Dalam setiap interaksi antar manusia baik sosial, ekonomi,
politik, budaya, agama atau apa pun juga tidak bisa
tidak, biasanya pasti terjadi perbedaan pandangan, pendapat, pemikiran,
strategi, target dan sebagainya. Itu semua memang merupakan
konsekuensi logis yang memang harus terjadi karena setiap diri manusia merupakan
suatu pribadi yang unik dan tidak mungkin diseragamkan. Semestinya berbagai perbedaan itu bukan masalah dan tidak boleh
menjadi masalah. Namun kenyataannya, perbedaan itu
sering menjadi masalah yang rumit.
Mengapa kenyataan itu sering terjadi ?
Menurut logika sederhana saya, penyebabnya hanya masalah
esensi dan eksistensi.
Esensi, merupakan kesejatian, intisari dari
tiap dan segala sesuatu dan inilah yang sering dilalaikan atau bahkan sering
diacuhkan dan ditiadakan oleh kebanyakan manusia.
Eksistensi, merupakan keberadaan yang
diada-adakan yang masih memerlukan pengakuan bahwa itu ada, bahwa itu hebat,
unggul dan berbagai makna superior lainnya. Eksistensi
inilah yang sangat sering ditampilan oleh manusia.
Manakala manusia tidak lagi “cerdas” untuk mau menemukan esensi
dari setiap permasalahan yang ada, namun malah “cerdik” untuk menampilkan
eksistensinya masing-masing, maka di situlah berbagai benturan akan terjadi,
sebab eksistensi yang satu akan merasa tersaingi, tersisihkan dan terancam oleh
eksistensi lainnya.
Sebaliknya, saat manusia “cerdas” dalam menemukan esensi dari
setiap permasalahan dengan meredam eksistensinya masing-masing, maka keselarasan
dan keharmonisanlah yang akan terjadi.
Silahkan Panjenengan cari sendiri contohnya yang banyak
terhampar di hadapan kita semua, mulai level keluarga sampai dengan level negara
bahkan dunia.
-----------------
Contoh sederhana.
Sebentar lagi ada peringatan hari kemerdekaan
Indonesiaraya dan biasanya ada acara yang disebut sebagai “malam
tirakatan”. Apa sih esensinya ?
Sederhana. Temukan esensinya dengan cerdas. Oohh.. esensinya adalah rasa “syukur”,
sudah, selesai, sederhana. Jika dalam lingkungan yang akan melaksanakan “malam tirakatan” itu menemukan esensi yang
sama maka permasalahannya akan menjadi sederhana, yang penting adalah bagaimana
meneguhkan rasa syukur itu kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu,
setiap orang pasti bisa meredam eksistensinya masing-masing. Bagaimana bentuk acaranya bukan hal yang utama, meski itu harus
direncanakan pelaksanaannya. Seperti apa sajian
makanan yang dihidangkan, itu juga bukan hal yang utama, meski itu juga harus
dipersiapkan. Segala macam hal berkaitan dengan itu pasti bisa
berjalan baik, karena setiap orang meredam eksistensinya masing-masing dengan
mengedepakan esensi acara itu yaitu meneguhkan rasa syukur kepada
Tuhan.
Sebaliknya …
Rumit. Kalau
kurang “cerdas” menemukan esensinya, karena dari acara “malam tirakatan” itu
ternyata masing-masing orang menemukan bahwa esensinya adalah “makan”.
Pasti rumit, sebab masing-masing eksistensi yang terlibat di dalamnya pasti
mengutamakan selera dan gaya makannya masing-masing.
Makanan apa yang hendak disajikan, bagaimana
mempersiapkannya, bagaimana pendanaannya dan bagaimana-bagaimana yang lain. Ruwet bin mbulet. Eksistensinya
ingin tampil agar diakui dan terlihat superior.
Jadi… Gitu aja kok repot ?!
-----------------
PemBURU EKSISTENSI pasti akan
keHILANGan ESENSI, tetapi TIDAK untuk yang sebaliknya.
Kira-kira begitu.
PemBURU EKSISTENSI pasti akan keHILANGan ESENSI, tetapi TIDAK untuk yang sebaliknya.
ReplyDeletePemburu penulis blog ini pasti juga akan "kehilangan" penulisnya, tetapi tidak untuk yang sebaliknya. ;)