Baru saja naik kereta dari Yogyakarta menuju ke
Surabaya . Sama
seperti saat berangkat – lebaran – kemarin, seakan diingatkan kembali tentang
pikiran kita.
Apa hubungannya ? Ya tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi
sebagaimana biasa selalu saya hubung-hubungkan, siapa tahu jodoh walau agak
terpaksa, daripada tidak ?
-----------
Dari jendela kereta saya bisa melihat keadaan
di luar. Ada
deretan perumahan, hamparan sawah, lekukan sungai dan pegunungan yang statis.
Selain itu terlihat juga lalu lalang kendaraan, hilir mudiknya orang dan
pergerakan berbagao macam hewan yang dinamis. Dari dalam kereta, semuanya
terlihat sangat cepat, selalu berganti dalam hitungan detik. Seperti itulah
pikiran kita, selalu bergerak, liar tak terkendali, obyeknya selalu
berganti-ganti, sebentar ingat sini sesaat kemudian ingat sana . Begitu seterusnya.
Jarang yang bisa mengendalikan.
Ketaksadaran diri dalam segala hal yang kita
lakukan, termasuk juga tak tergenggamnya pengendalian diri yang baik dalam arti
gampang diombang-ambingkan oleh perasaan kita sendiri, salah satu penyebabnya
adalah karena pikiran yang liar tak terkendali.
Semestinya dan seharusnya, posisi kita terhadap
pikiran kita sendiri adalah seperti penumpang kereta dan pemandangan yang ada di
luar kereta. Dalam kata lain, kita jangan sampai terlibat oleh lintasan gerak
pikiran kita. Kita harus hanya sekedar menyaksikannya saja, sehingga dalam
memandang segala sesuatu terutama memandang diri kita sendiri, tetap dapat kita
lakukan secara jernih, obyektif dan tidak memihak.
Lalu
apakah memang pikiran bisa dikendalikan ? Bisa. Mudahkah ? Sulit. Lalu
bagaimana caranya ? Embuh… he… he….
he… lha wong saya sendiri juga belum
berhasil menjinakkan keliaran pikiran saya.
Agar dunia tak masuk terlalu jauh di dalam
hati, maka hati harus disibukkan dengan berdzikir. Demikian juga dengan pikiran,
agar tak terlalu liar lintasan geraknya, pikiran pun harus diberi satu kesibukan
tersendiri agar nantinya kita bisa sekedar menyaksikannya tanpa terlibat di
dalamnya. Apa kesibukan yang bisa diberikan kepada pikiran ? Salah satu yang
sederhana adalah memperhatikan nafas kita sendiri, perhatikan masuknya nafas
dari hidung kita dan perhatikan pula keluarnya nafas dari hidung
kita.
Sambil beraktivitas apa pun, hatinya dilatih
berdzikir dan pikirannya dilatih memperhatikan keluar masuknya nafas. Monggo kalau mau mencoba silahkan dan
rasakan sendiri perbedaannya.
Lebih jauh dari itu, memperhatikan nafas
berarti mengingat kehidupan, sebab nafas bagi manusia merupakan salah satu
sumber kehidupannya. Mengingat hidup berarti mengingat yang memberi hidup, jadi
klop dengan hatinya yang dilatih berdzikir.
Bernafas berarti memasukkan unsur atau anasir
udara ke dalam tubuh kita, maka jadikanlah juga diri kita sebagaimana karakter
udara. Unsur udara, dalam wujudnya sangat berbeda bila dibandingkan dengan
anasir air, tanah dan api. Sebab ketiga anasir tersebut terlihat wujudnya, namun
udara tidaklah demikian. Ia bisa dirasakan keberadaannya namun tidak bisa
dilihat wujudnya.
Sebab itu karakter udara adalah menampung,
menerima, membopong dan melingkupi semua tanpa kecuali. Semua yang ada di atas
bumi maupun di dalam bumi jika ada ruang di dalamnya akan ditampung dalam udara
tanpa kecuali, seperti fitrah seorang ibu yang selalu siap menampung anak-anaknya. Udara pun selalu menerima tanpa
syarat saat diberi ruang yang seperti apapun semisal kubus, bola ata apa pun
baik luas maupun sempit, rela. Udara juga selalu siap untuk membopong segala
sesuati yang ada di atasnya. Dia tak pernah melukai sipa pun. Ilmu pedang yang
paling tinggi sekalipun tak akan sanggup untuk megoyak dan melukai udara. Setiap
tebasannya berakhir sia-sia, setiap hunjamannya tak berarti apa-apa. Udara itu
selalu welas asih, dia melingkupi apa
pun yang ada di dalamnya, tak ada jarak dan tak ada jeda
waktu.
Liarnya pikiran, nafas dan udara, sekedar
pembuka saja untuk menyelami hikmahnya dalam rangka mengenal diri kita sendiri
dan merasakan Tuhan di balik itu semua. SEMOGA.