Home » » Lir ilir….

Lir ilir….

Written By BAGUS herwindro on Apr 7, 2011 | April 07, 2011

Lir ilir… Lir ilir…
Tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sêngguh têmantén anyar
Cah angon… cah angon…
Pénék-ên blimbing kuwi…
Lunyu-lunyu pénék-ên, kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro… dodotiro… kumitir bêdah ing pinggir
Dondomono, jrumatono, kanggo sebä mêngko sore
Mumpung padhang rembulané
Mumpung jêmbar kalangané
Yo surak-o… surak hiyo…

Di sepanjang perjalanan menembus macetnya jalanan Surabaya pagi tadi, tiba-tiba saja keluar wirid Lir-ilir secara terus menerus. Tak hendak menafsirkan, hanya mencoba memaknai untuk diri sendiri setelah berusaha menyamakan frekuensi diri dengan frekuensi inti tembang Lir ilir.

Konon, Lir ilir ini merupakan buah karya Kanjeng Sunan Kalijaga, tetapi ada juga yang menyatakan karya Kanjeng Sunan Ampel. Karya siapa pun, syair dari Lir ilir ini penuh tuntunan kepada diri-diri yang masih terus berjuang menemukan kebaikan yang hakiki. Syair ini sarat dengan makna bagi para penempuh, mereka yang bekehendak menapak jalan Tuhan.

Bagi sebuah lagu, sebenarnya tidak ada kata lagu lama atau pun lagu baru dalam hal makna. Sebab, lama atau baru hanya mengacu pada kapan lagu itu diciptakan, tetapi dari segi makna, setiap lagu selalu mempunyai muatan kekinian. Sebuah lagu pada awalnya mungkin memang dimaksudkan memuat pesan-pesan yang dikehendaki oleh penulisnya, namun setelah lagu itu melintasi jaman, setiap orang yang berinteraksi dengan lagu tersebut mempunyai kebebasan untuk memaknainya sesuai rasa yang didapatkannya saat itu.

Lir ilir… Lir ilir…

Bangun, bangunlah….. Bangunlah dari tidur lelap ketaksadaranmu menuju kesadaranmu, bangunlah dari lalaimu menuju ingatmu, bangunkan hatimu untuk memenangkan ruhmu dari tarikan nafsumu.

Jangan bangun kemudian tidur lagi [Bangun tidur, tidur lagi…], segera bangun dari segala hal selain Allah menuju ke Allah, sebab SELALU kita ini bersama Gusti Allah, Menuju Gusti Allah dan untuk Gusti Allah, tidak ada yang lain.

Tanduré wus sumilir

Saat engkau bangun dari ketaksadaranmu menuju sadarmu, berarti biji iman dalam bumi hatimu telah mulai tumbuh, bagai tanaman yang sudah tumbuh batang dan daunnya.

Tak ijo royo-royo, tak sêngguh têmantén anyar

Begitu hijaunya, begitu segarnya, begitu bersihnya, begitu bersemangatnya bagai pengantin baru. Memang begitulah suasananya bila baru menemukan apa yang dirasa sebagai iman, biasanya begitu semangat, luar biasa, namun patut diwaspadai bahwa jangan-jangan itu nafsu. Maka selanjutnya ada peringatan :

Cah angon… cah angon…

Cah angon itu si penggembala dan kita semua memang adalah penggembala diri kita masing-masing, secara minimal, sebelum menggembalakan yang lain di luar diri kita. Menggembalakan hawa nafsu kita agar sekedarnya saja tidak berlebihan, menggembalakan hati kita agar memenangkan ruh dibanding nafsu dan menggembalakan akal kita agar pikiran tidak mencari-cari alasan merencanakan sesuatu yang kita inginkan bukan yang Tuhan perintahkan.

Dan memang pekerjaan terberat adalah menggembalakan hawa nafsu kita sendiri. Oleh sebab itu untuk menjadi khalifahnya Gusti Allah tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu menjadi Abdullah. Gembalakan diri sendiri hingga benar-benar menjadi abdinya Gusti Allah yang baik, baru keluar menggembalakan segala hal dalam lingkup yang lebih luas lagi, mengemban amanah sebagai khalifatullah.

Kalau menjadi abdullah saja belum bisa, maka mana mungkin mampu untuk menjadi khalifatullah. Kalau dipaksakan, maka yang akan terjadi malah kerusakan demi kerusakan, sebab tidak mungkin bisa mengutamakan rahmat untuk semuanya, melainkan hanya akan mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri.

Pénék-ên blimbing kuwi…

Setelah diingatkan tentang tugas penggembalan atas diri kita masing-masing melalui sebutan Cah Angon, berikutnya diperintahkan untuk melalui penggembalaan itu atas dasar syariat Islam. Memanjat  pohon blimbing merupakan ibarat yang berat bagi para penempuh, sebab kebanyakan kita bukanlah ahli dalam hal memanjat. Demikian juga dengan pohon Belimbing, merupakan ibarat dari rukun Islam yang lima, sebab buah belimbing bergerigi lima. Namun tidak hanya syariatnya saja, tidak hanya Islamnya saja, melainkan …

Lunyu-lunyu pénék-ên,

Walau pun pohon itu licin, sulit untuk dipanjat, tetapi haruslah tetap memanjat agar bisa memetik buahnya. Memetik buah belimbing bukan hanya sekedar memetik saja, tetapi juga memakannya sampai bisa merasakan manisnya buah belimbing itu. Kalau sudah bisa merasakan manisnya buah belimbing itu, mendarahdagingkannya, maka menjadilah sekan-akan buah belimbing itu sendiri.

Itulah sempurnanya dan itulah sulitnya, namun tetap harus dilakoni.

Tidak hanya memetik, menggunakan dan menerapkan Islamnya saja, melainkan juga harus bisa merasakan Imannya yang akhirnya menjadi Ihsan.

Itulah sempurnanya dan itulah sulitnya, namun tetap harus dilakoni.

kanggo mbasuh dodotiro

Untuk apa melakoni semua itu, tidak lain adalah untuk mencuci pakaian kita. Dodot itu istilah untuk kain penutup tubuh, sedangkan iro itu kamu. Basuhlah, cucilah pakaianmu. Sedang pakaian hakiki kita di hadapan Gusti Allah tiada lain adalah pakaian Taqwa.

Dodotiro… dodotiro… kumitir bêdah ing pinggir

Pakaianmu…. pakaian taqwamu yang sering sobek-sobek tepinya oleh hembusan angin hawa nafsumu dan bila dibiarkan saja maka sobekan-sobekan itu akan semakin banyak dan bahkan mungkin semakin lebar menganga, terkoyaklah pakaian taqwa kita, maka…

Dondomono, jrumatono, kanggo sebä mêngko sore

Segeralah dijahit, segeralah diperbaiki, segeralah ditaubati, segeralah diistighfari, agar pakaian taqwamu pantas untuk menghadap pada paseban agung / pertemuan agung antara engkau abdi dan Allah Gusti saat senja nanti.

Senja bukan hanya berarti usia tua, tapi senja adalah saat sepertiga usia yang dijatahkan untuk diri kita berapa pun itu. Hingga kesenjaan kita selalu menjadi misteri bagi kita, yang sewaktu-waktu pertemuan agung itu bias terjadi.

Sebab itu, perbaiki diri tiada henti, mumpung….

Mumpung padhang rembulané

Bulan bukan sumber cahaya itu sendiri melainkan memantulkan sinar dari matahari. Selama bulan masih ada selama itu pula kita berkesempatan mendapatkan cahaya di kegelapan malam.

Gusti Allah, cahaya maha cahaya, mencahayai Kanjeng Nabi Muhammad, Nur Muhammad, yang kemudian mencahayai para nabi dan rasul lainnya. Kemudian selepas wafatnya Kanjeng Nabi secara fisik, mencahayai para sahabat dan seterusnya samapai dengan saat ini mencahayai para waliyullah yang kemudian terus menerus mencahayai kita semua.

Maka, senyampang para waliyullah belum diangkat dari permukaan bumi ini oleh Allah, sempurnakan pakaian taqwamu, sempurnakan islam, iman dan ihsanmu melalui bimbingan para wali yang muqorrobin dan para ulama yang mengamalkan ilmunya, mumpung….

Mumpung jêmbar kalangané

Mumpung masih luas tempatnya, masih banyak kesempatannya dan yang jelas masih nafas dan detak jantung kita, maka bersegeralah.

Dunia ini, di atas permukaan bumi sangatlah luas untuk beribadah, untuk berdzikir dan untuk beramal sholih. Di mana pun bias. Waktu pun selalau ada, kapan pun bias. Bukankah kehidupan yang dua puluh empat jam sehari ini mestinya niatnya adalah lillahi ta’ala ?

Maka bersegeralah, sebab kalau kehidupan kita sudah memasuki batas akhir, jatah ruang dan waktu kita telah habis, kita akan berpindah ke dalam  atau di bawah permukaan bumi yang lubangnya hanya pas untuk badan kita saja. Tidak luas, sempit !!!

Saat semua kesempatan yang ada dapat kita pergunakan sebaik-baiknya, maka….

Yo surak-o… surak hiyo…

Surak atau sorak, biasanya merupakan simbol kemenangan, simbol penyelesaian dan simbol kebahagiaan.

Sebab pada titik akhir kehidupan kita, kita sudah bisa memenangkan diri dari tarikan hawa nafsu kita, sudah bisa menyelesaikan tugas dengan baik sebagai abdinya Gusti Allah dan yang jelas adalah kebahagian saat dipanggil oleh Gusti Allah dengan sebutan : jiwa yang tenang, jiwa yang ridho dan diridhoi, jiwa yang dimasukkan ke dalam golongan hambanya yang diterima ibadahnya, jiwa yang dimasukkan ke dalam surganya Gusti Allah.

Mungkin, bahkan kebahagiaan itu akan menjadi berlipat karena saat maut menjemput, guru-guru yang kita cintai, para waliyullah yang kita ikuti dan taati juga ikut menjemput dan mendampingi.

Ooh… betapa bahagianya kita saat itu dipanggil menuju pisowanan agung di paseban agungnya Gusti Allah.

SEMOGA DImampukan Gusti Allah untuk bisa melakoni ILIR-ILIR.
Share this article :
Comments
3 Comments

3 komentar:

  1. Wuih... Jalan jalan naek sandal blimbing. Pakean motif blimbing, lisan perbuatan tingkah laku lahir batin - blimbing. Repot lg blimbing msh mentah dikarbit digoreng ga mateng2. Btw Aneh emang blimbing blingir bintang 6 ko jarang bgt d pasaran tow dah punah yo? Wong dulu msh bnyk pohone d ndeso2.

    ReplyDelete
  2. nyuwun ijin copy paste dn bagus...
    angsal punopo mboten nggeh..??? mtrswn

    ReplyDelete

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger