Kemarin lusa, tangal 26 Oktober 2010, Mas Penewu Suraksohargo atau yang lebih dikenal dengan nama mBah Maridjan, Sang Juru Kunci Gunung Merapi, diketemukan meninggal dunia dalam posisi bersujud di kediamannya di Desa Kinahrejo yang terletak di lereng Merapi, saat awan panas atau yang disebut masyarakat sekitar dengan “wedhus gembel” meluncur dan menyapu sekitarnya.
Ya… mBah Maridjan meninggal dunia… innaa lillaahi wa-innaa ilayhi raaji'uun
Rasanya cukup prihatin bagi saya, bahwa untuk sebuah kematian, kok ada saja manusia yang pastinya nanti akan mati juga memperolokkannya, tanpa mau menyelami, tanpa mau melihat lebih dalam lagi dan bahkan mungkin memandang rendah, seolah mereka jauh lebih baik dari sosok si mBah Maridjan.
Dalam status-status di FB apalagi terlihat jelas, hasrat sesaat-sesaat yang asal-asalan dalam mengemukakan pikiran-pikiran dangkal dalam menyikapi sebuah kematian, memperoloknya dan menghakimi.
Macam-macamlah, ada yang dengan gurauannya mengatakan bahwa si mBah lupa minum Kuku Bima hingga lemas saat ada berita mBah Marijan ditemukan dalam keadaan lemas. Ada yang mengatakan bahwa mBah Maridjan sudah tidak peka nalurinya gara-gara terkooptasi materi saat menjadi bintang iklan, ada yang bilang mBah Maridjan tidak mau meninggalkan Merapi karena merasa sakti dan bisa menantang Tuhan dan seterusnya dan sebagainya.
Subhanallah…. siapa pun dia, bahkan mungkin betapa buruknya seseorang di mata manusia lain, tetapi sebuah kematian tidaklah pantas untuk dipersendauguraukan, sebab kita semua pun tidak bisa menjamin akhir kehidupan kita dalam keadaan yang baik atau bahkan na’udzubillah dalam keadaan yang khianat terhadap Tuhan kita. Yang biasanya kita lihat pada umumnya hanyalah yang terlihat mata, terdengar teliga dan dapat diindra oleh otak kita, namun sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mengetahuinya. Maka bisa jadi apa yang buruk di mata kita sesungguhnya mulia di hadapan Tuhan, begitu juga sebaliknya yang mulia di hadapan manusia, bisa jadi malah sangat buruk di hadapan Tuhan.
Sejak ada warning tentang status Merapi, saya pun bertanya-tanya dalam hati, di manakah gerangan mBah Marijan. Bukan karena apa, tetapi rasanya pada sosok mBah Maridjan, saya menemukan banyak hal yang saya tidak atau mungkin belum bisa melakukannya.
Dalam dimensi seorang mBah Maridjan, terlihat sikapnya yang sangat amanah dan istiqomah dalam menjalankan tugas yang diembannya, apa pun dan bagaimana pun kondisinya. Beliau diangkat oleh Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Juru Kunci Merapi. Pangkat terakhir yang diterimanya adalah Mas Penewu. Gaji yang diterimanya dari Kraton tidak lebih dari Rp. 15.000,- saja setiap bulannya. Walau pun begitu, Beliau benar-benar menjaga tugas yang diterimanya dengan amanah dan istiqomah. Pernah, saat kasus lumpur Lapindo, Beliau oleh beberapa pihak diminta ke Sidoarjo dengan harapan agar berkenan menyumbat semburan tersebut, tetapi Beliau tidak mau dengan alasan yang apa adanya dan sederhana, bahwa Beliau memang tidak mempunyai kemampuan untuk itu dan karena Beliau diberi tugas menjaga Merapi maka Beliau tidak mau meninggalkan medan tugasnya terlalu lama. Lihatlah betapa amanah dan istiqomahnya. Saya belum bisa seperti itu.
Sebagai penjaga, dalam hal ini diistilahkan sebagai “juru kunci” bukanlah berarti seseorang itu mempunyai keluarbiasaan hingga bisa mengendalikan sesuatu yang dijaganya, dalam hal ini adalah Gunung Merapi, namun adalah karena ke”biasa”annya. Sebab Gunung Merapi yang merupakan gunung berapi aktif tidak bisa dipungkiri bahwa di balik ledakannya yang dahsyat, membawa berkah kesuburan yang luar biasa bagi penduduk sekitarnya. Maka, juru kunci berperan penting untuk menjaga keselarasan manusia dan alam yang ditempatinya agar tidak menciderainya. Hidup selaras, mengambil dari alam tanpa merusaknya, karena alam ini sejatinya bukan untuk kita saja melainkan untuk kita wariskan kepada generasi yang berikutnya dan ini berarti berfungsi untuk memayu hayuning bawono atau rahmatan lil ‘alamin. Juru kunci juga berperan dalam memberikan dukungan spiritual, peneguh jiwa bagi masyarakat sekitar dari rasa was-was, cemas dan takut berkait dengan jenis gunungnya sebagai gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu bias memuntahkan kandungannya. Ketenangan itu penting, karena dengan ketenangan penduduk sekitar bias mengoptimalkan energinya untuk berkarya tanpa harus tersedot untuk mengatasi rasa takutnya. mBah Maridjan melakukan itu, saya belum bisa dan masih sering terbelenggu rasa takut saya sendiri.
Sebagai juru kunci pula, mBah Maridjan berperan sebagai pemimpin walau pun non formal bagi masyarakat sekitar Merapi dan Beliau telah mencontohkan dengan luar biasa sekali salah satu prinsip kepemimpinan yaitu hamengku dalam arti memangku. Memangku, posisinya selalu di belakang, dengan kata lain memangku berarti juga mengayomi bahwa sebagai pemimpin, keselamatan masyarakat yang dipimpin harus didahulukan, bukannya mengumbar keluhan atas berbagai ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang diterima. Sebab biasanya banyak yang jadi pemimpin tapi paling dulu lari mencari selamat saat ada situasi yang tidak mengenakkan. Mbah Maridjan tidak seperti itu, Beliau benar-benar tetap amanah dan istiqomah menjalankan tugas segenting apa pun situasinya, saya belum bisa.
Dalam diri mBah Maridjan pula saya melihat adanya sikap zuhud. Beliau begitu sederhananya, begitu apa adanya, polos dan lugu. Meski sempat menjadi salah satu bintang iklan produk sebuah minuman kesehatan, namun tidak ada yang berubah pada diri Beliau, tetap sebagaimana biasanya. Tidak ada kemewahan. Hasil dari menjadi bintang iklan, tidak dipergunakan untuk diri dan keluarganya sendiri saja, tetapi malah dikeluarkan lagi demi kemaslahatan orang banyak yaitu dengan memperbaiki musholla dekat rumahnya dan membangun jalan di desanya. Pakaian yang dikenakan begitu sederhananya, sarung, kemeja batik sederhana dan peci, itu saja. Walau pun terkenal, sikapnya juga selalu biasa, ramah dan tidak membedakan siapa pun yang menemuinya. Luar biasa dan saya belum bisa.
Sebagai seorang juru kunci, seorang yang selalu berselaras dengan alam yang didiaminya, Beliau selalu peka dengan prilaku alam, dalam hal ini prilaku Merapi. Lalu apakah kemarin kepekaannya hilang ? Menurut saya tidak. Fakta menunjukkan bahwa mBah Maridjan diam saja dan tidak melarang saat keluarganya dievakuasi. Hal ini menunjukkan bahwa mBah Maridjan tidak kehilangan kepekaannya, namun Beliau tegas dalam berprinsip. Bahwa bagaimanapun situasinya, kewajiban yang dimanahkan harus tetap istiqomah dijaga sebelum yang memberi amanah memberikan perintah lain [dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono IX]. Satu hal lagi, yaitu saya yakin bahwa mBah Maridjan begitu yakinnya akan kekuasaan gusti Allah hingga tidak takut menghadapi ajal. Bahwa ajal datang menjelang bukan karena letusan Merapi melainkan karena memang sudah dikehendaki oleh Allah. Fakta yang ada menunjukkan bahwa tim evakuasi yang mencoba membujuk mBah Maridjan terpaksa mengalah terlebih dahulu karena terdengar suara adzan. Sebab menurut kesaksian kerabat Beliau, mBah Maridjan itu kalau mendengar adzan, kegiatan apa pun yang sedang dilakukannya akan dihentikan dan bergegas mendahulukan shalat. Situasi segenting apa pun tidak menyurutkan Beliau menjalani kewajibannya menghadap Allah. Luar biasa dan lagi-lagi saya belum bisa seperti itu.
Di saat situasi mencekam. mBah Maridjan selalu tetap tenang. Tidak mungkin bisa seperti itu kalau dalam hati tidak terpatri dengan kuat keyakinan terhadap gusti Allah. Selalau mengajak berdoa memohon keselamatan pada gusti Allah. Di sana, dalam sikapnya terpancar adanya keridhoan akan semua ketentuan gusti Allah, tidak pernah mengeluh dan tetap tenang. Yang ini saya juga belum bisa.
Hal lain di luar itu, ternyata istri mBah Maridjan adalah seorang pencemburu sebagaimana kesaksian salah seorang kerabat mBah Maridjan dan apa yang dilakukan mBah Maridjan ? Beliau selalu sabar dan dengan kelembutan hati menjaga perasaan istrinya, bukan malah semena-mena sebagai seorang suami. Beliau menjaga betul untuk tidak berdekatan meskipun tidak ada maksud atau pun hasrat apa-apa dengan wanita lain, demi menjaga perasaan istrinya. Ini pun saya belum bisa.
Beliau ternyata juga tercatat sebagai Ketua Syuriah Majelis Wakil Cabang NU
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Hari ini setelah disholatkan di RS Dr. Sardjito, mBah Maridjan akan dimakamkan di Sidorejo, Umbulharjo, Cangkringan, di kaki Merapi juga.
Semoga diampuni segala kekhilafannya, diterima segala kebaikannya….
Ila ruuhi Mbah Maridjan, al fatihah….
mBah MARIDJAN
Written By BAGUS herwindro on Oct 28, 2010 | October 28, 2010
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 Comments