Kéré, dalam bahasa
Indonesia sama artinya dengan idiom “orang yang tidak punya” alias fakir, dalam
arti sempit sering diidentikkan dengan fakir harta. Kalau ngéré, merupakan kata
kerja aktif dari kéré yang berarti dengan sengaja menjadi orang yang tidak
punya.
-----------------
Bermula dari
obrolan di pinggir jalan, terbayang di benak saya, andai saya memiliki seorang
pujaan hati yang dalam “pengakuan saya” sangat saya cintai, entah dalam
“kenyataannya”. Terpisah jarak, ruang dan waktu. Bagi Sang Pujaan, saya tiadalah
berarti apa-apa. Sesungguhnya memang demikian, sebab saya bisa dikatakan kéré
itu tadi dalam arti luas, ya harta, ya ilmu, ya akhlaq, ya amal dan
seterusnya.
“Cinta sejati
tidak perlu pengorbanan. Karena cinta adalah persembahan, titik. Jangan ngomong
cinta kalo masih merasa berkorban, jangan ngomong cinta kalo masih terbebani.
Sekali lagi, CINTA ADALAH PERSEMBAHAN, TIDAK ADA PENGORBANAN DALAM CINTA SEJATI.
Yang dianggap pengorbanan oleh kebanyakan orang, sesungguhnya adalah perjuangan
untuk bisa mempersembahkan.”
Sang Pujaan tak
memerlukan ilmu saya, sebab saya memang tak punya yang darinyalah nanti saya
akan mendapatkan. Sang Pujaan juga sama sekali tak memerlukan harta saya, itu
kalau pun saya punya harta, tapi Sang Pujaan meminta bukti cinta saya dengan
saya mengirim kepada Sang Pujaan sejumlah nominal sesuai kemantaban hati saya
secara periodik. Itu pun tidak boleh secara langsung, harus melalui lembaga
keuangan yang telah ditunjuk.
Andai lagi, saya
tak memiliki sebuah akun pun di sebuah lembaga keuangan, berarti saya harus
membuat sebuah akun, walau nantinya juga belum tentu terisi, sebab kondisi saya
memang pas-pasan. Itu seandainya.
Okelah kalau begitu.
Saya visualisasikan lagi, sebuah akun saya buat.
Jaman terus
bergulir, roda perekonomian terus berputar dan tak mungkin lepas dari adanya
lembaga keuangan baik bank maupun yang bukan bank. Membuat sebuah akun,
menjadikan saya berani menginjakkan kaki di sebuag gedung bagus, rapi, dingin
dan nyaman. Membuat saya sering salah tingkah karena sapaan dari mereka yang ada
di dalamnya yang bagi saya terlihat terlalu ramah dan berlebihan, sebab saya
merasa tak pantas diperlakukan seperti itu. Membuat saya juga berani menyakan
tentang hal-hal yang belum saya mengerti sebelumnya.
Sebuah mindset baru terbentuk, mindset sukses dengan parameter
kemampuan ekonomi, seiring dengan kesadaran untuk meyakini bahwa dengan memiliki
sebuah akun perbankan, saya nantinya juga diberi kemampuan untuk bisa mengisi
akun saya sebab saya sedang mengawali sebuah keberlimpahan dalam kemakmuran,
kesejahteraan dan kemanfaatan serta keberkahan.
Ooo… ternyata saya
juga harus mulai belajar akrab dengan teknologi yang juga terus menggelinding.
Transaksi perbankan bisa dilakukan hanya dengan sms bahkan lebih mudah bila
dilakukan dengan meggunakan fasilitas internet banking.
Kini saatnya
mencoba untuk merasakan persembahan cinta saya yang tak seberepa
nilainya.
Saya tekan
tombol-tombol di HP saya mencoba fasilitas sms banking, mudah, di manapun bisa,
tetapi rasanya nilai juangnya tak ada.
Saya mencoba
belajar menggunakan internet banking, meyenangkan ternyata, layaknya datang ke
kantor bank, sangat-sangat mudah, tetapi rasanya nilai juangnya juga tak
ada.
Rasanya lebih
mantab memanfaatkan fasilitas ATM, saya harus berjalan mencari lokasi ATM yang
terdekat, tinggal memasukkan kartu ATM, tekan sana tekan sini, selesai sudah.
Mudah, tetapi rasanya lebih mantab bila dibandingkan sekedar sms atau pun
internetan, tentu saja dalam skala perjuangan untuk persembahan
cinta.
Tapi rasa paling
mantab ya yang ini, harus sejenak meluangkan waktu mencari posisi bank yang
terdekat, menembus kemacetan lalu lintas kalau memang sedang padat, kemudian
langsung antri setelah sebelumnya mengisi formulir isian setoran. Detik demi
detik dilalui sampai akhirnya giliran pun tiba maju ke hadapan teller dan menyerahkan slip setoran, bismillah, seakan menghadap langsung
kepada Sang Pujaan.
Ooo… rupanya
rangkaian sejak awal dan kemudian terus berulang secara periodik ini bila
dilakukan dengan kesadaran merupakan salah satu latihan disiplin spiritual.
Sebuah bagian dari olah ruhani, sebagai sebuah pengejawantahan menyambungkan
rasa.
Sebuah lelaku,
sebuah tirakat, sebuah riyadhoh sesuai kekinian jaman ini.
-----------------
Teringat dua
dekade yang lalu, seorang Guru Mulia menguji, melatih dan mendidik muridnya
untuk menanggalkan keAKUannya sekaligus menancapkan TAUHID yang lurus bukan yang
miring dalam arti benar-benar yakin kepada jaminan Tuhan, dengan lelaku ngéré,
menyisir pesisir pantai yang
mengelilingi pulau Jawa, tanpa bekal apapun kecuali pakaian yang melekat di
badan. Itu pun ada yang harus mengulanginya lagi karena sudah “merasa bisa”
menjalani ngéré itu sendiri, sebuah perasaan yang sangat lembut, halus dan tak
terlihat.
Ooo… sebuah hal
yang bila diperbandingkan terasa sangat berat, untuk mendapatkan stempel
cinta.