tetamu yang lain. Dawuh Beliau secara umum yang masih kuingat sampai saat ini adalah ketika Beliau menceritakan tentang kondisi jantungnya yang sudah tidak normal, ketika berdetak, ada saat beberapa detik jantung Beliau terasa behenti, baru kemudian berdetak lagi.
Hal lain merupakan kisah Beliau tentang ibadah haji, bahwa kalau Beliau melakukan ibadah haji, sering diam-diam saja, sebab kalau banyak yang tahu, pasti yang mengantarkan sangat banyak sekali. Kisah lain juga disampaikan bahwa saat rangkaian ibadah haji sudah Beliau selesaikan semua, Beliau bermimpi ditemui oleh khadamnya Rasulullah dan ditanya apakah Beliau akan menunggu Rasulullah [dipanggil] ataukah akan pulang. Maka Beliau pun lebih memilih pulang tanpa menunggu Rasulullah, alasan Beliau adalah bahwa kalau memilih menunggu maka bisa jadi menunggunya lama karena tidak ada kepastian kapan akan ditemui Rasulullah dan itu berarti bisa jadi tidak akan pulang-pulang, maka pilihan untuk pulanglah yang diambil.
Tak dinyana tak diduga, itulah pertemuan pertamaku sekaligus yang terakhir dengan Syaikh Abdul Jalil Mustaqim, sebab lima hari kemudian, tanggal 7 Januari 2005, Beliau telah dipanggil menghadap Allah kembali. Al Fatihah……
subhanallah
ReplyDelete