by: mBah NUN [Muhammad Ainun
Nadjib]
Kebudayaan kita serba instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk surga
juga instan. Kalau bisa, langsung dapat uang banyak, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalu perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal punya duit
banyak.
Sedangkan kitab suci kita baca
terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah.
Wong tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu
menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan
memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman
nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan
kualitas hidup, lha kok menyanyikan
shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan
shalawat.
Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu
beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi,
sarkasme, sanepan, istidraj.
Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja. Tidak ada etos kerja .
Tidak ada ideologi dharma atau falya’mal
‘amalan shalihan. Yang mereka punyai hanya obsesi hasil, khayal kepemilikan
dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil
copetan atau korupsi.
Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi
yang semakin kempong giginya ataukah diam-diam engkau menumbuhkan
lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa
depannya.