Yang sering kita kisahkan, baik kisah gembira yang sering kita ceritakan dengan muatan kebanggaan atau pun juga kisah sedih yang sering kita ceritakan dengan muatan penyesalan, sejatinya menunjukkan seberapa kuat kepemilikan kita terhadap obyek yang kita ceritakan tersebut.
Mungkin yang sering diceritakan adalah anak, bisa jadi yang sering diceritakan adalah kepemimpinannya saat dulu memegang suatu jabatan, atau bisa juga tentang perkembangan usahanya, pendidikannya, ilmunya, muridnya, isterinya, calon suaminya, ibadahnya, pemahamannya atau apa pun juga yang ada dalam hidup ini.
-----------
Gusti Allah telah menginformasikan bahwa tidaklah kita dibiarkan saja menyatakan beriman tanpa diuji [Q.S. 29 : 2-3]. Para Guru Mulia pun mengatakan bahwa yang benar-benar menjadi hambanya Gusti Allah itu hanya sedikit, sebab yang benar-benar menuju padaNya juga sedikit. Para Guru Mulia mengatakan bahwa Gusti Allah itu Maha Pencemburu, mereka yang berniat menuju padaNya harus terlepas [baik secara suka rela maupun terpaksa] dari segala sesuatu selain DIA. Itu yang berat. Semakin mendekat kepada DIA, semakin berat cobaan yang harus dilalui, sebab selain DIA adalah hijab bagi dirinya, karena itu satu persatu hijab itu akan dilepas darinya hingga nanti dia akan mendapati DIA.
Coba saja tengok kisah para Nabi dan Rasul yang perjuangan dan cobaannya begitu berat, pun demikian dengan para WaliNya. Yang tak usah jauh-jauh, para tokoh-tokoh sepuh dalam bimbingan Guru Mulia juga demikian adanya. Pasti diuji, kemelekatannya, rasa kepemilikannya terhadap apapun selain DIA akan dilepas satu persatu tentu dengan caraNya yang tidak kita ketahui seperti apa, hingga titik NOL, tidak mempunyai apa-apa dan tidak mempunyai siapa-siapa agar tak ada yang membebani, tak ada keterikatan apa pun saat atas akhir kehidupan nanti tiba, menghadap DIA tanpa disertai dengan yang selain DIA. Saya mendengar sendiri kisah-kisah seperti itu dari para pelaku langsung yang dalam bimbingan Guru Mulia. He… he… serem juga, kira-kira SIAPkah daku ??? Kalau boleh memilih, mbok ya iman saya ini diangkat dan ditingkatkan terus tapi cobaannya kalau bisa jangan berat-berat, begitu.
Pahit memang saat apa yang kita anggap adalah milik kita dilepaskan dari diri kita. Tingkat kepahitan itu akan berbanding lurus dengan tingkat kepemilikan kita terhadap sesuatu itu. Semakin merasa memiliki maka akan semakin pahit juga rasanya, akan semakin frontal dan mengguncang.
Kalau doa saya sih, semoga diberi keluarga yang sakinah, keberlimpahan rejeki – kebebasan finansial, kemakmuran dan kesejahteraan, juga kesehatan dan keselamatan, namun hati ini dijauhkan oleh Gusti Allah dari rasa memiliki, agar tak harus diuji dengan dilepaskannya semua itu dari diri ini. He… he… semaunya sendiri ya ? Halah tapi Panjenengan juga ingin seperti itu to ?
Mungkin hal itulah yang menyebabkan sering dalam menjalani kehidupan sekan-akan terjadi kontradiksi, seperti misalnya mohon diberi kesehatan tetapi kenyataannya malah diberi sakit. Kalau dipikir-pikir mungkin dengan sakit itu kita dididik untuk melepaskan keterikatan dengan sehat itu sendiri, sebab sakit dan sehat selalu bergantian sesuai dengan kehendakNya. Atau contoh lain, saat kita berusaha mendawamkan sholat Dhuha, malah seakan-akan rejeki itu sedang dijauhkan dari diri kita, sebab mungkin terlepasnya diri ini untuk berhasrat ikut mengatur rejeki yang kita kehendaki sesuai persepsi kita itulah yang merupakan rejeki agung dariNya. Wejangan dari para Guru Mulia pula yang melarang kita ikut mengatur apa yang sudah diatur olehNpasti ya. Berat, memang berat. Ya sudahlah dilaksanakan sebisanya saja sesuai kapasitas kita masing-masing, sebab jalan saya pasti berbeda dengan jalan Panjenengan, namun jalan setiap orang pasti bisa menjadi cerminan bagi jalan kita sendiri, bisa menjadi nasihat bagi diri kita sendiri. Insya Allah.
SEMOGA kita semua DImampuKAN untuk MEMILIKI apa pun dan memiliki siapa pun tetapi TANPA RASA MEMILIKI. Aamiin.