Betapa pun besarnya suatu Negara, ada masalah pokok yang harus ada ketersediaannya bagi penduduk negara itu yaitu bahan makanan. Andai dalam sekian tahun ke depan menurut perhitungan, pertumbuhan penduduk yang terjadi tidak diimbangi oleh ketersediaan bahan makanan pokok, maka ada kemungkinan suatu Negara akan melakukan ekspansi ke Negara lainnya dengan berbagai cara, mulai dari yang halus sampai yang terang-terangan.
Negeri ini sejak dahulu selain dikenal sebagai negari maritim juga dikenal sebagai negeri agraris dengan hasil utama beras. Tradisi agraris inilah yang sedikit banyak secara pshikologis juga berpengaruh terhadap kultur masyarakat kita dalam usahanya mencari sarana penghidupan. Masyarakat agraris terbiasa tandur / menanam dulu dan setelah sekian waktu baru panen / menuai, tanpa disadari masyarakat kita pun seperti itu namun dalam bentuk yang lain, yaitu mereka selalu berbondong- bondong mencari sarana penghidupan yang pada akhir masa kerjanya bisa menuai alias ada dana pensiunnya. Namun sayangnya tidak keseluruhan kultur masyarakat agraris yang ditiru. Tak usah diperpanjanglah, Anda pasti tahu yang saya maksudkan, cermati saja APBN negeri ini dialokasikan, berapa prosentase yang dialokasikan untuk kaum mereka bila dibandingkan untuk rakyat kecil. Berbagai subsidi pun dikurangi dengan berbagai alasan, namun di balik itu ditambahkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka yang bergelar abdi Negara dengan alasan agar mentalitas mereka lebih baik tidak neka-neko, namun kenyataannya ? He… he… yang membiayai rakyat !!! Maka benarlah slogan yang sejak dulu dicanangkan : dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Preetttttt [ops, bunyi apa itu ?] RAKYAT yang mana ? Berapa prosentasenya ? He… he… tak apalah, yang gak bener itu bukan oknum kok, tenang saja, yang OKNUM itu kan yang baik-baik.
Kembali lagi ke masalah kultur agraris, mestinya kita bisa banyak belajar dari masyarakat dengan kultur agrariis, tentu saja nilai-nilai kebaikannya, di antaranya :
1. Masyarakat agraris tidak hanya mengambil yang sudah disediakan oleh alam, seperti memetik buah dari pohon yang sejak semula sudah tumbuh dengan sendirinya, namun mereka mengolah, mengkholifahi alam dan dirinya sendiri yang menjadi sebab diperolehnya hasil dari apa yang mereka usahakan.
2. Masyarakat agraris tidak pernah egois dengan membatasi pengelolaannya hanya pada sebuat pot kecil untuk dirinya sendiri saja, namun mereka mempersembahkan juga atau melayani bagi kepentingan masyarakat luas.
3. Masyarakat agraris selalu setia pada proses yang harus dilalui. Tak hendak mereka bersegera mengambil hasilnya sebelum masanya tiba. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik, agar pantas untuk menuai hasil yang baik pula.
4. Masyarakat agraris itu sederhana dalam keinginan, mengambil seperlunya saja, sepantasnya saja, tak hendak mereka mengeksploitasi alam, lahan garapan mereka dengan semena-mena. Mereka berprinsip bahwa bumi yang mereka tinggali ini bukan milik mereka namun untuk anak cucu mereka, sebabitulah mereka sangat santun terhadap alam. Mereka memahami karakter alam, mereka mengerti tanda-tanda alam dan mereka menyatu dengan alamnya.
Kultur agraris itu menghasilkan suatu bentuk kesenian yang khas pula, halus, lemah lembut gemulai dengan tempo yang lambat, coba saja perhatikan baik itu suara, musik mapun geraknya. Dalam hal seni bela dirinya pun mempunyai cirri khas. Masyarakat agraris di daerah pergunungan, dalam seni bela diri mempunyai keunggulan dalam kuda-kuda yang kokoh, lompatan-lompatan yang ringan dan panjang serta fokus kekuatan pada serangan kaki. Hal ini berbeda dengan seni bela diri dari masyarakat pesisir yang lebih memfokuskan kekuatan pada serangan tangan dengan pola pertahanan dengan melakukan pergesaran kaki saja bukan dengan lompatan-lompatan panjang.
---------
Di negeri ini, penyangga ketahanan pangan nasional adalah DESA. Lahan-lahan pertanian tidaklah mungkin berada di kota. Semua bahan pangan orang kota, dipasok dari desa.
Namun saat ini, desa tak lagi ramai oleh para pemudanya. Kebanyakan, selepas bangku sekolah, mereka tidak tertarik lagi untuk mengabdikan diri dengan profesi mulia sebagai seorang petani, mereka lebih tertarik untuk mencari sarana penghidupan di kota besar dan kota-kota industri.
Lahan-lahan pertanian yang luas membentang hijau saat ini lebih banyak dikerjakan oleh mereka-mereka yang terus beranjak tua. Mereka bekerja keras dengan tenaga yang terus susut, itu pun dalam mata rantai perdagangan yang panjang, mereka menikmati hasil yang paling sedikit, sekedarnya saja. Apalagi bila ditambah oleh tidak adanya keberpihakan dari para pengelola negara ini, tidak adanya rasa welas asih dari para pemodal negeri ini. Di saat-saat mereka membutuhkan bibit terutama pupuk, tiba-tiba saja pupuk menghilang dari pasaran, pupuk langka. Harga hasil olahan mereka pun, mereka tidak bisa ikut menetukan. Belum lagi kalau mengalami kegagalan panen oleh berbagai sebab.
Lalau pada saatnya mereka benar-benar renta tak bertenaga, siapa yang akan meneruskan kerja mulia mereka ?
Pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa, menciptakan kebutuhan baru akan tempat tinggal. Kebutuhan akan tempat tinggal ini pun segera disergap oleh para pemilik modal dengan medirikan perumahan tidak hanya di perkotaan, namun telah merambah di berbagai sudut perdesaan. Lahan hijau pertanian telah banyak beralih fungsi menjadi lahan tembok perumahan. Keuntungan terus mengalir, tetapi BERASku, BERASmu dan BERAS kita semua ?
Pemuda-pemudi desa lari ke kota, bekerja di sana, di tempat rantau tanpa sanak saudara. Saat waktunya menikah, menikahlah mereka rekan sekerja atau merka yang senasib yang hidup di rantau. Dengan hasil yang apa adanya, menuntut mereka berdua untuk tetap bekerja. Saat punya anak dan anak mulai tumbuh balita, tak bisa tidak, anak-anak mereka, merka titipkan pada orang-orang yang menerima untuk mengemong anaknya dengan upah tertentu. Tentu saja sekedarnya saja, asal kalau lapar ada yang menyuapi makanan, kalau waktunya mandi ada yang memandikan, kalau rewel ada yang membelikan jajanan, itu saja. Tanpa bekal agama, tak ada yang mengajarkan nilai-nilai akhlaq dan anak-anak mereka pun tumbuh kembang dengan menyerap prilaku yang ada di tempat dia dititipkan, entah itu baik atau buruk. Sepulang kerja pun orang tua mereka telah lelah, dengan sisa tenaga mencoba menemani mereka, ala kadarnya. Terus mau jadi apa ? Saat lebaran, mereka pulang ke kampung halaman masing-masing, dengan anak-anak mereka. Memprihatinkan, banyak anak yang tidak mengenal tata krama alias sopan santun, kearifan budaya lokal sudah sirna dari diri mereka. Itulah kondisi yang ada.
Di antaranya itu. Itulah kondisi desaku, desamu dan desa kita semua di negeri ini.