Dulu, sekitar tahun delapan puluhan, sekolah yang menjadi pilihan para orang tua adalah sekoleah negeri. Sekolah swasta meskipun kualitasnya juga tidak kalah bagus, namun yang bagus itu hanya satu dua saja, tak lebih dari hitungan jari, selebihnya masih dianggap sebagai buangan dari mereka yang tidak bisa diterima di sekolah negeri karena nilainya tidak mencukupi. Bahkan sekolah swasta tertentu dikenal bahwa muridnya nakal-nakal dan nuwunsewu kurang cakap dalam menempuh jenjang pendidikannya. Itu dulu.
Teringat juga saat masih sekolah dasar, guru-guruku rasanya begitu tulus dalam mengajar dan mendidikku serta murid-murid yang lain. Walaupun zakelijk, namun sakleknya itu tulus, bukan karena gurunya stress banyak masalah meskipun gaji guru saat itu tidak seberapa, namun itu semata-mata demi perkembangan dan tertanamkuatmya pekerti luhur dalam diri siswa-siswanya. Mereka tidak sekedar mengajar namun juga sekaligus mendidik kami para muridnya sebagaimana mereka mendidik putra-putrinya di rumah. Sebab itu ada ikatan emosional yang kuat yang sampai sekarang pun masih terjalin walau terpisah oleh jarak.
Itu dulu.
Saat ini sekolah swasta sangat banyak bermunculan, bukan hanya sekolah swasta umum namun yang memakai label Islam pun [kebanyakan memakai nama AL - …] tidak kalah kualitasnya dibanding sekolah negeri, fasilitas pendidkkannya lebih lengkap dan sangat memadai bahkan dari segi metode pembelajarannya bahkan mungkin lebih baik tidak konvensional seperti selama ini bertahun-tahun diterapkan di sekolah negeri. Namun tentu saja semua itu ada biaya yang harus dibayar, semakin lengkap fasilitas pendidikan dan metoda pembelajarannya, harga yang harus dibayar pun akan semakin mahal. Di luar biaya pendaftaran, sumbangan pendidikan dan lain-lain, bila SPP sebulannya di kisaran dua ratus lima puluh ribu rupiah ke atas, maka tidak mungkin mereka yang berpenghasilan sesuai kisaran UMR bisa menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta macam itu.
Saat ini pula sekolah negeri dibebaskan dari SPP dengan dianggarkannya dana BOS yang mudah-mudahan dana tersebut benar-benar dapat meluncur turun secara keseluruhan tanpa adanya potongan apa pun di perjalanannya hingga sampai di sekolah. Buku-buku juga dipinjami dari sekolah dengan adanya Buku Sekolah Elektronik yang hak ciptanya sudah dibeli oleh pemerintah, sehingga harganya relatif murah kalau misalnya mau membeli sendiri hanya di kisaran sepuluh ribuan. Gedung-gedung sekolah juga sudah banyak yang diperbaiki atau bahkan dibangun lagi agar mencukupi untuk menampung siswa yang lebih banyak, meskipun dari media massa masih banyak tersiar tentang memprihatinkannya kondisi gedung-gedung pendidikan yang tersebar di pelosok negeri ini. Bahkan ada juga berita tentang gedung yang baru selesai dibangun dengan dana BOS itu, meski belum diresmikan tapi sudah runtuh terlebih dahulu. Itulah realitanya.
Batasan jam belajar karena kelas yang harus bergantian dengan satu orang guru dan empat puluh siswa di dalam kelas, bisa dibayangkan kerepotannya, apalagi bila daya tangkap masing-masing siswa berlainan, ditambah lagi gaya belajar tiap-tiap siswa juga berbeda-beda, ada yang visual, auditori ataupun kinestetik, bisa diastikan tidak akan ada pembedaan, yang penting target materi tersampaikan, kalau pun ada yang lambat itu menjadi resiko pribadi.
Soal lain. Ada beberapa buku paket yang tidak disediakan oleh sekolah yang masing-masing siswa harus membeli sendiri, juga LKS. Masih harus melengkapi seragam pramuka, batik dan olah raga. Kelengkapan sekolah yang lain seperti ikat pinggang, kaos kaki, badge, dasi dan topi serta seragam olah raga serta batik dengan nama sekolah masing-masing disediakan pihak sekolah meskipun harganya relatif lebih mahal tapi menurut saya masih dalam batas kewajaran dan tidak menjadi masalah yang berarti, masa semua minta gratis. Namun, ternyata hal itu tetaplah menjadi masalah besar bagi mereka yang dalam hidupnya kurang beruntung, dengan sarana penghidupan yang sekedarnya saja dan tentu saja dengan penghasilan yang tidak bisa dipastikan adanya dan apalagi besaran nilainya. Ada yang seperti itu, mungkin banyak bahkan di seluruh penjuru negeri. Berjuang untuk bisa makan sehari tiga kali walau pun hanya dengan nasi berlauk garam saja susah, bagaimana bisa memikirkan pendidikan anak-anak mereka. HAL itu terjadi.
-----------
Sebelas hari yang lalu, sebelum nGopi AREN, meluncurlah kisah pilu itu dari anak pertamaku.
Minggu depannya tepatnya hari Selasa akan dimulai Ujian Tengah Semester dan teman satu kelasnya, seorang anak perempuan dengan inisial SR sampai dengan detik itu belum memiliki sama sekali LKS, juga buku paket yang tidak dipinjami dari sekolah. Buku tulis untuk catatan pun tidak dibedakan tiap pelajaran, banyak yang digabung jadi satu.
Baju seragam yang dipakainya, rasanya tidak pernah kelihatan kalau pernah diseterika, kumal dan pudar warnanya. Dia berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda menempuh jarak yang cukup untuk memaksa keringat di setiap pori-pori tubuhnyanya untuk keluar dan cukup pula untuk mengeringkan tenggorokannya di bawah panas yang terik. Itu pun dia tak pernah membawa bekal minum, apalagi makan. Di saat anak lain berlarian ke sana ke mari dan jajan di kantin ssat istirahat, si SR ini hanya diam saja, duduk sendiri di dalam kelas tak ada yang menemani, yang jelas dia tidak dibekali uang jajan sama sekali. Sebab itu pula dia mungkin merasa rendah diri di hadapan teman-temannya, suatu hal yang semestinya tidak boleh terjadi. Saat pelajaran olah raga pun, si SR ini tidak pernah ikut hanya diam di kelas sebab dia tidak memiliki seragam oleh raga. Rupanya si SR ini juga sering tidak masuk sekolah, seakan masuk sekolah seenaknya sendiri walau pun mungkin memang keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Duh Gusti, rasanya hati ini seperti teriris, di kota besar macam Surabaya, realita itu ada. Kok mêlas tênan to Wuk nasibmu…. Seandainya, SD saja terpaksa putus, terus mau seperti apa nantinya dia … ?
Yang tak habis pikir, kalau sekarang si SR ini kelas tiga, berarti bukankah kemarin dia sudah melaui masa dua tahun di sekolah itu. Apakah pihak sekolah tidak peka akan keadaan itu, atau memang tidak mau tahu dan menutup mata akan kondisi siswa-siswanya yang mungkin saja tidak hanya seorang ? Meskipun SPP gratis namun kalau kondisi ekonomi benar-benar memprihatinkan seperti itu, maka bersekolah masih merupakan sesuatu yang mewah untuk mereka. Bukankah tidak cukup hanya dengan label - anak malas yang sering tidak masuk sekolah - mestinya harus ada pendekatan secara personal terhadap anak-anak yang demikian itu dan sekaligus keluarganya. Kenapa mereka-mereka itu sepertinya tidak tersentuh oleh Pemerintah yang semestinya bertanggung jawab penuh atas kehidupan masyarakatnya. Pemerintah kota juga Dinas Pendidikan dalam wilayah kecamatan atau kelurahan semestinya tanggap akan hal-hal semacam itu, tidak hanya duduk manis di dalam kantor mereka. Mereka butuh uluran tangan, mereka butuh pendampingan bukan hanya orasi tentang kemerdekaan ataupun slogan-slogan pendidikan saja. Ah… betapa berat ya tanggung jawab mereka yang menyatakan diri sebagai pemangku negeri ini, hingga untuk meraihnya pun mereka harus berdarah-darah.
Mendengar kisah itu, ingin rasanya segera bisa memberi apa yang mungkin bisa aku berikan dalam kapasitas kemampuanku, tapi ya sabar dulu tetap tenang, karena meski maksudnya baik namun kalau dikerjakan secara terburu-buru hasilnya akan tidak baik.
Malam itu juga yang mungkin untuk sedikit menguatkannya dalam menempuh pendidikan, adalah mencarikan LKS yang setiap harinya dikerjakan di sekolah. Dari tiga toko buku di daerah itu yang memnag spesialis menyediakan buku paket dan LKS sekolah negeri kok ndilalah sudah habis semua sebab saat awal tahuan ajaran baru Juli kemarin dalam jangka waktu satu bulan, semua buku dan LKS yang tidak terjual ditarik oleh penerbitnya. Ya sudah, tidak boleh jadi masalah, difotocopy saja dua dulu yang menjadi mata pelajaran untuk besok harinya. Yang lain-lain menyusul bertahap, juga buku paketnya.
Selesai foto copy langsung kami antar ke tempat dia tinggal. Wualahh kok malah sedih aku sebab pada titik itulah aku mengetahui lebih detil tentang kesehariannya.
Ayahnya sudah telihat senja usia, entah memang benar-benar demikian atau beban kehidupannyalah yang menyebabkan terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Sehari-hari berjualan minuman di pinggir sungai kecil, minuman macam air mineral dan juga minuman instan beraroma dengan sedikit jajanan apa adanya. Ibunya terlihat lebih muda usianya, entah dia bekerja apa. Adiknya seorang anak lelaki usia TK yang tiap hari harus diajak main olehnya mungkin saat kedua orang tuanya harus bekerja. Mungkin itu pula yang menyebabkan dia terpaksa sering tidak masuk, di samping harus membantu menjaga sang adik juga harus menjaga jualannya.
Mereka tinggal di sebuah rumah kosong di daerah itu. Dagangannya setiap pagi selalu di gelar di depan rumah itu. Sebuah meja sekaligus rak kecil untuk menjajakan dagangannya. Namun saat ini rumah kosong yang mereka tinggali selama ini sudah mulai dibangun, dibagi menjadi dua, dibangun rumah baru yang bagus yang mungkin akan dijual lagi oleh pemiliknya. Maka mereka saat ini menggelar dagangannya di seberang rumah itu, di tepi sungai kecil.
Malam itu aku mencari dia di pinggir sungai itu, namun tidak ada orang, saat kutanyakan pada orang-orang yang mangkal di terminal bemo dekat situ, mereka mengatakan bahwa tadi sore ibunya dan SR ikut bemonya pergi mencari kos-kosan. Wuih…. Langsung terbayang lagi bertambahnya beban mereka, yang semula mereka menempati sebuah rumah kosong yang tak terawatt sama sekali walau pun dengan kondisi yang apa danya namun mereka tidak mengeluarkan biaya untuk itu. Kalau sekarang terpaksa harus pindah dari situ untuk ngekos bukankah harus bertmbah biaya yang harus dipenuhi untuk tempat tinggalnya, terus kalau jaraknya semakin jauh dari situ, bagaimana pula kelanjutan sekolah si SR ? Saat ini mereka tidur di mana, sedang pakaian mereka pun selalu dalam buntalan-buntalan tas tanpa ada lemari untuk menyimpannya. Sedang di siang hari pun, merebahkan badan hanya beralas terpal tanpa kasur di tanah tepi sungai. Sedang menjelang maghrib pun sudah mulai gelap tanpa lampu yang menyala.
Ah…. bisaku hanya sekedar melengkapi sedikit keperluan sekolahnya, hanya sekedar memberinya sebuah tempat minum baru untuk bekalnya ke sekolah dan menyuruh anakku memesrainya dengan mengajaknya bermain bersama, berbincang dan sekali waktu kalau memang ada mengajaknya jajan untuk sekedar mengganjal perutnya agar tidak berontak untuk diisi. Namun selebihnya ?
[Sebuah NIKMAT menjadi orang BIASA meski hanya untuk mencukupkan kebutuhan hari ini saja harus pontang-panting. SEBAB dengan sedikit saja diLEBIHkan dari BIASA, bisa jadi malah JAUH dari SELAMAT karena berkemungkinan untuk CURANG, CULAS, SOMBONG, ANIAYA, SEMENA-MENA, LICIK dan BENGIS [dst, dsb, dll].]
Di luar sana masih banyak yang seperti itu, bahkan yang lebih parah lagi juga ada. Walau pun sampai saat ini masih terpikir terus dan memantau perkembangan kehadiran SR di sekolah melalui anak pertamaku, namun mau bagaimana lagi. Ya sudahlah…. berusaha berdamai dengan diri sendiri [Sejenak menarik nafas dalam-dalam tuk luruhkan gumpalan rasa dalam dada. Sejenak senyumi hati ini tuk mengugah energi cinta, agar lebih jernih memandang semesta.], ora mélu nduwé, dan setiap orang pasti akan menempuh takdirnya masing-masing, bukankah Gusti Allah ora saré ?
semoga dimudahkan segala urusannya ya Allah. Amin...
ReplyDeleteMatur nuwun doanya, semoga demikian juga dengan Panjenengan dimudahkan Gusti Allah di segala urusan. Aamiin.
ReplyDelete