Bulan mulia Ramadhan baru saja berlalu dan
setiap akan berlalu jengah juga hati ini tiap kali di mana-mana, di televisi, di
spanduk jalanan yang selalu ada pesan sponsornya baik produk barang/jasa atau
pun politisi partai atau pun di media cetak selalu menghamburkan kata-kata hari
kemenangan untuk padanan kata hari raya idul fitri.
Malu rasanya, bahakan terhadapa idul fitri itu
sendiri, karena tak sedikitpun saya benar-benar merasakan telah kembali ke
fitrah saya, fitrah seorang hambanya Gusti Allah yang tidak ada lain dalam
hidupnya kecuali Allah saja.
Begitu juga dengan hari kemenangan, menang
terhadap apa atau menang terhadap siapa, serta seberapa jauh kemenangan itu bisa
bertahan dalam diri ini ?
Ah…. rasanya masih jauh dari itu semua, umpama
dengan puasa saya yang tak kunjung naik kelas hanya di kisaran play group saja, Gusti Allah tak sampai
mengacuhkan diriku saja sudah alhamdulillah, puji syukur yang sangat luar biasa.
Kalau ridho-Nya sih bagiku ketinggian, malu.
Setiap menjelang puasa, rasanya begitu banyak
keinginan muncul untuk benar-benar memanfaatkan untuk ibadah, yang inilah yang
itulah, namun kenyataannya itu hanya hasrat nafsuku yang masih mempunyai banyak
kepentingan di balik berbagai keinginan itu. Masih sebatas keinginan, belum
NIAT. Jadinya ya begitu itu, kadang semangat, kadang nglokro alias
malas-malasan.
Sebab itulah bulan Ramadhan kemarin kuawali
dengan menyederhanakan keinginan, menata NIAT untuk menjalani ibadah Ramadhan
dengan apa adanya sesuai kemampuanku. Itu pun sampai tujuh hari pertama masih
merasa tersiksa dengan puasa yang kulakukan, PARAH, setelah menginjak hari
kedelapan barulah enjoy.
Puasa merupakan ibadah yang disyariatkan Gusti
Allah yang mempunyai porsi riyadhoh atau tirakat paling besar yang merupakan
metode dari Gusti Allah untuk membentuk manusia yang taqwa. He… he… he…
jangankan itu, jadi manusia taqwa – manusia yang berkeSADARan, lha wong selama puasa untuk mengatasi
lemasnya badan, sedikit pusing dan nggliyeng yang bawaannya ingin tidur
saja masih susah. Puasa yang diributkan dan dipersiapkan menu buka puasanya
sekaligus saurnya [baru berhenti makan setelah
kenyang], masih aspek lahirnya, lha batinnya ?
Kira-kira kalau aspek lahirnya bisa teratasi,
apakah aspek batin bisa lebih mendapat perhatian ya ? Jadi malu pada para
leluhur yang keberadaannya dulu menjadi sebab keberadaanku saat ini, mereka
rata-rata ahli tirakat. Belum lagi kalau membaca kisah para sufi agung dalam
menjalankan puasanya, sebutir kurma dan seteguk air [realita, bukan dalam arti kiasan] pun telah sangat
mencukupi untuk mendukung aspek lahir dalam tirakatnya yang berupa amaliyah
puasa. Kok bisa ya ?
TERNYATA, ini kira-kira menurut saya lho, kuncinya ada pada kebarokahannya.
Berkah dari makanan dan minuman yang masuk mulut. Bukankah oleh Rasul Agung,
Kanjeng Nabi Muhammad kita diajarkan berdoa : “Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban
naar” [Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang
telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka].
Jadi walau pun sedikit tetapi ada kebarokahan dari Gusti Allah, maka insya Allah
pasti bisa dirasakan, rasanya mencukupi dan ada manfaatnya. Itu. Jadi kalau kita
kuat menjalankan tirakat, insya Allah itulah tanda adanya berkah dari Gusti
Allah.
SEMOGA apa pun yang dikaruniakan oleh Gusti Allah kepada kita, senantiasa disertai
BERKAH-NYA.