Bagi seorang
muslim, mati itu pasti. Setelah mati, proses yang dilalui hanya menuju pada dua hal, kalau baik nantinya akan ke surga dan kalau tidak baik nantinya akan ke neraka.
Bagi yang berkeyakinan lain, dikenal adanya reinkarnasi yaitu kelahiran kembali, bahwa setelah mati kalau baik dan tuntas karmanya akan langsung menuju Nirvana, namun sebaliknya kalau tidak baik harus menebus karmanya dengan kelahiran kembali sampai tuntas nantinya. Setahu saya begitu. Mohon maaf kalau kurang tepat atau bahkan keliru.
Tak hendak
saya mempertentangkan, namun dari kedua hal itu saya malah menemukan kesamaannya, yaitu bahwa setelah proses kematian kalau disederhanakan hanya ada dua kemungkinan baik atau tidak baik, itu saja. Penentuannya adalah pada masa kehidupan, jadi titik perhatiannya adalah pada saat hidup. Saat hidup yang mana ? Tentunya saat hidup yang sekarang, bukan kemarin atau pun besok, bukan yang tadi atau pun nanti, tetapi saat ini. Karena itu, kita sering melihat di film, sinetron atau pun pada kehidupan nyata, seseorang yang mencubit dirinya sendiri untuk meyakinkan bahwa dia tidak sedang bermimpi dan bahwa dia sedang mengalami kejadian di saat ini.
Mungkin karena itulah, Kanjeng Sunan Bonang di kalimat terakhir pada syiir Lir-Ilir
mengingatkan : mumpung padhang rembulané dan mumpung jêmbar kalangané, yang mengisyaratkan
waktu yang sedang terjadi.
Hidup di saat ini, itulah hidup yang meditatif, hidup yang khusyu’, hidup yang sadar dan hidup yang hadir di saat ini. Maka, shalat memang bukanlah meditasi namun harus meditatif, dzikir juga bukan meditasi tetapi harusnya meditatif, pun begitu juga aktivitas keseharian yang lainnya. Vibrasi perasaan dan pikiran seharusnya hadir sesuai aktivitas yang sedang dilakukan, bukan malah hadir di tempat, saat dan hal yang lain. Kalau bisa seperti itu, insya Allah hidup akan bahagia, karena tak ada waktu untuk menyesali yang telah lalu dan tak ada waktu pula untuk mengkhawatirkan yang akan datang. Energi yang ada sepenuhnya untuk saat ini, di sini, dalam kondisi seperti ini dan penuh kerelaan. Selalu memproduksi kebaikan di segala hal, di semua tempat dan di setiap waktu yang sedang dijalani.
Maka hal seperti
makan pun bisa menjadi sesuatu yang penuh kebaikan saat kita makan dengan meditatif. Menikmati setiap suapan, merasakan setiap kunyahan dan menyadari setiap tertelannya makanan, mensyukuri nikmatnya Gusti Allah dengan sepenuh hati dan dengan rasa terima kasih mendalam kepada semua orang dan semua hal yang terkait pada mata rantai hingga makanan tersebut siap tersaji di hadapan kita.
----------------
Salah satu
pengejawantahan keSADARan
adalah mengijinkan DIRI
untuk selalu meRASAkan, meNIKMATi dan berSUNGGUH-SUNGGUH di setiap detil dari segala aktivitas keseharian dan itu biasanya akan melahirkan keRELAan, keberSERAHan, keBAHAGIAan dan tentu saja rasa SYUKUR yang dalam. Semoga DIsadarkaKAN.