Menyadari kapasitas diri yang tak kunjung bisa
melepaskan akuKU, tak juga selalu mampu sabar dalam segala kesempatan dan tak
pula mencapai kerelaan di segala situasi, serta mengingat rasa PAHIT yang harus
kuterima saat yang kuanggap diriku, kukira milikku dan kurasa aku harus
ditanggalkan dari diriku, maka tak ada cara lain untk menyambutnya kecuali
berusaha menyadari sejak dini dan berlatih menta hati dan oikiran untuk sedikit
demi sedikit melepaskannya dengan berserah diri pada
Tuhan.
Jiwa yang lemah harus
dikuatkan, begitu juga denganku, dengan mantra sederhana kucoba membangkitkan
elastisitas dan daya tahan terhadap berbagai macam benturan. Jiwa yang keras
akan mudah dipecahkan, begitu juga jiwa yang lemah akan mudah dihancurkan. Maka
melenturkannya adalah yang terbaik, agar mampu menyerap energi dari sesuatu yang
membenturnya tanpa terluka sedikitpun.
Setelah mengamalkan satu
mantra sakti [he… he… he…]
sebagaimana pernah tak sengaja kuposting,
kali ini pun kuamalkan kembali salah satu matra sakti yang lain yaitu “ora
mélu
nduwé” yang artinya adalah “tidak ikut memiliki”. Rupanya mantra
yang satu ini manjur juga untuk mendamaikan bagian-bagian dari diriku sendiri
yang sering selalu bertentangan. Namun sebenarnya fungsi utamanya adalah untuk
memaksa kesadaran meminimalisir kemelekatan
terhadap siapa pun dan apa pun yang hadir dalam hidupku, termasuk diriku
sendiri.
[::: Apa pun - siapa pun tak ada
yang abadi dalam kehidupan kita. Datang dan pergi, hilang dan kembali, lahir dan
mati, beli dan jual, baik dan rusak, silih berganti tak pernah henti, akan dan
selalu seperti itu. Berbesar hati itu kata kuncinya, memiliki tanpa
memiliki.
:::]
Seperti apa aplikasinya
?
Kira-kira begini :
Sederhana saja, misalnya
sebagai orang tua pasti mempunyai kekhawatiran akan anak-anaknya saat tidak bisa
mengawasi secara langsung. Khawatir berarti belum bisa benar-benar berserah diri
pada Tuhan, maka untuk berdamai dengan diri sendiri, untuk bisa lebih mengarah
ke rasa pasrah atau keberserahan biasanya kuucapkan dalam hati saat mencium
anak-anakku ketika di pagi hari harus saling berpisah karena ada tugas dan
tanggung jawab yang harus dikerjakan masing.masing. Ora
mélu
nduwé, meski anakku,
namun sejatinya tidak ikut memiliki, sebab aku sebagai orang tua hanya kelewatan
saja, hanya sebagai perantara saja yang menjadi sebab kehadirannya di dunia.
Dijaga sendiri pun sedemikian ketatnya, kalau Gusti Allah sudah berkehendak maka
pasti ada saat lalainya dalam menjaga. Dididik seperti apa pun juga mulai kecil,
pasti ada kemungkinan anak memberontak pada orang tua saat telah dewasa,
mengikuti kemauannya sendiri, bagai layang-layang yang mengangkasa tapi kemudian
putus dari benang yang mengikatnya. Ora
mélu
nduwé, setiap anak akan
mengikuti orbit hidupnya masing-masing sebagaimana yang ditakdirkan Gusti Allah.
Wis, ayem pasrah, dititipkan kepada Gusti
Allah yang sejatinya memilikinya.
Usaha/toko/perusahaan
yang menjadi wadah menjemput sarana penghidupan lagi sepi order yang sangat
berpotensi menimbulkan kekhawatiran masalah rejeki, ucapkan saja ora
mélu
nduwé. Yang punya
rejeki itu Gusti Allah, masa sih
Gusti Allah itu menelantarkan diri kita yang sudah diberi amanah untuk menafkahi
keluarga ?
Punya
pimpinan/bos, teman atau tetangga yang “aneh” semaunya sendiri, seenaknya
sendiri, menggemaskan perasaan… ya sudahlah mau apa ? Diterima saja lha wong ora
mélu
nduwé, mereka berbuat
seperti itu itu kan hakikinya Gusti Allah juga yang menggerakkan. Tidak akan
mungkin diri kita ini bisa mengatur-atur orang lain sesuai keinginan kita
sendiri.
Punya saudara yang
selalu menyesakkan dada dan menguras air mata, ya sudahlah, ora
mélu
nduwé, Gusti Allah yang
menguasai hatinya, Gusti Allah yang memiliki dirinya dan Gusti Allah pula yang
hakikinya menggerakkan segala tingkah lakunya, relakan saja toh semua akan ada
akhirnya. Anggap saja sing waras
ngalah.
Punya suami /
istri yang kemudian berpaling sampai pada taraf tidak bisa diselamatkan lagi, ya
sudahlah … mau apa lagi, ora
mélu
nduwé, serahkan saja
kembali kepada yang memilikinya. Mengeluh, marah dan sebagainya tidak akan
menyelesaikan masalah, lakukan saja tahap-tahap penyelesaian masalah dengan
mengusahakan solusi yang terbaik, ambil keputusan dan relakan saja. Kambing yang
diikat di pohon saja bisa lepas kok, apalagi manusia yang punya banyak keinginan
tapi minim kesadaran.
Merasa bisa taat
dan kemudian berbangga diri apalagi berpuas diri, cepat-cepat istighfar, sebab
kita ora
mélu
nduwé ketaatan, sebab
ketaatan itu anugerahnya Gusti Allah, bisa jadi tak lama lagi akan diambil dan
diganti dengan kemaksiatan, na’udzibillah.
Pokoknya di segala
hal arahkan saja kesadaran dengan ucapan yang kuat dalam hati ora
mélu
nduwé – tidak ikut
memiliki, hanya sekedar dititipi, bersykur sebab telah dipercaya untuk dititipi
sehingga harus dijaga sebaik-baiknya, namun harus siap juga jika sewaktu-waktu
yang menitipkan akan mengambil titipannya, rela. Mudah memang kalau sekedar
berbicara, namun dalam prakteknya merupakan sesuatu yang sulit karena itu perlu
niat dan latihan. Jika tidak mulai sekarang, mau kapan lagi, sebab hidup ini penuh
kejutan.
[::: Sekali pun, kita tidak akan
pernah tahu apa yang akan terjadi di hadapan kita walau hanya berjarak satu
detik ke depan. Sekali pun, tidak akan pernah bisa kita merencanakan kapan akan
tersenyum, kapan akan tertawa, kapan akan menangis, kapan akan gembira, kapan
akan celaka, akan akan bahagia dan seterusnya. Maka bersiaplah, karena HIDUP INI
PENUH KEJUTAN. :::]
Kesadaran ora
mélu
nduwé disandingkan
dengan kesadaran Gusti
Allah ora saré, insya Allah dapat mendamaikan hati sebagai
sarana berlatih untuk sedikit demi sedikit meniadakan
diri.
NAMUN, meski saya paksakan, kesadaran
orba
mélu
nduwé tidak berhasil
meredakan rasa kepemilikan saya, seperti misalanya saat di jalanan melintas
mobil mewah [bahkan build-up] dengan plat nomor
militer, rasanya kok saya meskipun tidak ikut punya namun merasa ikut
memilikinya, he… he… he…
Hal lain lagi
misalnya kalau lihat anggota bhayangkari negeri ini, rasanya ikut memiliki, tapi
kok belum merasa aman ya dengan kehadiran mereka ? Apalgi kalau harus berhadapan
dengan garda keamanan negeri ini, wuih… lha mestinya mereka kan melindungi
rakyat, lha kok kalau mereka punya
permasalahan dengan warga sipil malah pendeketan kekerasan yang mereka lakukan ?
Maunya menang dan benar.
Kalau kebetulan
lewat di kantor petinggi pemerintahan di wilayah propinsi atau kota, sering
sekali ada acara jamuan [anggarannya
besar lho dalam setahun], meskipun tidak ikut makan kok ya saya ikut
memiliki seluruh jamuan yang dihidangkan tersebut ???
Dan semacamnya,
namun ada yang agak gawat saat tidak bisa menepis rasa ikut memiliki yang satu
ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kalau ingin cepat kaya, jadi politisi
saja, bagaimana caranya bisa jadi petinggi parpol atau menjadi anggota dewan.
Biasanya yang semula kehidupannya biasa-biasa saja pasti akan berubah menjadi
luar biasa, tetapi menag tidak semua, hanya OKNUM yang sepeti itu, he… he… he…
Nah ini masalahnya, setelah dia jadi politisi atau pun anggota dewan, lha kok
diam-diam punya istri muda, dibelikan rumah lengkap dengan segala perabotnya
termasuk kendaraannya. Diam-dian aku pun merasa memiliki dia…. hahahahahah ruepot urusannya.
Ya… maklumlah
rakyat kecil ya begini ini, hanya bisa merasa memiliki tapi tak pernah
merasakan, ya sudahlah… malah Alhamdulillah.
Yo wislah wong
pancen ora
mélu
nduwé – ya sudahlah
memang tidak ikut punya kok.