Ramadhan baru saja usai, semoga tahun depan kita semua masih dipertemukan dengan bulan yang mulia itu, sebab setiap menjelang ramadhan beberapa tahun ini selalu saja ada saudara, sanak keluarga dan teman yang sudah tak lagi bersama. Mendahului menghadap ke hadiratNya.
Sesungguhnya setiap yang terhampar di hadapan kita, itulah cermin tempar kita berkaca diri, menajamnkan rasa, apakah ada diri kita di pantulan cermin itu. Demikian juga dengan tahun-tahun terakhir Ramadhan ini yang menghamparkan sebuah fenomena yang terekam di ingatan saya sehingga tanpa sadar diam-diam saya merenung tentang sedikit makna puasa, yaitu puasa dimaknai sebagai menahan ataukah mengendalikan. Sebab titik awal pemaknaan itulah yang akan menentukan arah puasa kita dan tentu saja output dari
proses puasa yang kita jalankan.
Kalau puasa dimaknai sebagai proses menahan, maka menahan itu sendiri adalah kondisi yang tercipta sebelum melepaskan dan itu tentu saja berlangsung sesaat-sesaat, bergantian antara menahan dan melepaskan. Yang mengkhawatirkan adalah bila melepaskan itu sendiri bermakna melampiaskan alias balas dendam, maka saya kira sulit mengharapkan untuk mendapat peningkatan kemulian akhlaq, kematangan jiwa dan kejernihan spiritual dari proses puasa yang telah dijalani.
Bagaimana tidak, kalau selepas maghrib apa saja masuk mulut dan memenuhi perut
?
Bagaimana tidak, kalau selepas maghrib perangai tak kunjung lembut, malah beringas dan buas ?
Bagaimana tidak, kalau selepas maghrib mencaci dan menggunjing menjadi hiburan mengasyikkan ?
Bagaimana tidak, kalau selepas maghrib otak kembali menyusun strategi licik mengeruk duit ?
Bagaimana tidak, kalau selepas maghrib banyak kata terucap sia-sia hanya senda gurau belaka ?
Bagaimana tidak…
Hal tersebut saya kira berbeda dengan kalau puasa dimaknai sebagai proses mengendalikan. Mengendalikan
tidak ada batasan waktu, boleh makan apa saja
tetapi tetap terkendali dalam arti secukupnya saja, boleh bicara apa saja asal tetap terkendali dalam arti seperlunya saja, boleh marah tapi sekedarnya saja dalam arti tanpa amarah.
-----------------
Networking itu
sangat bagus dalam bisnis, meluaskan relasi dan menjalin silaturahim sekaligus menderaskan rejeki. Reuni itu pun semacam itu, merasakan kebersamaan kegembiraan masa lalu di masa kini. Berbuka puasa bersama alias bukber, mungkin salah satu ajang itu, di mall, resto atau pun café.
Shalat maghribnya entah mendapat prioritas ke berapa setelah prioritas mengeyangkan perut dan ngobrol ngalor ngidulnya.
Di luar pun, untuk resto yang di tepian jalan raya, antrian parkir mobilnya lebih banyak memacetkan lalu lintas, menghambat pemakai jalan lain yang juga bergegas pulang ke rumah untuk berbuka puasa bersama keluarga tercinta.
Di dalam pun, yang sedang berbuka sibuk ngotot memanggil pramu sajinya minta
tambahan ini itu, minta didahulukan seakan-akan sudah tiga hari tidak makan dan minum, tanpa pernah berpikir dan bertenggang rasa bahwa para pramu sajinya mungkin juga menjalankan puasa dan belum sempat berbuka. Tak juga pernah merenung bahwa di luar sana
masih banyak yang terpaksa berpuasa sepanjang tahun tanpa tahu kapan akan berbuka dan kapan akan berhari raya.
Begitulah.
SEMOGA nantinya kita semua dimampukan oleh Gusti Allah untuk mengendalikan diri kita masing-masing. Sebab hanya yang bisa mengendalikan yang di dalam dirilah, yang dimampukan mengendalikan banyak hal di luar dirinya untuk kemanfaatan, keselarasan dan keharmonisan alam semesta.
Kira-kira begitu.
suwun kang
ReplyDelete@AnonymousNggih, sami-sami...
ReplyDelete